Logo Spektakel

Home > Folklor >

Jasa-jasa Buat Sanwirya

Jasa-jasa Buat Sanwirya

Di atas sehelai tikar Sanwirya terbaring sambil mengaduh kesakitan. Di sampingnya tergeletak dua buah pongkor pecah dan niranya tertumpah habis. Disebelah kiri didampingi Ranti, Aku, dan Sampir. Ranti dan Aku membukakan ikat pinggang Sanwirya, Waras melekatkan telinganya ke dada Sanwirya. Lonceng berdentang sekitar lima kali. Lampu menyala di tempat pembaringan Sanwirya. Dukun datang, Ranti, Aku, Sampir, Waras keluar dari pembaringan Sanwirya. Tak lama kemudian lampu berpindah ke tempat lain yaitu di atas lincak.

Sampir: Jadi kawan-kawan kita sudah sepakat sama-sama merasa kasihan pada Sanwirya. Begitu? 

Aku: Paling tidak itu lebih lumayan daripada bertengkar. 

Ranti: Syukur! Marilah. Ada banyak cara untuk merasa kasihan kepada penderes itu Menyobek kaus yang sedang kupakai untuk membalut luka Sanwirya adalah sejenis rasa kasihan yang telah kulakukan. Oh, jangan tergesa-gesa, kita akan menentukan lebih dahulu demi apa rasa kasihan itu kita adakan. 

Waras: Apa kataku! Yang seorang ini akan mulai dengan yang sulit-sulit. Kalau kau masih berbicara tentang aku akan lebih tertarik pada serabi. Sanwirya mengerang, Aku mengintip. Lampu menyala di pembaringan Sanwirya, Nyai Sanwirya memegangi tengkuk suaminya. Air matanya menetes pada hidungnya, lampu padam dan terang ditempat keempat orang tadi. Sampir meluruskan punggungnya lalu mengatur duduk dengan mantap.

Sampir: Baik kalau itu menyulitkan kita singkirkan saja. Yang pertama-tama harus kita selenggarakan adalah makanan untuk keluarga Sanwirya. Siapa yang mengetahui ada peladang sedang mencabuti ubi kayu? 

Waras: Kau menyuruh kami meminta ubi kayu? Tak mungkin! Musim ini semua orang hanya menanam ubi estepe sebab celeng dan monyet tak mau menyukainya. Kita takkan memberi makan Sanwirya dengan ubi beracun itu.

Ranti: Dengar! Yang berminat mencari makanan buat Sanwirya boleh datang ke lumbung.

Aku: Tapi hanya desa. Atas nama penderes itu kita mengajukan pinjaman padi secukupnya. 

Aku: Tapi hanya desa. Atas nama penderes itu kita mengajukan pinjaman padi secukupnya. penggarap-penggarap sawah saja yang boleh mendapat pinjaman. Sanwirya tidak menggarap apa-apa kecuali pongkor dan arit. 

Waras: Jelaskah Sanwirya tak mungkin mendapat pinjaman? 

Aku: Pasti! 

Sampir: Itulah. Maka harus ada demi. Jadi, kita dapat berkata demi anu Sanwirya harus mendapat pinjaman padi. Meski ia tak menggarap sawah. Apa katamu Waras?

Setelah semuanya terdiam lampu padam, lalu menyala di pembaringan Sanwirya. Rintihan Sanwirya terdengar kembali. Sekarang suaranya datang dari pangkal tenggorokannya. Dukun melumuri tubuh si sakit denganair kunyit. Nyai Sanwirya duduk di kaki suaminya. Menangis dan hidungnya merah. Lampu padam dan perlahan menyala di tempat kempat orang tadi berbincang-bincang.

Waras : Pokoknya aku setuju kalau Sanwirya diberi pinjaman. Kelihatannya lumbung desa itu bukan tempat yang memalukan buat minta kasihan. 

Sampir : Itu berarti waras telah sepakat. Catat Ranti! Satu rencan telah kita setujui. Selanjutnya saya bermaksud menjual jaketku sebagai upah dukun. Siapa yang akan menutupi kekurangannya.

Ranti : Tunggu Sampir. Biarkan jaketmu tetap di situ. Bila kau bertelanjang dada siapa yang akan mengurusi bengekmu? 

Waras :Kita akan menemui tengkulak yang biasa menerima gula Sanwirya. Kukira takkan sulit meminjam sembilan puluh rupiah darinya. 

Sampir : Maksudmu agar Sanwirya nanti mengangsurnya? Pikiran yang bagus. Kalau semua sudah tidak keberatan kuminta Ranti menambah catatan! Satu lagi rencana jasa. Mudah-mudahan penderes itu takkan kesulitan mencari cara berterima kasih pada kita.

Lampu berpindah keruang Sanwirya terbaring. Ia batuk dan muntah, dukun menyilangkan tangan di dadanya, Nyai Sanwirya menggigil. Lampu kembali menyala di tempat keempat orang itu. Aku mengintip. Tak ada yang bersuara. Sampir menyalakan rokok, tapi direbut Waras. Sampir tampak tenang, ia menepuk dahinya sendiri.

Sampir: Satu perkara yang lebih besar ialah bagaimana melindungi Sanwirya. Maksudku agar ia tak ditipu dua ons tiap kali menimbang gulanya. Agar dia dapat bertahan bila tengkulak menentukan harga gula terlalu rendah. Pokoknya agar harga gula tidak lagi menjadi pertanyaan yang mengerikan! 

