Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Harta Karun dari Selat Gaspar

Harta Karun dari Selat Gaspar

Ratusan keramik Cina yang karam di Selat Gaspar bekas bersama Kapal Tek Sing kembali ke Indonesia. Artifak-artifak inilah saksi arus manusia dan perdagangan dari negeri Tiongkok ke Indonesia, tepatnya ke Nusantara.

Selat Gaspar yang memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung pernah jadi saksi dari kecelakaan dramatis Kapal Tek Sing yang membuatnya karam. Dahulu kala, sekira dua abad silam, pada 1822 Kapal Tek Sing nan gagah itu bertolak dari Pelabuhan Amoy, Fujian, Tiongkok—yang kini dikenal sebagai daerah Xiamen. 

Batavia tujuannya. Panjangnya 50 meter, lebarnya 10 meter, layarnya setinggi 9 kaki. Kapal ini mengangkut serta 1.600 imigran Cina, 200 kru kapal, dan 1.000 ton kargo. Termasuk ratusan ribu porselen biru dan putih dari daerah Dehua, Cina, yang diperkirakan akan diperdagangkan di Batavia. Konon jumlahnya mencapai 350.000 buah, terdiri dari berbagai alat makan, mangkuk, gelas teh, dan sebagainya. 

Porselen ini unik dan kemudian hari bernilai amat mahal karena desainnya yang belum terpengaruh gaya Eropa. 

Sebagian porselen yang karam bersama Kapal Tek Sing. Setelah sempat dilelang dan diperjualbelikan secara online, harta karun ini berhasil disita oleh Pemerintah Australia dan dikembalikan ke Tanah Air. 

Sebulan berselang setelah pelayaran, sampailah Kapal Tek Sing ke perairan Nusantara. Sang kapten kapal, Lo Tauko lantas memutuskan untuk mengambil jalan pintas melewati Selat Gaspar di antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Ndilalah, kapal malah menghantam batu karang di selat dangkal itu dan lalu karam sekira 30 meter di dalam air. 

Dari ribuan penumpangnya, hanya sekitar 180 orang yang berhasil selamat. Sebagian besar selamat karena kebetulan kapal English East Indiaman Indiana, yang tengah dalam perjalanan menuju Borneo, melewati Selat Gaspar. Sebagian lainnya diselamatkan sebuah kapal kecil yang dinahkodai Jalang Lima. Konon kapal ini berlayar beriringan dengan Tek Sing, tapi kemudian berhasil menghindari batu karang yang menjulang dan lolos dari tragedi maut tersebut. 

Dilelang ke Seluruh Dunia

Selang lebih dari seabad kemudian, bangkai Tek Sing ditemukan oleh seorang pemburu harta karun dan pelaut asal Inggris, Michael Hatcher. Melihat itu, tentu saja ratusan harta tersebut langsung digasak dan dilelang ke seluruh dunia. Pelelangan terbesar harta karun dari Selat Gaspar ini terjadi di Jerman pada 2000. 

Selain harta karun porselen, Hatcher dan krunya juga menemukan jasad-jasad para korban tragedi yang dikenal sebagai Titanic of The East ini. Namun, karena kepercayaan orang setempat tentang pamali memindahkan jenazah, maka sisa-sisa manusia tersebut dibiarkan di lokasi karamnya kapal.

Konon, porselen-porselen ini berasal dari daerah Dehua, Cina. Pada masanya, daerah ini dikenal sebagai penghasil keramik putih yang ciamik dan kemudian memasok peranti keramik secara massal. 

Toh kelana harta-harta karun ini ke seluruh dunia tak berlangsung lama. Pada 2001, Pemerintah Australia berhasil menyita hasil ekspedisi Hatcher dan krunya. Dua puluh satu kemudian, Pemerintah Australia kembali mengembalikan lebih banyak lagi harta karun dari Selat Gaspar tersebut ke Tanah Air. Setidaknya sekitar 333 keramik dikembalikan ke Indonesia pada 17 Agustus silam di Canberra.

Pengembalian harta karun atau benda budaya bersejarah ini dilakukan Australia di bawah Undang-Undang Perlindungan Warisan Budaya Bergerak Australia. Peraturan ini mendukung pengembalian kekayaan budaya asing setelah diekspor secara ilegal dan diimpor ke Australia. 

Kloter kedua pengembalian harta karun Tek Sing ini dilakukan atas bantuan Polisi Federal Australia di Perth menyusul penyelidikan setelah benda tersebut diiklankan untuk dijual secara online.

Harta karun Tek Sing, adalah satu dari banyak kasus penjarahan dan pencurian benda-benda cagar budaya di Indonesia. Kepulangan 333 keramik ini dari Australia merupakan hasil ketegasan dan keseriusan implementasi kebijakan budaya negara itu terkait konservasi benda cagar budaya. Meskipun tak bisa dimungkiri, motif politik hubungan diplomasi antar kedua negara juga menjadi salah satu faktor penting pengembalian ini.

“Barang-barang ini seharusnya tidak pernah keluar dari Indonesia dan ditawarkan untuk dijual. Barang ini milik otoritas budaya Indonesia sehingga dapat dilestarikan dengan baik,” kata Tony Burke, Menteri Kebudayaan Australia.

Tragedi dua abad itu pun lantas ditutup dengan akhir bahagia karena kebijakan budaya negara tetangga. Sungguhpun Indonesia sebetulnya punya kebijakan serupa, tapi soal itu rasanya kita bahas di kesempatan berbeda. Sekarang, kita rayakan saja kepulangan harta karun dari Selat Gaspar itu.