Logo Spektakel

Home > Folklor > Komunitas >

Hal yang Terjadi Sepanjang Perjalanan

Hal yang Terjadi Sepanjang Perjalanan

Dari luar pintu diskotek dentuman bas musik elektronik terdengar samar-samar. Seorang gadis bergincubibir pirus menghampirimu sembari mengeluarkan sebatang sigaret dari kotaknya, “Boleh kau bantu aku membakar tembakau ini?”

Gadis itu berbusanakan setelan serba jingga. Mulai dari sepatu hak sedang, stocking, kemeja yang kebesaran dan tas kepit kecil dengan ornamen sebuah kepala rubah, dengan kilau permata sebagai matanya, yang menempel di sudut pojok kanan bawah.

“Asal kau berjanji untuk menemaniku sore ini,” rendah nada suaramu tersaingi oleh denting terbukanya Zippo dan bunyi kretek panjang saat gadis itu menghisap sigaretnya.

“Apapun,” terdengar dari mulut yang mengeluarkan asap tebal.

Kalian sudah berada di dalam diskotek terbesar di kota itu yang dipenuhi orang-orang berseragam kerja, beberapa masih lengkap dengan dasi mengikat di leher dan yang lainnya masih dengan bagian bawah kemeja terselip di dalam celana katun. Sofa dan meja terlihat kosong. Semua orang berdiri merayakan sore, memabukkan diri memestakan kelampauan. Tak berlebihan, karena dari tempatmu duduk yang kau dengar hanya bahakan perkara kenangan, kejadian, pengalaman dan ingatan. Tak ada yang benar-benar tertawa karena hal-hal yang terjadi saat ini.

*

Rieke, nama gadis itu, menolak tawaran minuman beralkohol darimu, “Aku tak dapat menemukan makna keterbukaan dan ketertelanjangan atas kebebasan tanpa adanya kesadaran penuh.”

“Perihal Woody Allen di Annie Hall?” timpalmu setengah malas.

“Adegan ketika Annie kerapkali harus menghisap marijuana setiap akan berhubungan seks?” tanyanya.

Kau menyesap bir, meninggalkan jejak buih putih di bagian atas bibirmu, “Lebih tepatnya ketika Alvy menjelaskan bahwa menghisap marijuana sebelum hubungan intim untuk menstimulus kepekaan adalah selayaknya ketika seorang komedian melemparkan kelakaran di sebuah ruang penuh dengan audiens yang sedang mabuk tinggi.”

“Persis,” timpal gadis itu.

“Jadi, aku orang yang kau anggap cocok untukmu bertelanjang diri saat ini?” terkamu.

Rieke melambaikan tangan ke arah pelayan bar seraya menunjuk botol yang sedang kau kupas kertas di bagian badannya, sambil mengacungkan telunjuk.

“Tadi iya, sekarang tidak lagi. Aku ingin minum juga,” jawabnya.

Kau mengernyitkan dahi. Kau berharap kau sedang tak habis pikir, bagaimana seseorang bisa dengan mudah berubah pikiran, bagaimana seseorang bisa dengan mudah membuatmu mengernyitkan dahi. Tapi nyatanya tidak, kau tidak peduli sama sekali, kau hanya merasa bertanggungjawab untuk memberikan respon. Kau ingin dia merasa senang, merasa menang atas keherananmu. Keheranan yang kau buat karena kau tertarik padanya. Dalam hati kau menerka apakah ada ruang penyiksaan khusus kelak setelah kehidupan bagi mereka yang berbohong dengan secuil harapan agar balik didambakan.

*

“Siang tadi seseorang melamarku,” ujarnya sembari mengepulkan asap rokok ke mukamu. 

“Kau tahu itu mengganggu,” ucapmu.

“Memang, tapi toh aku terima juga,” jawabnya tersenyum.

“Bukan, bukan persoalan lamarannya, tapi asapnya,” sergahmu.

Gadis itu memandang tabung televisi di dekat kasir yang sedang menyiarkan pertandingan bulu tangkis.