Waras : Berhenti, Bung mau bicara soal koperasi! Tunggu Sampir, aku mau menanyakan selain kepadamu apakah kesepakatan kita masih perlu berkepanjangan?

Sampir: Tidak heran, semacam Waras pasti akan selamat bangun tidur padaku. Kau pasti akan mengatakan semua ini omong kosong. Iya apa tidak? 

Waras menatap mata Sampir sebentar, lalu menoleh padaku. Ranti tertawa pelan. Terdengar lagi keluhan panjang dari bilik Sanwirya.

Sampir: Akan kita buktikan siapa diantara kita yang tidak kehilangan separo akal sehat. Dan kau Waras bisa meninggalkan lincak ini bila mau!

Ranti : Bukan begitu. Sebaiknya diantara kita ada penyabar-penyabar. Maksudku agar kita memberi kesempatan pada siapa yang akan membuktikan dirinya tidak kehilangan akal sehat.

Waras: Aku mengerti itu Sampir: Nah begitu! Kita akan menunjukkan diri kita sebagai si putus asa sesudah bergelandang selama tujuh tahun. Setuju? 

Waras: Ya, Sampir! Kata-kataku saya ganti. Aku tidak lagi mengatakan omong kosong. Kukatakan sekarang pikiranmu mirip ide adikku yang baru dipelonco. Tidak marah?

Sampir: Hm. Sebuah koperasi berarti bagi Sanwirya adalah kesempatan berganti kain sarung. Dan itu telah kita sepakati. Satu lagi jasa buat Sanwirya. Catat Ranti! Lima anak kecil memandang Sampir yang terbahak. Mereka tidak menutupi kemaluannya masing-masing. Di atas pundak mereka ada seikat ranting bambu untuk memasak nira. Waras mengusir mereka.

Waras: Dengar Sampir, kau harus menyetujui kata-kataku ini. Bahwa jasa-jasa buat Sanwirya seharusnya bukan merupakan hal yang tanggung. Semuanya baru memadai bila Sanwirya sudah memegang polis asuransi jiwa. Sebab semua penderes semestinya mati bila jatuh dari pohon kelapa. Sehingga akan terdengar suara semacam ini. Seorang penderes semacam Sanwirya telah menggantungkan nyawanya hingga bila ia jatuh dan mati, istrinya takkan kesukaran mencari kain kafan. Merdu mana dengan gamelan degung kedengarannya?

Sampir: Hore hore! (berteriak). Sekarang percuma memberi gelar pemuda onani pada Waras. Ia hebat. Hore hore!

Ranti: Sampir kau tak boleh membunuh Sanwirya dengan cara melolong seperti itu (berbisik).

Sampir: Oh maaf. Tapi pikiran Waras itu sangat patut. asuransi adalah tepat untuk perlindungan Sanwirya.

Ranti : Tapi kita tentukan dulu berapa harga yang pantas untuk nyawa penderes itu.

Waras: Bahkan itu terlalu tergesa-gesa. Kita buktikan dulu apakah tubuh Sanwirya juga digerakkan oleh nyawa. Kalau benar nyawa kelas berapakah miliknya itu. Baru kita tentukan premi asuransinya. Semua terdiam. Sampir menahan kagetnya lalu menatap Waras. Yang habis berbicara itu hanya mengangguk-ngangguk. Nyai Sanwirya mengisak dan meratap dengan panjang. Ranti memegangi lenganku dan menggigil ketika tiba-tiba Nyai Sanwirya menjatuhkan diri di depan kami.

Nyai Sanwirya : Oalah Pangeran…oalah Gusti….

Sampir: Tenanglah Nyai, tenang. Kami belum pergi dari sini karena kami sudah sepakat akan mengasihi suamimu. Kami sedang merencanakan banyak jasa untuk menolong kalian.

Nyai Sanwirya: Menolong? Oalah gusti…menolong?

Sampir: Iya. Kalian tak suka kelaparan bukan?

Nyai Sanwirya: Itukah sebabnya kalian mencarikan pinjaman ke lumbung desa dan ketengkulak? Oalah Pangeran…jangan lakukan itu. Wanti-wanti jangan. Kami tak takkan lebih senang dengan pinjaman-pinjaman itu. Kami tak pernah mempunyai persoalan yang namanya lapar! Dan Gusti Pangeran…, tadi kalian ramai-ramai mau menentukan harga nyawa Kang Sanwirya? Mengharapkan dia cepat mati? Oalah…oalah….

Sampir: Itu benar.

Nyai Sanwirya: Oalah Gusti…panggilkan modin…

Kang Sanwirya hampir ajal Kami berempat mengintip ke dalam. Lampu terang di pembaringannya Sanwirya. Dukun sedang menyilangkan tangan Sanwirya lalu mengusap kelopak matanya agar tertutup. Lampu menyala di tempat mereka berempat. Sampir menjadi sangat pucat. Ia hedak lari dan kupegangi lehernya.

Aku:  Kau Sampir! Ada jasa yang masih dapat kau lakukan. Turuti permintaan Nyai Sanwirya memanggil Modin! Sampir lari ke sana. Di bawah pohon manggis dia jatuh tersandung pongkor, bangun dan lari.

Ahmad Tohari

Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 71 tahun) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976). Tulisan-tulisannya berisi gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Ia juga menjadi pembicara di berbagai diskusi/seminar kebudayaan.

Mari bergabung bersama kami berkontribusi memajukan seni budaya Indonesia. Kirimkan data kegiatan di sekitarmu ke kontak@spektakel.id

Menulis Untuk Kami

Editor: Redaksi