Logo Spektakel

Home > Eksplorasi > Tradisi >

Tradisi Sasi dan Perenungan dari Desa Letwurung

Tradisi Sasi dan Perenungan dari Desa Letwurung

Teks & Foto oleh: Adipatra Kenaro Wicaksana

Tradisi Sasi dan Perenungan dari Desa Letwurung

Tradisi dan pembangunan umumnya dibicarakan sebagai dikotomi. Seolah-olah yang satu menihilkan yang lain. Perjalanan saya ke Desa Letwurung dan perkenalan saya dengan tradisi Sasi akhirnya cukup banyak membongkar perspektif saya mengenai kedua hal tersebut.

Tak ada peluit kapal. Tak ada suara bising lalu lintas. Hanya deru angin laut yang mengabarkan bahwa kami hampir tiba di salah satu sudut paling sunyi di negeri ini Kepulauan Babar, Maluku Barat Daya. 

Pada Januari 2024, saya mengarungi perjalanan jauh menembus musim timur yang ganas ke Desa Letwurung bersama tim dari Pusat Kajian Sumber Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Dengan berbagai latar belakang keilmuan, misi kami saat itu adalah untuk melakukan studi Analisis Dampak Lingkungan di sana.

Namun, sejak awal tiba ada satu hal yang menarik perhatian kami, sebuah sumur tua yang hingga kini masih aktif dipakai oleh masyarakat setempat. Entah sejak kapan sumur itu dibuat. Yang jelas, sepanjang ingatan mereka yang masih bermukim di sana, sumur itu selalu menjadi bagian dari hidup dan keseharian mereka. 

Sumur tua yang telah lama menjadi sumber daya hidup masyarakat di Desa Letwurung. Hingga kini, sumur tua serta sumur-sumur pribadi milik warga masih menjadi sumber air utama bagi masyarakat. (Foto: Spektakel/Adipatra Kenaro Wicaksana)

Dalam perjalanan itu tentu saja saya bertemu dengan pejabat setempat, Pak Selkius Lakburlawal salah satunya. Ia adalah Kepala Desa Letwurung saat itu. Ndilalah beliau juga lantas bercerita mengenai sumur warisan leluhurnya itu. "Dulu, ini satu-satunya sumber air bagi nenek moyang kami. Sampai sekarang, airnya masih bisa diminum," kata Pak Selkius.

Mendengar hal itu, tentu saya tergelitik mengingat saya juga melihat beberapa Pipa Program Air Minum dan Sanitasi Masyarakat (Pansimas) milik pemerintah yang tersebar di area sekitar sumur tua. Saat saya tanyakan mengenai hal itu ke Pak Selkius, beliau hanya menghela napas sebelum akhirnya tertawa kecil.  

"Pipa ada, tapi airnya? Tidak mengalir. Yang mengalir hanya janji,” katanya masih dengan tertawa. Ia menunjuk ke arah beberapa pipa yang tergeletak begitu saja di sekitar desa, tak pernah terhubung dengan sumber air. 

"Mereka salah perhitungan, menggali di tempat yang salah. Desa ini tanahnya bukan tanah subur, tapi batu. Air sulit ditemukan di sini,” lanjut Pak Selkius. Pernyataan itu tentu cukup menohok saya. Sebab toh proyek-proyek semacam ini tentu saja juga melibatkan orang-orang seperti saya yang melakukan studi lingkungan. Siapa sangka ternyata hasil hitungan peneliti kota seperti saya bisa kalah canggih dibandingkan dengan pemahaman nenek moyang mereka. 

Pipa-pipa dari program Pansimas pemerintah yang gagal menyediakan sumber air bersih bagi masyarakat Letwurung karena salah perhitungan. (Foto: Spektakel/Adipatra Kenaro Wicaksana)

Begitulah, ternyata meskipun dengan upaya-upaya pembangunan dari pusat, pada akhirnya masyarakat di Desa Letwurung melanjutkan hidupnya dengan modal kearifan lokal mereka. "Ya, sumur ini dan sumur-sumur pribadi yang masyarakat gali sendiri," tambahnya. 

Sumur tua ini serta sumur-sumur pribadi milik warga ini, bukan hanya menjadi sumber air tanah tetapi juga difungsikan sebagai penampung air hujan untuk cadangan air sewaktu musim kemarau. Namun, itu juga belum tentu menjamin kecukupan air mereka. Terutama saat musim kemarau panjang menjelang. 

Kondisi itu tentu saja menantang, tetapi tradisi leluhur mereka juga memberikan solusi untuk menjaga hidup yang berkesinambungan. 

