Logo Spektakel

Home > Folklor >

Sangkuriang Yang Mengawini Ibunya

Sangkuriang Yang Mengawini Ibunya

I. Sepasang dewa-dewi khayangan dihukum oleh Dewa Brahma, karena melakukan kesalahan yang tidak bisa diungkapkan demi nama baik para dewa serta keluarganya. Jenis kesalahan bilamana diketahui manusia, maka otoritas kedewaan bisa digugat. Maka Dewa Brahma memberikan hukuman kepada sepasang dewa-dewi tersebut berupa kutukan; menjadi anjing serta babi, diturunkan ke alam manusia untuk berbuat, entah bagaimana caranya.

Maka dewa terhukum menjelma seekor anjing dan namanya tercatat sebagai Tumang, dan dewi terhukum menjelma seekor babi hutan atau biasa disebut celeng dengan nama yang lebih oke, Wayung Hyang.

Sebagai seekor celeng, Wayung Hyang tak punya pilihan selain hidup di hutan. Bila ia masuk desa, bisa-bisa ia berakhir ditusukan sate. Nasib Tumang lebih baik, sebagai anjing ia berada di kasta mumpuni; menjadi anjing pemburu untuk seorang raja yang bernama Prabu Sumbing Perbangkara. Tumang diambil oleh seorang prajurit dari pinggir hutan, dan ternyata menunjukan bakat ciamik sebagai anjing pemburu. Itulah sebabnya ia bisa jadi anjing elit di kalangan istana.

Suatu hari Prabu Sumbing Perbangkara ditemani rombongan prajurit, berburu ke hutan di tepi kerajaan. Entah kenapa hari itu hutan terasa sunyi, tidak ada hewan buruan. Prabu Sumbing beserta rombongan memutuskan untuk beristirahat. Tenda-tenda didirikan, meja-kursi disiapkan, makanan-minuman disajikan. Hewan buruan tak didapatkan, tetapi pesta di tengah hutan tetap bisa dilakukan, begitu pikir Sang Prabu.

Kenyang sudah perut Sang Prabu. Sembari menyeruput kopi, Prabu Sumbing Perbangkara berjalan-jalan sedikit untuk meluruskan kaki. Tak lama ia melangkah, terasa kantung kemihnya bertingkah; ia harus melakukan tindakan urinasi, alias kencing. Malas kembali ke tenda, Prabu memutuskan untuk melakukannya di balik pohon saja.

Urin mengalir deras, sambil bersiul-siul, Prabu Sumbing Perbangkara memain-mainkan penisnya - menembak-nembak urin kesana-kemari. Dilihatnya batok kelapa. "Hmmmmm, aneh juga ada batok kelapa di sini", pikirnya. Urin yang masih deras ia tembakan ke batok kelapa tersebut, terisi hingga penuh. "Wah, jago juga aku", ucapnya bangga melihat karya agungnya.

Tak lama setelah rombongan Prabu meninggalkan tempat kejadian, munculah Wayung Hyang. Rupanya ia sedang kehausan setelah berjalan kesana-kemari. Dilihatnya air dalam batok kelapa, tanpa pikir panjang diminumnya sampai habis air tersebut. "Aneh juga rasanya air ini, bau langu dan agak asin", begitu pikirnya.

Tentu Wayung Hyang tak tahu bila air yang ia minum adalah urin Prabu Sumbing Perbangkara. Dan tentu saja Wayung Hyang juga tidak tahu bila urin Prabu mengandung kesaktian. Jangan-jangan Prabu Sumbing Perbangkara pun tidak mengetahui hal tersebut.

Singkat cerita, setelah Wayung Hyang tiba di bawah pohon besar yang ia jadikan tempat peristirahatan, ia merasakan perutnya bergejolak. "Nguik...nguik...nguik!", begitu teriaknya bila didengar telinga manusia. Agar kita semua paham, maka segala bentuk bahasa celeng diterjemahkan ke dalam bahasa manusia.

"Aduh...aduh...aduh!", teriak Wayung Hyang. Mual dan sakit, itu yang ia rasakan. Berguling-guling ia sampai akhirnya lelah dan tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang perempuan, anggota sebuah organisasi yang menyampaikan bila Wayung Hyang mengandung seorang anak manusia. Dan mimpi itu menjadi kenyataan! Rupanya urin Prabu Sumbing Perbangkara yang ia minum menyebabkan kehamilan. Wayung Hyang tak habis pikir, rupanya bukan cuma berenang yang bisa menyebabkan kehamilan.

