Logo Spektakel

Home > Eksplorasi >

Baur Rasa di Tanah Ramah, Kampung Adat Rende, Sumba Timur

Baur Rasa di Tanah Ramah, Kampung Adat Rende, Sumba Timur

Teks & Foto oleh: Yongki Hermawan

Baur Rasa di Tanah Ramah, Kampung Adat Rende, Sumba Timur

Padang sabana yang mengering di kanan kiri menjadi selendang panjang bagi para wisatawan yang baru keluar dari Waingapu. Jalanan beraspal mulus nirgelombang membujur sepanjang perjalanan.

Di Kampung Adat Rende, Sumba Timur semua ada jalan keluarnya. Musyawarah wajib untuk menemukan jalan terbaik. Namun, jika harga diri terinjak, nama baik ada di ujung parang.

Pulau eksotis dengan bentang pantai nan cantik langsung bisa diintip dari jendela pesawat yang bisa ditempuh dalam 1 jam 50 menit dari Denpasar, Bali. Tiba di Bandara Umbu Mehang Kunda, udara sejuk langsung terasa. Lima menit kemudian, pemandangan Waingapu dengan deretan rumah panggung dan rumah modern yang membaur menghiasi jalan.

Penduduk di ibukota Sumba Timur, Waingapu, mayoritas beragama Kristen. Tak heran jika banyak ditemukan gereja dengan arsitektur lazimnya gereja di Jawa. Namun, kehadiran masjid agung Al Jihad di tengah kota menjadi bukti toleransi yang hangat. Meski demikian, agama Merapu yang lebih dulu dianut juga masih bersinggungan dengan harmonis.

Kuda-kuda peliharaan di Sumba Timur.

“Di sini semua orang bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Toleransi sangat kami junjung tinggi,” ungkap Umbu Kudu, sahabat kami dari Kampung Rende, tak lama setelah kami berjumpa di bandara.

Padang sabana yang mengering di kanan kiri menjadi selendang panjang bagi para wisatawan yang baru keluar dari Waingapu. Jalanan beraspal mulus nirgelombang membujur sepanjang perjalanan. Lurus dan sepi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan jalan darat di pulau ini, ditambah kuda yang berlarian dan arakan awan.

Dengan nilai-nilai budaya yang masih kental, Kampung Adat Rende adalah destinasi wajib pertama yang letaknya sekitar dua jam dari Waingapu, yaitu di Kecamatan Melolo. 

Kampung adat Rende, Sumba Timur.

“Selamat datang di Rende. Kalian harus menginap di kampung ini, dua atau tiga malam,” ajak Umbu Kudu. “Di kampung kami semua ramah. Semua pemandu wisata. Tak ada yang berani macam-macam di kampung ini,” ungkapnya.

Benar saja, sesampainya di Rende kami disambut gembira. Teh dan kopi disuguhkan. Obrolan ringan dan candaan dengan bahasa Indonesia campuran membuat kami serasa bersilahturahmi ke rumah saudara sendiri.

Kain tenun sedang dijemur di beranda rumah adat.

“Untuk urusan musyawarah kami jagonya. Bagi kami semua ada solusinya. Saling menghargai, yang dalam bahasa Sumba disebut hori patembi, sangat kami junjung tinggi,” ungkap Charles Tanda, salah satu warga Kampung Adat Rende yang diangguki oleh warga lainnya.

Keramahan penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak ini langsung mengikat hati. Tak perlu diundang, satu per satu warga kampung datang ke Umah Boukul (rumah adat besar) untuk berbincang dengan kami. Tak jarang mereka menanyakan hal-hal lucu dan menarik soal politik, ekonomi, transportasi hingga selebriti di Jakarta.

“Selain dapat melihat lebih dekat kuburan batu dan arsitektur rumah adat, kalian juga bisa melihat pembuatan kain tenun ikat dengan pewarna alami. Motif kami beda dengan kampung-kampung lain,” kata Umbu Kudu.

Matahari lengser, udara malam bersiap datang. Namun, Rende masih ceria. Sambil menikmati kopi, teh, dan kue-kue kecil yang kami bawa, Umbu Kudu mengajak kami mengunjungi salah satu rumah yang kebetulan sedang ada jenazah yang disemayamkan. Jenazah yang sudah disemayamkan sejak sebulan lalu itu berselimut kain-kain tenun kualitas terbaik. Tak perlu membayangkan aroma atau hal seram lainnya, karena berkat material dan bahan dari lilitan kain tenun tersebut tak ada bau mayat yang tercium. Sama sekali.

Sirih pinang, lazim digunakan sebagai bagian dari ramah tamah.

“Cobalah sedikit pinang sirih ini atau mereka tersinggung,” ungkap Umbu Kudu sambil menyodorkan sekotak pinang sirih. Tatapan mata para wanita yang duduk bersila di lantai kayu beralaskan tikar jerami di rumah duka menyiratkan kami untuk harus mencoba.

“Coba sedikit saja. Rasanya agak pahit dan getir. Kalau tak biasa kalian bisa mabuk. Tapi, kalau tak ingin, cukup tarik kotak pinang sirih, taruh di depan kaki kalian. Hal ini sudah cukup menunjukan rasa hormat,” ungkap Umbu Kudu.

Di Rende orang meninggal akan diperlakukan seperti bayi yang baru dilahirkan. Keturunan raja atau bangsawan akan mendapat perlakuan yang lebih istimewa. Potong ternak dan berbagai upacara biasa mengiringi perjalanan persemayaman jenazah.

Menggali dan menemukan hal-hal menarik di Rende tak berhenti sampai di sini. Masyarakat adat yang hidup bersahaja membawa kami menyelami keseharian mereka yang penuh filosofi. Tak boleh sembarangan bicara dan wajib berperilaku sopan terhadap tamu sangat diajarkan di kampung adat ini. Feodalisme dari generasi ke generasi mulai terkikis membaur ke arah kebaikan. Mereka yang memiliki darah bangsawan tidak serta merta harus dihargai dan dijunjung tinggi secara berlebihan.

“Meski mereka dari kasta biasa kami wajib menghormati mereka yang lebih tua. Kami tak boleh berkata kasar atau berperilaku semena-mena. Sesama manusia punya harga diri sama,” ungkap Umbu Kudu. Topik-topik ringan mengalir malam itu. Seteguk dua teguk peci (minuman fermentasi akar-akaran khas Sumba) kami nikmati bersama sebagai tanda perkenalan.

Tak berlebihan rasanya jika kami langsung bisa menilai bahwa masyarakat Rende masih memegang teguh prinsip hidup yang diajarkan oleh para leluhur mereka. Jika sudah di atas tikar berteman kopi atau teh, pula udara dingin, mereka akan dengan senang hati menceritakan tentang sejarah leluhur dan budaya. Terakhir, dengan kondisi perbukitan yang gagah dan hamparan pantai yang memesona, bisa jadi orang-orang Rende diturunkan ke bumi ketika Tuhan sedang bahagia.