Kota batik di Pekalongan. Bukan Yogya, bukan Solo. Begitu pula kampung martabak di Lebaksiu. Bukan Bandung, apalagi Bangka. Konon di desa inilah martabak yang sebagaimana kita kenal lahir dan kemudian disebarkan oleh para maestronya ke seantero Indonesia, layaknya para misionaris menyebarkan kabar kasih ke penjuru dunia.
Jika ada pemilihan camilan favorit orang Indonesia, rasanya martabak bisa jadi salah satu kontender utama. Makanan ini hadir dengan dua pilihan cita rasa: manis dan gurih, siap memuaskan berbagai selera kita.
Bersaing ketat dengan gorengan, keberadaan martabak ini omnipresent alias di mana-mana. Acara kumpul-kumpul? Akan lebih lengkap dengan kehadiran martabak. Suguhan instan untuk tamu dadakan? Martabak pilihannya. Traktiran ulang tahun? Lagi-lagi martabak jawabannya. Bahkan, martabak juga jadi hantaran andalan bagi para bujang yang hendak menemui orangtua pujaan hatinya.
Bicara soal martabak, pasti banyak dari kita yang mengidentikan sajian ini dengan dua kota: Bandung dan Bangka. Tapi jangan salah, kampung martabak adanya di Tegal. Lokasi tepatnya ada di Desa Lebaksiu, yang jaraknya sekitar 27 kilometer arah selatan kota Tegal, atau kira-kira satu jam naik kendaraan bermotor.
Konon, resep martabak telor yang kita kenal saat ini lahir dari Desa Lebaksiu, Tegal. Lahir dari persahabatan antara saudagar India dengan pemuda setempat, resep ini lantas dibawa ke seluruh pelosok Indonesia.
Lebaksiu terkenal dengan martabak telurnya yang kini banyak dijual hingga seluruh pelosok Indonesia. Kecamatan ini menjadi titik awal terciptanya jajanan bercita rasa gurih dan asin ini, lengkap dengan aroma rempah dan tekstur daging berbalut telur yang juga menambah kenikmatan.
Konon, semua berawal dari persahabatan unik yang terjadi antara seorang saudagar India dengan pemuda Lebaksiu pada awal 1930. Keduanya berhasil memodifikasi Mutabbaq atau Moortaba (jajanan Arab berbahan dasar terigu, telur, dan kentang yang disajikan dengan kuah kari kambing) menjadi Martabak, dan yang tak kalah penting, mewariskan resepnya secara turun-menurun kepada warga Lebaksiu. Makanya, tak heran kalau kecamatan ini pun akhirnya banyak melahirkan pedagang martabak yang kini berjualan di hampir semua daerah di Indonesia.
Di Lebaksiu, martabak bukan hanya makanan. Melainkan sebuah indentitas. Tidak hanya rasa martabaknya yang menjadi kebangaan, tapi juga keterampilan masyarakat membuat berbagai peranti pendukung martabak. Mulai dari bumbu, loyang, gerobak, dan seperangkat alat melapak lainnya. Desa ini mengembangkan resep sederhana menjadi sebuah ekosistem yang menghidupi tiap-tiap masyarakat.
Setelah perencanaan selama beberapa waktu, akhirnya saya berkesempatan untuk mengunjungi Lebaksiu untuk sekadar ingin mencicipi langsung masterpiece dari daerah asalnya. Berangkat dari Pemalang sekitar pukul sepuluh pagi, butuh waktu sekitar satu setengah jam naik motor untuk tiba di sana. Kedatangan saya disambut Patung Gerakan Banteng Nasional (GBN) yang berdiri tegak di pinggir jalan utama, ibarat Pancoran di Jakarta saja.
Berkendara santai melewati jalan utama Lebaksiu, deretan kios martabak menjadi pemandangan baru. Usut punya usut, beberapa dari kios itu sudah membuka lapaknya sejak pagi hari. Ada juga kios yang lokasinya cukup masuk dari jalan utama, pun bergerai khusus yang menyediakan bumbu, alat masak, juga gerobak untuk melapak.
Saya yang mulai penasaran segera menepikan motor menuju salah satu toko alat masak martabak, sekaligus berteduh dari teriknya cuaca siang itu. Beberapa orang duduk di pelataran toko yang cukup sempit, sisanya tengah menunggu pesanannya. Dilihat dari dekat, toko itu lebih mirip bengkel las dengan aroma karat besi yang cukup menyeruak dan bunyi mesin bubut yang memecah tenangnya siang itu, kontras sekali dengan warung sayuran yang berada persis di sampingnya.
Segala hal yang berhubungan dengan lapak martabak bisa ditemukan di Lebaksiu. Mulai dari bumbu paling gurih hingga pembuat gerobak dengan jaminan kualitet.
Mata saya fokus mengamati seorang pegawai yang tengah sibuk membubuti cetakan, Aziz namanya. Ia telah bekerja di sana sejak lima tahun lalu, saat dirinya memutuskan untuk alih profesi dari penjual martabak. “Saya sempat ikut bantu teman jualan martabak di Banten sekitar tahun 2012. Akhirnya pulang kampung karena ingin dekat dengan keluarga,” ujarnya.