Sasi, manifestasi kesadaran kolektif

Sasi merupakan tradisi atau hukum adat yang berfungsi sebagai larangan atau pembatasan penggunaan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut, untuk jangka waktu tertentu. Tradisi ini tersebar di banyak kelompok masyarakat di Maluku hingga ke Papua. Di Letwurung, tradisi sasi juga dikenal dengan ererka.

Bagi masyarakat yang menjalankan sasi, tradisi ini bukan sekadar larangan. Melainkan sebuah manifestasi kesadaran kolektif. Sasi merupakan sebuah kesepakatan bersama untuk memastikan sumber daya alam dapat bermanfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat. Pun untuk memberi ruang bagi bumi agar bisa bernafas dan memulihkan diri.

Penanda sasi sedang berjalan di Kampung Lama di Desa Letwurung.

Dalam praktiknya, ketika musim panen menjelang, masyarakat Letwurung tidak tergesa-gesa memetik hasil bumi. Alih-alih, mereka akan menandai area-area yang akan disasi dengan papan kayu dan helai daun kelapa yang dibentangkan. Mereka menahan diri. Pohon kelapa, bambu, hingga aneka buah dibiarkan tumbuh tanpa gangguan. Alam diberi ruang dan waktu untuk berproses. 

Pak Selkius kemudian juga bercerita tentang aturan Sasi. Sambil menunjuk seutas daun kelapa yang tergantung di ujung kebun, ia berujar, “Kalau daun itu belum dilepas, jangan sekali-kali coba-coba ambil. Bisa panjang urusannya.”

“Itulah sasi, tradisi sakral yang diwariskan turun-temurun. Simbol sederhana, tapi bermakna dalam bahwa manusia harus tahu kapan harus mengambil, dan kapan harus menunggu.” Tambahnya sebagai penegas

Sasi di Letwurung memiliki beberapa bentuk. Ada yang ditetapkan lewat ritual adat, dan ada pula yang disebut Sasi Gereja, di mana larangan diumumkan saat kebaktian. Meski mekanismenya berbeda, keduanya berpijak pada prinsip yang sama yakni untuk melindungi sumber daya hingga benar-benar siap dipanen. 

Saat masa tutup sasi berlangsung, tidak boleh ada yang memetik buah kelapa atau mengambil hasil laut seperti teripang. Jika melanggar, bukan hanya akan kena tegur adat, tapi juga denda berupa uang. Nilainnya bisa mencapai Rp5.000.000. Di Desa Letwurung, sasi juga diakui secara legal lewat peraturan desa. 

Rumah adat di Desa Letwurung yang dijadikan salah satu monumen sejarah, dibangun pada 1906. 

Namun ketika sasi dibuka, suasana berubah. Masyarakat menggelar upacara adat sebagai penanda masa panen sah secara adat. “Kita bersyukur, lalu kita panen. Bukan sebaliknya,” kata Pak Selkius.

Di tengah dunia yang kian konsumtif dan serba cepat, Letwurung mengingatkan saya tentang pentingnya keberlangsungan siklus dan proses. Di sini masyarakat mengimani bahwa sumber daya bukan untuk diambil sebanyak-banyaknya, melainkan dimanfaatkan secukupnya, dengan kesadaran akan batas dan waktu.

Lewat tradisi sasi ini, masyarakat Letwurung manusia dan alam bukan dua hal yang terpisah. Mereka hidup berdampingan dalam harmoni, dalam kesepakatan yang disegel oleh daun kelapa, dan dalam kesabaran yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Cerita tentang soa dan Kampung Lama

Semakin lama mendengarkan cerita Pak Selkius, semakin dalam saya larut dalam khidmatnya Letwurung. 

Dalam bahasa setempat, Letwurung berasal dari kata Lehwor Leh yang berarti desa atau kampung, dan Wor berarti gunung besar atau hutan lebat. Desa ini lahir dari persekutuan tujuh datuk yang dipercaya merupakan leluruh masyarakat setempat. Konon, mereka datang dari arah yang berbeda dan kemudian memilih untuk menetap dan membangun wilayah yang kini diwarisi keturunan mereka. 

Area Kampung Lama di Desa Letwurung.

Dari ketujuh datuk ini, kemudian lahirlah tujuh soa atau marga yang menjadi penopang kehidupan dan identitas mereka. Jejak mereka tertanam kuat di Kampung Lama, tempat kami berjumpa dengan sumur tua tadi. Nampak rumah-rumah adat menghadap hutan, mengelilingi sumur tua yang jadi pusat kehidupan. Di sinilah pertama kali ketujuh datuk tadi bermukim dan kemudian diteruskan oleh keturunannya. 

