Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia >

Ahmad Tohari: Joran & Mesin Tik Bekas

Ahmad Tohari: Joran & Mesin Tik Bekas

Pastinya sudah tak terhingga wawancara yang dihadapi seorang Ahmad Tohari, dan bisa dipastikan semua merayakan pencapaiannya di dunia sastra. Tetapi sedikit yang tahu bila beliau juga punya pencapaian di dunia memancing ikan. Kepala editor kami, Shuliya Ratatatata, mendapatkan kesempatan untuk bercengkrama di rumahnya, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang – Banyumas.

Tak perlu lagi perkenalan yang bertele-tele tentang Ahmad Tohari. Bila Anda sedang membaca tulisan ini di gawai, Googling saja nama Beliau dan voila, ratusan rujukan siap menceritakan Anda tentang sosok ini. 

Di usianya yang menginjak 72 tahun, sastrawan asal Banyumas yang namanya digunakan menjadi salah satu tempat wisata sastra di Banyumas, Omah Sastra Ahmad Tohari’, ini ternyata masih rutin menjaga kebugarannya. Walaupun tentu saja Pak Tohari, sapaan akrabnya, tidak bisa menghindar dari beberapa penyakit orang tua seperti gula dan tekanan darah tinggi. Menariknya, untuk tetap bugar, ternyata Pak Tohari biasa melakukan peregangan berupa yoga yang gerakannya Ia buat sendiri.

Lain kebugaran lain kesenangan, Pak Tohari adalah seorang ‘mancing mania’ yang boleh dikatakan bukan kaleng-kaleng. Memancing begitu dekat dengan kehidupannya sedari kecil, saat Ia tumbuh di rumah orangtuanya yang terletak di dekat sawah. Setiap curah hujan tinggi, sawah yang banjir air (di luar rumahnya) membawa serta ikan yang melimpah. Bermula dari situ, kebiasaan memancing terbawa sampai ia tua.

Kepala editor Spektakel bersama sastrawan legendaris Ahmad Tohari. Kopi panas dan obrolan hangat jadi sambutan yang selepas perjalanan dari Purbalingga ke Jatilawang.

Selain memancing, kisah hidupnya dengan tempe bongkrek juga tak kalah menarik. Baginya, tempe bongkrek bukan sekadar makanan, tapi juga sesuatu yang traumatik sekaligus beraroma harum. Namun kini tempe bongkrek, menurutnya, tak lebih dari cerita masa lalu yang masih ada tetapi substansinya telah berbeda.

Obrolan kami terjadi di meja makan rumahnya, pagi jelang siang. Lengkap dengan jamuan pisang rebus dan apa lagi kalau bukan tempe mendoan buatan sang istri, Ibu Syamsiah. Ketika dalam perjalanan ke rumahnya, saya tak begitu hirau tentang sosok yang akan saya temui. Tentu saya punya kesadaran utuh tentang dirinya, tetapi rasa sungkan baru hadir ketika kami tiba di halaman rumahnya dan disambut nyonya rumah. Ditemani oleh kontributor Spektakel, Muhammad Zacky serta Mas Setyo Nugroho, saya memberanikan diri untuk mengucap salam dan melakukan obrolan ini.

Ahmad Tohari yang pernah menjajal kehidupan urban di Jakarta akhirnya kembali ke akarnya di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang. Lewat matanya Tohari mempersepsikan modernitas dan tradisi dari dua semesta yang berbeda.  

Di usia muda bapak yang baru 72 tahun ini apa kiranya ritual atau aktivitas tertentu untuk menjaga kebugaran di pagi hari mungkin?

Sebagai manula dini saya membatasi gula, membatasi daging, dan membatasi minyak. Saya kembali ke alam, ternyata menurut orang-orang real food itu ternyata singkong rebus, pisang, buah-buahan, nasi. Real food, makanan yang sebenarnya itu yang belum kena barang-barang …. Saya ke sana sekarang. Jadi, di usia yang baru 72 tahun ini saya masih berjalan tegak. Tidak ada masalah kesehatan. Ya, gula darah saya sedikit lebih tinggi dari ideal, tekanan darah juga begitu. Tapi pantas karena saya manula pemula. Tapi saya sehat, Alhamdulillah.