“Ya, aku tahu, toh jika kau memarahi atau mengeluarkan kata-kata kasar kepadaku karena terganggu asap rokokku tadi aku akan memakluminya,” jawabnya.

“Oh, kukira barusan kau memberitahuku tentang bagaimana kau menerima lamaran orang tadi meskipun merasa terganggu,” jelasmu.

“Itu juga. Memang benar aku mengiyakan tawarannya. Tapi aku juga memahami bila kau marah soal asap tadi,” jelasnya tampak berkelit.

Kau menghela napas, “Aku baik-baik saja. Ada yang jauh lebih mengganggu dan mengesalkan daripada kebiasaan burukmu tadi. Petugas pembuat KTP salah mengetik tanggal lahirmu, misalkan.”

“Aku tak memunyai kebiasaan mengepulkan asap rokok ke muka orang! Hanya saja tadi aku beranggapan kau akan terganggu karenanya,” gadis itu menggigit bibir bawahnya.

“Kau menggodaku,” katamu.

“Iya, dan asap itu gagal!” ketusnya.

Kau menggelengkan kepala, “Bukan asapnya, kalau itu aku sudah tahu, tapi caramu menggigit bagian bawah bibirmu barusan.”

Gadis itu terlihat kaget, “Apakah aku melakukannya?”

Pasti kebiasaannya, dugamu. Kebiasaan yang manis.

“Menurutmu kenapa aku menerima lamaran lelaki itu?” tanyanya.

“Karena kau beranggapan hal itu akan menyenangkanmu. Hal-hal baru selalu menarik perhatian. Manusia terlahir dengan kutukan kebosanan yang harus digotongnya. Tak peduli seberapa banyak permen yang ada di sakunya, mereka akan kadaluarsa sebelum mereka habis. Tak hirau seberapa mengilap kaca-kaca jendela rumahnya dan seberapa banyak tombol di konsol pengatur jarak jauh yang dapat mengerjakan semua pekerjaan rumahnya, selama masih ada gawai dengan lima pilihan warna seharga satu tahun upah kerjanya Ia akan berikhtiar untuk mendapatkannya. Manusia terbuang di planet ini dengan muslihat yang,.. uhh, kau sebut dengan,..”

“Harapan?” duganya.

“Ambisi. Tapi harapan juga relevan. Bagaimanapun, manusia terbuang dengan muslihat-muslihat itu, tak peduli betapa mutakhir gaya hidupnya, selama masih ada kriya kacangan lain yang bisa melengkapinya, asalkan hal tersebut bisa mengeluarkan suara dan denyar dan belum banyak yang memilikinya dan Ia tak mampu untuk memunyainya, Ia akan berusaha untuk memperolehnya. Jadi bisa saja kau tengah berada di zona nyamanmu saat ini, kau harus terus mencari kegaduhan, kemapanan dari institusi itu akan membuatmu tetap terjaga dan waspada; Itu akan menjadi kekacauan barumu,” timpalmu sekenanya.

“Kau lucu. Ya, jelas karena aku menyukai lelaki itu. Dasar bodoh!” timpalnya sambil terkekeh.

“Ya, siapa tahu aku masih punya kesempatan untuk kau ajak ke kamarmu malam ini. Sah saja, kan, berusaha?” kau jentikkan abu yang menggantung di sigaretmu.

“Memangnya apa yang menarik darimu hingga kau begitu percaya diri menganggap kau memiliki peluang untuk tidur denganku?” tanyanya sambil tertawa.

“Entahlah, asal bicara saja, tak benar-benar menginginkan hal itu,” kilahmu.

“Kurang ajar!” umpatnya sambil mengeluarkan selembar uang dari kimpul yang sedari tadi tergeletak di meja dan buru-buru memanggil pelayan.

“Kau orang asing terburuk yang pernah kutemui! Gombal menjijikkan!” hardiknya seraya bergegas meninggalkanmu keluar.