Bulan berganti bulan, kehamilan Wayung Hyang sudah masuk masa melahirkan. Ia meringkuk di bawah pohon, pasrah akan keadaan. Tentu tak ada yang berpikir seekor celeng mengandung anak manusia, sedangkan sebagai celeng jelmaan, Wayung Hyang jelas tak punya pengalaman. Ia pasrah.

Di saat bersamaan Prabu Sumbing Perbangkara beserta rombongan pejabat terkait serta prajurit, kembali berburu di hutan. Mereka melintasi area dimana Wayung Hyang tengah tergeletak pasrah. Tumang yang ikut rombongan berburu tersebut tentu memiliki insting berbeda dari anjing lainnya. Sebagai mantan dewa, Tumang bisa merasakan bila didekatnya ada Sang Dewi terhukum. Maka ia berlari ke arah Wayung Hyang.

Prabu Sumbing Perbangkara melihat Tumang berlari, kemudian mengikutinya. Tumang tiba terlebih dahulu, tepat disaat bayi Wayung Hyang lahir. Seorang anak perempuan yang jelita! Tumang menatap Wayung Hyang yang tergolek lemah dengan napas tersenggal-senggal. "Bila Wayung Hyang ditemukan oleh para manusia, pasti akan gawat dan geger", begitu pikir Tumang, atau dalam bahasa anjing akan terdengar seperti: "Wuukkk gukgukguk! Guk! Guk!".
Maka Tumang meminta kepada Dewa Brahma, agar Wayung Hyang diberikan kekuatan untuk bisa menyingkir. PermintaanTumang dikabulkan oleh Dewa Brahma dan secara ajaib Wayung Hyang menjadi bugar dan segera meninggalkan tempat tersebut untuk menyelamatkan diri.

Semua itu terjadi secara cepat, sehingga ketika Prabu Sumbing Perbangkara beserta rombongan pejabat terkait tiba, mereka hanya menemukan Tumang tengah duduk menemani seorang bayi perempuan yang jelita. Semua takjub. "Tumang adalah anjing jantan, mana mungkin ia melahirkan!", begitu ucap hulubalang. Prabu tidak menghiraukan celoteh para pejabatnya yang berebut memberikan teori-teori dari mana asalnya bayi tersebut. Bahkan ada yang sampai baku hantam di antara mereka.

Prabu Sumbing Perbangkara mengambil bayi jelita itu ke pelukannya. Sudah lama ia mendambakan anak, setelah sekian ratus selir - tak satu pun memberikannya keturunan. Prabu Sumbing Perbangkara tentu tidak tahu bila bayi tersebut adalah anaknya sendiri. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Dayang Sumbi.

II.

Dayang Sumbi tumbuh menjadi seorang putri yang berparas elok. Kecantikan tersiar ke segenap penjuru hingga tiba ke telinga para raja serta  pangeran. Keelokan Dayang Sumbi seperti tak ada duanya, lebih dari Wulan Guritno atau Sophia Latjuba atau gabungan keduanya.

Perebutan Dayang Sumbi ini menyebabkan perang besar di mana-mana. Jelas keadaan tersebut membuat Dayang Sumbi menjadi tidak nyaman. Ia kemudian melakukan pertapaan, dan dalam tapanya Dayang Sumbi mendapatkan wangsit untuk menyingkir tinggal di hutan ditemani oleh Tumang, anjing pemburu Prabu Sumbing Perbangkara.

Prabu Sumbing Perbangkara awalnya keberatan akan permintaan Dayang Sumbi ini, tetapi melihat keyakinan anak semata wayangnya, ia tak punya pilihan selain memberi restu. Maka berangkatlah Dayang Sumbi bersama Tumang, tinggal di sebuah pondok dalam hutan. Dayang Sumbi menjalani kehidupan sederhana, jauh dari gemerlap seorang putri raja. Di pondok itu ia mengisi kegiatannya dengan menenun.

Suatu hari, saat menenun kain, Dayang Sumbi duduk di atas bale-bale. Karena mengantuk, alat tenunnya yang disebut torak terjatuh ke lantai. Antara sadar dan tidak, Dayang Sumbi menggumam bahwa ia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan torak itu untuknya. Tumang, anjing yang menjaganya, mengambil torak tersebut dan menyerahkannya kepada Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi jelas menjadi gamang. Sumpahnya mesti dilaksanakan, karena ia percaya akan terkena kutuk bila tidak ia penuhi. "Tapi, masa aku harus menikahi seekor anjing? Apa kata dunia?!", begitu jerit Dayang Sumbi.