Dalam sehari, Aziz dapat menyelesaikan sepuluh loyang martabak dengan bermacam ukuran. Harga loyangnya juga disesuaikan dengan jenis ukuran dan tipe martabak. Loyang untuk martabak telur lebih mahal harganya ketimbang loyang martabak manis. Kebanyakan hasil produksinya dipasok menuju beberapa toserba lokal di Lebaksiu. Ada juga yang dikirim menuju penjual yang melapak di luar Jawa diantaranya Manado, Samarinda, dan Banjarmasin.
Geliat bisnis martabak di Lebaksiu juga memberikan kesempatan dan kebangaan tersendiri bagi para pemuda setempat. Di desa ini, adalah lumrah seorang remaja sudah terampil mengadon martabak. Beberapa di antaranya bahkan turut mengasah keterampilan membuat loyang yang tak kalah penting dalam proses membuat martabak kualitas wahid.
Aziz dibantu Fahmi, keponakannya yang selalu datang ke toko saban pulang sekolah. Awalnya, remaja 16 tahun ini hanya datang untuk bermain, lama-kelamaan ia tertarik untuk bekerja sampingan di sana. “Lumayan buat nambah uang jajan, Mas,” katanya sambil tertawa. Ia bahkan sudah bisa mengolah adonan martabak sendiri meskipun usianya masih remaja, hal yang ternyata lumrah bagi warga Lebaksiu.
Menggeliat di Tengah Deru Pabrik
Lebaksiu juga tetap terpapar deru industri. Terdapat belasan pabrik dari ragam sektori industri berdiri di sana. Baru-baru ini, pembangunan sebuah pabrik alas kaki berskala ekspor juga tengah berjalan. Walaupun begitu, banyak warga yang tetap menaruh minatnya pada usaha martabak. Hingga kini, data terakhir yang dihimpun dari Desa Lebaksiu Kidul saja sudah menunjukkan lebih dari 3200 warga yang menjual jajanan ini.
Bisnis martabak di Lebaksiu tumbuh secara organik dari masa ke masa di desa ini. Keterampilan mereka meramu martabak diakui di banyak daerah di Indonesia. Terbukti dari kesuksesan banyak dari warga desa yang merantau sebagai penjual martabak.
Martabak bahkan turut menyumbang kemajuan bagi daerah ini. Dua buah masjid setinggi dua lantai di Lebaksiu Lor dan Kidul berdiri megah sebagai hasil dari sumbangan besar beberapa penjual martabak. Beberapa lainnya bahkan mendirikan gerai-gerai minimarket kenamaan dan toserba untuk meramaikan desa.
Menariknya, dari jumlah tadi, terdapat pula beberapa pemuda bergelar sarjana yang cukup berani untuk mengambil pilihan sebagai penjual martabak di kampungnya ketimbang menjadi pekerja tetap di kota. Salah satunya adalah Fikri. Pria 26 tahun ini sehari-harinya bekerja membantu orang tuanya berjualan martabak, juga mengelola kedai sate kambing mereka yang cukup besar dan berlokasi tepat di pinggir jalan utama Tegal-Purwokerto.
Saya bertemu dengannya setelah puas menilik seluruh proses pembuatan loyang martabak di toko Aziz hingga menjelang senja. Saat saya mampir, sudah ada empat orang yang mengantri martabak buatannya. Tangannya lentur membanting dan memutar adonan hingga mulai terlihat tipis dan melebar, sebelum ia mencelupkannya ke dalam wajan dan menggorengnya. “Saya sudah bisa bikin martabak sejak SMP, Mas. Awalnya memang belajar sendiri, lalu waktu saya coba kok rasanya enak, akhirnya jadi pede juga untuk bikin lagi,” ujarnya sambil tetap membanting adonan.
Salah satu bukti efek domino ekosistem bisnis yang berkelanjutan di Lebaksiu tecermin dari renovasi masjid di ujung Selatan dan Utara desa ini. Kemajuan masyarakat desa berbisnis martabak berbuah terhadap kemajuan desa dan budayanya.
Pengalamannya berjualan martabak dimulai kala ia merampungkan studi farmasinya di salah satu Politeknik ternama di Kota Tegal. Bukannya bekerja menjadi apoteker, ia justru memilih membanting setir. “Saya bahkan sempat buka gerobak persis di seberang Liquid Yogyakarta (klab malam di Yogyakarta - red), Mas. Sekarang pulang dulu untuk bantu-bantu di sini, kebetulan kondisinya memang ramai setiap hari,” katanya.
Keputusannya untuk memilih berjualan ketimbang bekerja sesuai bidang studinya memang besar, dan kelak akan menentukan jalan hidupnya. Fikri memilih menanggapinya dengan santai, karena baginya pilihan seperti ini pasti akan ditemui dalam kehidupan entah cepat atau lambat. Toh, nyatanya hidup juga terus berjalan dengan pilihan apapun yang diambil.
Fikri, sarjana lulusan farmasi yang memilih banting setir jadi penjual martabak sembari tetap memupuk mimpiny punya apotek sendiri di kemudian hari.
“Sekarang, saya ingin melanjutkan dulu apa yang sudah diwariskan Bapak dan Ibu. Siapa tahu, nanti kalau saya ada rezeki lebih banyak bisa punya apotek sendiri. Tempatnya di seberang warung saja biar dekat, bantu doanya saja ya, Mas,” harapnya, bersambung kata amin yang berulang dari saya.