*

Kau seorang diri di diskotek itu. Tidak secara fakta seorang diri, kau hanya berusaha mengeliminasi hal-hal asing yang tidak berpihak padamu. Yang tersisa hanya dirimu, botol bir kosong, bartender dan seloki berisi minuman —yang kau tak tahu apa isinya— yang disodorkan olehnya kepadamu sambil berkata, “Jamuan dari kami. Tetap tegar, Bung.”

Tak berhenti sampai di situ, lagu sendu bertalun-talun dari pengeras suara.

And all my life I’ve prayed for someone like you

And I thank God that I, that I finally found you

All my life I’ve prayed for someone like you

And I hope that you feel the same way too

Yes, I pray that you do love me too

Harapan, katanya. Cih. Terkaan macam apa itu, gerutumu dalam hati. Alih-alih menggenapi kedongkolan hatimu, pikiranmu menghadirkan citra wajah gadis yang baru kau kenali tadi. Model paras kesukaanmu. Mata badam dengan jarak cukup lebar satu sama lainnya, bangun muka di persimpangan antara bulat dan tirus dengan hidung kecil yang bangir. Ah, juga pipi yang menembam kala tersenyum. Belum lagi bibir tipisnya yang sengaja diolesi gincu koral. Cocok! Kau takkan mampu kehilangan gadis itu, kau telah jatuh.

Kau segera menandaskan cairan selokimu, menyisakan kernyitan di dahimu dan buangan napas lega, lantas berlekas setengah berlari mengarah pintu keluar. Lagu yang dimainkan di pengeras suara tetiba hanya terdengar seperti dengingan, pun dengan ceracau riuh pengunjung. Kau hanya bisa mendengar degup talu jantungmu, ngiang suara gadis itu dan desir sesuatu yang berkecamuk di dadamu. Ketika tanganmu hendak meraih daun pintu, kau rasakan kerah lehermu ditarik dari belakang. Saat membalik, seorang pegawai berbadan gempal terlihat ambek, bartender yang tadi menjamumu. Ia menunjuk ke arah kasir, mengisyaratkanmu untuk membayar pesanan-pesananmu.

Sedianya kau tidak sepenuhnya lupa untuk membayar, hanya saja kau sadar betul tidak mengantungi sepeserpun uang di sakumu. Bisa saja kau mengeluarkan kartu debit terbitan bank tempat kau bekerja, kau yakin ada lebih dari cukup angka-angka di dalamnya untuk membayar. Tapi tidak, hal itu akan memakan waktu lama. Kau sudah tidak punya cukup waktu lagi. Bisa saja kau bilang bahwa kau meminta waktu sebentar untuk keluar dan akan kembali lagi membereskan tetek-bengek transaksi, tapi tampaknya ide itu menjadi sia-sia sekarang, sudah terlambat, pihak diskotek menginginkanmu berada di depan kasir sekarang juga. Kau masih rasakan desir di dada dan perutmu.

Kau layangkan pukulan ke arah pegawai yang memegangi kerah kemejamu. Kau menyulut kegaduhan di sebuah diskotek, kau sudah tahu akibatnya. Seorang pengunjung terlihat menghampirimu dengan pukulan, kau berhasil mengelak dan membenturkan kepalamu mengenai mulutnya, darah keluar dari bibirnya. Lebih banyak darah kau rasakan mengalir dari jidatmu: kau tak dapat mengantisipasi ayunan botol dari arah berlawanan. Kau mulai limbung, seseorang membuka pintu dan menyeretmu keluar diskotek. Kau terperosok ke dalam kubangan di trotoar depan diskotek. Gerimis masih dapat kau rasakan di antara tendangan dan pukulan yang kau terima kemudian. Kau lingkarkan lenganmu di kepala.

“Anjing! Bangsat! Jangan pernah kemari lagi!” salah seorang berteriak sebelum sebuah riak ludah meluncur ke arahmu disusul dengan derit suara pintu kaca tertutup.