Tumang, jelmaan dewa yang terhukum, tentu paham apa yang ada dipikiran Dayang Sumbi. Tumang jelas tak mau menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan istri seorang Dayang Sumbi yang selama ini menjadi rebutan para raja dan pangeran dari seantero negeri. Ia segera mengirimkan permohonan tidak tertulis kepada Dewa Brahma, agar diberikan jalan untuk menikahi Dayang Sumbi.

Dewa Brahma memberikan kesempatan kepada Tumang untuk menjelma menjadi lelaki tampan pada tiap purnama, tidak lebih-tidak kurang. Tumang tentu tidak punya pilihan selain mengambil kesempatan tersebut. Maka, untuk pertama kalinya, pada sebuah purnama, Tumang menjelma menjadi seorang pemuda tampan.

"Demi dewa-dewa, siapa lelaki tampan itu?!", jerit Dayang Sumbi ketika melihat sosok Tumang sebagai pemuda tampan. Tumang kemudian menjelaskan kepada Dayang Sumbi perihal dirinya, perihal syarat dan ketentuan yang diberikan oleh Dewa Brahma.

Singkat cerita, Dayang Sumbi dan Tumang menikah. Tak lama kemudian, Dayang Sumbi hamil dan melahirkan seorang putra yang tampan. Kulitnya putih dengan rambut lebat legam seperti arang. Dayang Sumbi memberinya nama Sangkuriang. Bayi itu kemudian tumbuh menjadi anak yang tangkas.

III.

Tentu tidak ada yang tahu bila Tumang adalah ayahnya Sangkuriang, bahkan Sangkuriang sendiri pun tak tahu. Sangkuriang tumbuh menjadi anak terampil, pandai berburu dengan kemahiran memanah yang patut diacungkan jempol.

Suatu hari  Dayang Sumbi ingin sekali memakan hati rusa, maka ia meminta anaknya untuk berburu rusa. Sangkuriang baru berumur 8 tahun, tetapi ia pemberani dan hapal seluk beluk hutan tempatnya tinggal. Ditemani Tumang, Sangkuriang pergi berburu. Anehnya, hari itu rusa seperti sedang liburan keluar kota, tidak tampak sebuntut pun.

Ia hampir putus asa, dan takut mengecewakan hati ibunya. Tetiba, muncul seekor celeng dari balik semak rimbun, dengan sigap Sangkuriang langsung membidik panahnya ke celeng tersebut. Celeng itu tak lain dan tak bukan adalah Wahyu Hyang, yang sesungguhnya adalah nenek dari Sangkuriang! Tentu Sangkuriang tidak tahu hal itu, sebagaimana ia tidak tahu bila Tumang, anjing yang selama ini setia menemaninya berburu adalah ayahnya! Ya, Sangkuriang lahir dari keluarga yang eksentrik!

Tumang yang melihat Sangkuriang membidik panah ke Wahyu Hyang, berlari cepat dan tepat saat anak panah dilepaskan, Tumang melompat ke depan Wahyu Hyang dan terkena panah tepat di jantungnya. Wahyu Hyang segera melarikan diri ke balik pepohonan dan menghilang.

Sangkuriang menjerit histeris dan memeluk Tumang. Diujung ajalnya, arwah dewa keluar dari jasad anjing dan memerintahkan Sangkuriang untuk mengambil hati Tumang. Sangkuriang yang masih anak-anak tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dan ia menuruti perintah tersebut. "Bilang pada ibumu, bila itu adalah hati rusa hasil buruanmu", begitu kata-kata terakhir yang diucapkan dewa alias Tumang sebelum menghilang menjadi kabut.

Setibanya di rumah, Sangkuriang menyerahkan hati Tumang yang ia klaim sebagai hati rusa. Dayang Sumbi dengan gembira memasak hati itu. Namun ketika waktu makan tiba, Sangkuriang terlihat tidak bernafsu. Dayang Sumbi heran dengan sikap anak lelakinya. Ia pun tersadar, sejak Sangkuriang pulang berburu, ia tidak melihat Tumang. Setelah didesak, Sangkuriang akhirnya menjelaskan kepada ibunya apa yang terjadi.

Dayang Sumbi terhenyak! Kepalanya tetiba pusing dan tubuhnya limbung! Dayang Sumbi kehilangan akal sehatnya dan menjadi histeris. Sangkuriang mencoba menenangkan ibunya, tetapi Dayang Sumbi seperi orang kesurupan dan mengamuk. Dilemparkan berbagai benda di rumah, diambilnya alu dari dapur dan tanpa sengaja, ia memukul kepala Sangkuriang hingga terluka!