Masing-masing soa di Letwurung mempunyai perannya sendiri, saling melengkapi. Ada Soa Lakburlawal, keturunan Kukleky dan Watoy, yang dikenal sebagai orhel-orul—penjaga tanah awal Letwurung. Kemudian ada Soa Lewier dari garis Rerem dan Ratilmya yang memegang peran perintah pusat otoritas adat. Dari rumah tua mereka, arah keputusan adat sering ditentukan. 

Selanjutnya, ada Soa Unmehopa yang berasal dari tanah Leti. Soa ini berperan penting sebagai twmekorl-wawmelly atawa juru bicara dan penjaga adab dalam setiap musyawarah. Sementara itu peran kapitan adat dipegang oleh Soa Uniwaly dan Soa Hematang dari Pulau Luang. Merekalah yang yang memegang perisai adat dan menjad pelindung kampung saat bahaya mengintai. Sementara Soa Letlora dan Soa Untajana, meski tak memegang gelar khusus, tetap menjadi bagian penting dari tatanan sosial. 

Sampai saat ini tatanan adat dan peran masing-masing soa masih mengakar kuat dalam masyarakat Letwurung. Terutama saat menjalankan tradisi sasi. Jejaknya secara fisik juga masih bisa dikunjungi di Kampung Lama. 

Peternakan babi milik warga di Kampung Lama di Desa Letwurung. Kampung Lama juga masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang telah pindah ke permukiman yang lebih baru sebagai lahan pertanian serta peternakan. (Foto: Spektakel/Adipatra Kenaro Wicaksana)

Kampung lama bagi masyarakat Letwurung bukan sekadar tapak sejarah, tetapi tanah pertama di mana semua itu bermula. Dan ternyata, Letwurung bukan satu-satunya. Di Maluku Barat Daya, hampir setiap desa memiliki Kampung Lama-nya sendiri yang juga disebut dusun atau kampung adat.

Pada zaman dahulu, kampung-kampung ini merupakan pusat kehidupan banyak kelompok masyarakat di Maluku Barat Daya. Hal ini ditandai dengan keberadaan sumur tua yang menjadi sumber daya hidup mereka. Sampai kemudian peperangan, bencana alam, atau pembangunan memindahkan mereka ke area-area permukiman yang lebih baru dan banyak kita jumpai saat ini. 

Meskipun berpindah, kenangan dan nilai-nilai yang tumbuh di kampung lama tetap mereka bawa, dan terus dijaga dengan hormat yang sama. Bagi mereka, Kampung Lama adalah rumah dari leluhur dan merupakan tonggak identitas. 

Karena itulah sampai saat ini pun, masih ada beberapa keluarga yang bertahan menetap di dalam area Kampung Lama. Terutama mereka yang memang keturunan dari tujuh soa tadi. Sementara bagi mereka yang sudah berpindah, Kampung Lama tetap mempunyai ikatan yang praktikal karena juga dimanfaatkan sebagai lahan untuk memelihara hewan ternak ataupun pertanian.

Harapan yang tak pernah padam

Sebelum kami pergi, saya duduk di tepi pantai, memandang laut yang membentang tanpa batas. Letwurung adalah desa yang menyimpan banyak cerita dan memberikan banyak pelajaran. 

Masyarakatnya hidup di antara keterbatasan dan ketangguhan. Toh mereka tetap bertahan dengan daya hidup yang luar biasa—berbekal warisan leluhur serta harapan-harapan baru di tengah alam. 

Sumur tua, Kampung Lama, serta nilai-nilai tradisi di Letwurung merupakan tonggak identitas bagi masyarakatnya.

Adat dan tradisi yang mereka imani pun mengajak saya merenungi kembali makna modernitas. Tradisi adalah alat mereka untuk bertahan hidup secara praktis—lewat sasi, lewat sumur tua di Kampung Lama. Bukan pipa bikinan negara ataupun hasil studi dari peneliti kota semacam saya. 

Selama ini barangkali saya dan kawan-kawan penliti banyak terjebak melihat situasi di pelosok Indonesia sebatas sebagai angka dan data. Barangkali dalam proses studi kami selama ini yang luput adalah pembacaan terhadap tradisi dan nilai-nilai leluhur yang tak kalah canggih dibandingkan dengan teori-teori pembangunan modern mengenai sustainable development goals. 

Saya menarik napas panjang, menyadari bahwa perjalanan ini bukan sekadar studi, melainkan cermin realita. Tradisi di Letwurung, dan saya yakin juga ada di banyak bentuk adat tradisional lain, ialah sebuah solusi ekologis yang lahir dari pengalaman yang kemudian menjadi kearifan lokal, diturunkan dari generasi ke generasi. Sasi dan cerita tentang sumur tua di Letwurung, rasanya cukup layak untuk dijadikan model referensi dalam pembuatan desain-desain pembangunan serta kebijakan yang berkelanjutan dan berkesadaran sosial.