Kau seka wajahmu, berusaha memicingkan mata menengok sekitar. Kau kehilangan gadis itu. Sial. Kau merogoh saku celanamu mengeluarkan bungkus rokok sambil perlahan mencoba bangun. Dengan kepayahan kau berhasil bangkit dan menyenderkan badanmu di tembok. Kau keluarkan sebatang sigaret. Kau menunduk dan merogoh lagi semua saku yang menempel di badanmu. Tak kau ketemukan pemantikmu.

Dari arah depan kau mendengar suara ketukan sepatu bercampur percikan becek air mendekatimu. Kau dongakkan kepala dan seorang gadis berdiri di depanmu. Rieke keheranan, “Apa yang terjadi?”

“Habis dikeroyok karena tidak bayar minum,” jawabmu. “Kok bisa?” dia penasaran.

“Aku terburu-buru mengejarmu tadi, tak ada waktu untuk mengurusi administrasi, aku takut kau keburu menghilang.”

“Kau tahu aku masih harus menunggu taksi di luar sini. Kau sengaja cari perhatian, ya?” terkanya.

“Dengan bersusah-susah lebam dibogem begini? Jangan berlebihan!” tukasmu.

“Ya, siapa tahu saja. Karena hal itu berhasil membuatmu kembali menjadi menarik.” Gadis itu tertawa sambil menyodorkan Zippo milikmu yang sudah terpantik.

“Kau mengambilnya tadi di dalam?”

“Ya, sebagai kenang-kenangan,” jelasnya.

“Kau bisa dapatkan lebih dari pemantik ini kalau kau mau sedikit lebih lama di dalam tadi,” ucapmu sambil mendekatkan pangkal sigaret ke sumber api yang dijaga gadis itu agar tak padam terkena hujan.

“Lalu sekarang bagaimana?” tanyanya.

“Kau juga menarik, tentu saja. Dan anggap saja kecerobohan yang membuatku babak bundas seperti ini adalah akalku untuk menarik perhatianmu kalau hal itu bisa menyenangkanmu. Karena tanpa disengaja kurang lebih memang seperti itu. Nyatanya, aku butuh lebih dari perhatianmu.”

*

Kalian berdua terdiam. Kau masih kesusahan membersihkan bekas luka di muka dan lenganmu. Gadis itu masih memerhatikanmu.

Kau menggumamkan lagu yang tadi kau dengar di dalam diskotek. Gadis itu berbisik:

Said, I promise to never fall in love with a stranger

You’re all I’m thinking of

I praise the Lord above

For sending me your love

I cherish every hug

I really love you

“Apa?” heranmu.

“Lanjutan liriknya. Kau suka lagu manja seperti itu?” Ia balik heran.

“Entahlah, tadi di dalam temponya terdengar kencang dan cocok untuk menari.” 

“Aransemennya digubah, mungkin,” terkanya.

“Entahlah.”

“Aku menyukaimu.”

Kalian berdua terdiam. Kau masih kesusahan membersihkan bekas luka di muka dan lenganmu. Gadis itu masih memerhatikanmu.

*

Sebuah mobil dengan sengaja menyorotkan sinar lampu jarak jauh ke arah kalian. “Taksiku tiba, mau kutemani pulang?” tawar gadis itu padamu.

“Lain kali, mungkin. Sekarang kau duluan saja. Aku sudah dapat jawabanku untuk malam ini,” jawabmu.

“Dasar picisan!” bentaknya sambil tertawa.

Kau tersenyum. “Aku tak mau mengurangi ketertarikanmu padaku. Cukup sudah untuk malam ini,” kau setengah berteriak berusaha mengalahkan suara klakson mobil yang berhenti di belakang taksi yang gadis itu tumpangi.

“Hentikan kebodohan ini dan segera naik sekarang sebelum gerimis menderas!” pekiknya.

Kau injak puntung yang kau buang, terburu-buru menyusul gadis itu menaiki taksi sambil tetap menahan nyeri yang kau rasakan di kepala dan sekujur tubuhmu.

***