Sangkurian melarikan diri dari pondoknya, ia takut. Ia terus berlari dan berlari hingga kehabisan tenaga. Darah mengucur deras dari kepalanya, dan akhirnya ia kehilangan kesadaran.

Sementara itu, Dayang Sumbi yang mulai reda emosinya, menangis tersedu-sedu. Kemudian ia menyadari bahwa ia telah melukai Sangkuriang, anaknya semata wayang. Dayang Sumbi berlari kesana-kemari mencari anaknya. Ia terus berlari hingga ke dalam hutan yang kelam tanpa hasil. Dayang Sumbi pingsan karena kelelahan dan ketika ia tak sadarkan diri, jiwanya seperti lepas dari tubuh alias mengalami moksa. Dalam kondisi moksa tersebut, Dayang Sumbi melakukan pertapaan dan bertemu Dewa Brahma. Tanpa alasan jelas, Dewa Brahma memberikan kekuatan umur panjang dan awet muda. Semumur hidupnya, Dayang Sumbi akan tetap menjadi seorang perempuan yang cantik dan tak akan pernah terlihat tua.

Sebelum pergi, Dewa Brahma mengatakan bila kecantikan serta umur panjang yang ia berikan, bisa menjadi anugerah atau kutukan. Dayang Sumbi terbangun kemudian memutuskan untuk mencari tempat tinggal baru, jauh dari rumahnya, untuk menghilangkan memori buruk dari kejadian sureal yang ia alami.

IV.

Tahun berganti tahun, Prabu Sumbing Perbangkara sudah wafat. Kabarnya ia putus asa karena tak berhasil menemukan putri kesayangannya. Ketika Prabu Sumbing Perbangkara beserta jajaran terkait mengunjungi pondok Dayang Sumbi, pondok tersebut kosong melompong tanpa ada tanda-tanda kehidupan.

Dunia kerajaan sepeninggal Prabu Sumbing Perbangkara pun mulai berubah. Warga kerajaan mulai menuntut perubahan, karena monarki tidak lagi dirasa cocok. Para pejabat kerajaan tentu menolak tuntutan ini, maka teriakan revolusi mulai bergema. Perang terjadi dimana-mana.

Keriuhan itu tak terdengar oleh Sangkuriang yang ternyata diselamatkan oleh petapa tua dan mengurus dirinya. Sangkuriang ternyata kehilang ingatan. Ia lupa akan apa yang terjadi. Ia tidak ingat siapa dirinya, dari mana asalnya, bagaimana ia bisa tersesat di tengah hutan. Agar cerita ini tidak tambah rumit, maka kita putuskan Sangkuriang tidak berganti nama. Ia tetap bernama Sangkuriang.

Sangkuriang menjelma menjadi pemuda gagah nan sakti. Petapa tua yang mengurusnya, memberikan ilmu sakti kepadanya. Salah satu kesaktian Sangkuriang adalah menaklukan mahluk halus hutan atau dikenal dengan nama guriang. Sangkuriang menjadi tuang dari guriang-guriang seantero hutan. Suatu hari, petapa tua tersebut memutuskan untuk moksa - maka Sangkuriang memutuskan untuk mengembara sepeninggal petapa tua.

Dalam pengembaraan tersebut Sangkuriang akhirnya bertemu dengan Dayang Sumbi. Sangkuriang yang kehilangan ingatannya tentu tak mengenali Dayang Sumbi sebagai ibunya, dan sebaliknya - perubahan Sangkuriang menjadi pemuda gagah tampan rupawan membuat Dayang Sumbi juga tak mengenali Sangkuriang.

Sangkuriang terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi, begitu juga sebaliknya Dayang Sumbi terpesona oleh ketampanan Sangkuriang. Tentu saja, hasil akhir dari situasi tersebut adalah perkawinan. Mereka menjadi sepasang kekasih mabuk asmara, tanpa sadar bahwa mereka adalah ibu - anak!

Namun rupanya kebahagian mereka tidak bertahan lama. Suatu hari, sehabis bercinta, mereka bermalas-malasan di bale. Mereka ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupan di hutan. Sangkuriang tiduran di atas dada Dayang Sumbi, dan Dayang Sumbi menyisir-nyisir rambut Sangkuriang yang tebal dan hitam. Saat itulah Dayang Sumbi menemukan bekas luka di kepala Sangkuriang.

Dayang Sumbi terkejut, kemudian menanyakan perihal luka di kepala kepada Sangkuriang dan dijawab "tidak tahu, aku lupa". Namun pikiran Dayang Sumbi jadi berkecamuk, entah kenapa tetiba ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Saat itu Dayang Sumbi tidak mengatakan apa-apa lagi.

V.

Sejak hari itu, Dayang Sumbi diam-diam memperhatikan Sangkuriang lebih seksama, hingga kemudian ia yakin sekali bila kekasihnya tersebut adalah anaknya sendiri yang hilang. Gundah sekali perasaan Dayang Sumbi, tetapi ia harus menyampaikan kebenaran tersebut.

Saat Dayang Sumbi menjelaskan kenyataan bahwa Sangkuriang adalah putranya, dengan semua runut kejadian di masa lampau, Sangkuriang menolak cerita tersebut. Menurutnya, Dayang Sumbi mengada-ada - mencari alasan yang tak masuk akal. Dayang Sumbi berkali-kali menjelaskan kepada Sangkuriang, tetapi semakin dijelaskan, semakin marah Sangkuriang.

Akhirnya Dayang Sumbi mengajukan tantangan yang dianggapnya mustahil untuk dilaksanakan. Ia meminta Sangkuriang untuk membuat danau lengkap dengan taman, perahu, serta properti lainnya dalam waktu semalam. Bila Sangkuriang sanggup, maka ia akan tetap menjadi kekasihnya.

Diluar dugaan, Sangkuriang menyanggupi permintaan Dayang Sumbi! Tentu hal ini tak lepas dari kesaktiannya ditambah pasukan guriang yang ia miliki. Maka segeralah ia mengumpulkan guriang seantero hutan untuk membantu mega proyek membangun danau beserta isinya.

Sangkuriang bekerja keras, menebang pepohonan untuk membuka lahan danau. Lebih cepat dari traktor-traktor yang menggunduli hutan nusantara untuk membuka lahan sawit! Konon, hasil tebangan pohon Sangkuriang kemudian berubah menjadi gunung yang hari ini kita kenal sebagai Gunung Bukit Tunggul. Sementara daun, ranting dan bagian kayu lainnya yang tidak terpakai ditumpuknya dan terbentuklah gunung yang hari ini kita kenal sebagai Gunung Burangrang. Sangkuriang layaknya Agung Podomoro yang suka membangun sembarangan.

Sangkurian telah bekerja separuh malam, dibantu para guriang. Danau sudah terbentuk walau belum diisi air. Ia sudah menyiapkan air dari Sungai Citarum yang ia sumbat. Perahu tengah ia buat, dan tak lama pasti akan selesai.

Melihat situasi ini Dayang Sumbi menjadi ketakutan. Ia langsung bertapa memohon bantuan Dewa Brahma agar bisa menggagalkan Sangkuriang. Permohonannya dikabulkan. Dewa Brahma memberikan saran-saran strategis kepada Dayang Sumbi. Dimulai dari membuat api unggun yang besar sekali, kemudian menebarkan kain-kain tenunan berwarna merah buatannya.

Aksi tersebut ternyata membuat ayam-ayam jantan di hutan berpikir bila hari sudah menjelang pagi. Maka mereka segera berkokok tanpa koordinasi terlebih dahulu. Para guriang yang memang memiliki IQ rendah, mendengar kokok ayam-ayam jantan di hutan dan juga menduga hari jelang pagi. Para guriang akan mati bila terkena sinar matahari, maka mereka langsung pergi.

Sangkuriang kaget ketika pasukan guriangnya pergi. Ia berusaha mencegah tetapi sia-sia. Padahal pekerjaan nyaris selesai, tetapi Sangkuriang sudah keburu marah dan merasa diperdaya oleh Dayang Sumbi. Maka ia mengamuk!

Sumbat yang dibuatnya untuk membendung sungai Citarum ditendangnya ke arah timur dan menjadi menjelma menjadi Gunung Manglayang. Perahu yang nyaris selesai, ia tendang hingga terlempar jauh, jatuh telungkup dan menjelma menjadi gunung yang sekarang kita kenal sebagai Gunung Tangkuban Perahu.

Setelah mengamuk, Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi yang melarikan diri. Dayang Sumbi hampir terkejar oleh Sangkuriang, tetapi Dewa Brahma turun tangan untuk melakukan intervensi. Dayang Sumbi diubahnya menjadi sekuntum bunga jaksi. Sangkuriang terus mencari Dayang Sumbi hingga Ujung Berung tetapi tidak berhasil menemukannya. Marah bercampur frustasi, Sangkuriang berteriak marah, mengeluarkan seluruh tenaganya. teriakannya menggema hingga langit-langit bergetar dan Sangkuriang pun mengalami moksa dan jiwanya tersesat di alam gaib.