Seperti yang tadi saya bilang diperkenalan, Bapak sepertinya suka memancing. Tapi saya rasa itu bukan hanya sebuah hobi tapi sudah menjadi jalan hidup. Apakah mungkin apabila bapak tidak menjadi penulis, akan menjadi pemancing profesional?

Saya memancing sejak anak-anak, karena saya lahir boleh dibilang di tengah sawah. Jadi rumah orangtua saya itu di paling pinggir dekat sawah. Kalau musim banjir saya bisa mancing dari pintu dapur saya hahaha . Di luar pintu sudah banyak ikannya. Nah itu ternyata terbawa sampai di hari tua dan saya sangat dekat dengan ikan. Lihat saya ada ikan di samping rumah di depan rumah, di aquarium. Saya dekat dengan ikan karena ikan itu selalu bergerak. Saya senang memandang gerakan ikan-ikan itu.

Tadi Bapak sempat bilang ada falsafahnya?

Ya, kamu ngerti joran enggak? Gagang pancing. Dulu ketika kecil saya buat itu dari bambu. Diserut betul itu, lantas dirawat betul. Di pangkalnya besar sampai di ujungnya sangat kecil, sehingga lentur sekali. Dan lenturnya itu, lho. Jadi saya suka kelenturan. Lurus, lentur, tidak mudah patah. Itu semacam jiwa saya; tumbuh ideal tapi juga mau berdamai, juga fleksibel. Saya tidak ngotot, tapi saya punya idealisme. 

Memancing kan juga berbeda dengan menembak. Kalau memancing itu kan kamu memberikan umpan. Kalau mau dimakan, kalau tidak ya tidak apa. Tidak seperti menembak, menembak itu kan membunuh dengan kejam. Dan saya orang beriman. Jadi begitu niat mau pergi memancing, saya sudah punya niat. Saya berusaha mau mencari rezekinya gusti Allah dengan memancing. Apapun hasilnya, harus dipertanggungjawabkan dengan niat. Jangan seperti orang-orang kaya yang memancing. Ikan-ikan sudah disiksa, lalu digunting, kemudian dilepas lagi.

Apa itu? Itu kekejaman yang luar biasa. Itu kejadian yang sangat tidak manusiawi. Kalau diambil, ambil saja. Kalau dimakan, ya makan dengan niat yang baik. Jadi, hasil sekecil apapun, akan saya bawa untuk dikonsumsi karena niat saya untuk itu.

Kalau saya mau belajar memancing, tips apa yang akan Bapak berikan?

Pertama, sabar. Sebetulnya mancing tidak sama dengan mencari ikan arsih. Bagi saya memancing itu pergi ke tengah alam bebas. Dengan memancing, saya bisa melihat hutan tembakau, bisa melihat gelombang, bisa melihat burung laut yang menyambar ikan. Itu semuanya sangat bisa dinikmati dan sangat memberikan pelajaran betapa alam ini merupakan suatu keseimbangan yang telah terbentuk ribuan tahun dan kita sebenarnya tidak boleh terlalu mengganggu keseimbangan itu.

* * * * *

Tulisan-tulisannya Ahmad Tohari berhasil menorehkan warnanya sendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Saat kita mendengar Ahmad Tohari, pasti pikiran kita akan berimajinasi tentang wong cilik, pedesaan, dan konflik-konflik akar rumput yang selalu secara tegas Ia tampilkan di dalam tulisan-tulisannya. Dari berbagai karyanya yang bisa kenali seperti Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), dan Di Kaki Bukit Cibalak (1986), kita dapat melihatnya secara tegas dan benderang.

Di meja makan, Pak Tohari bercerita tentang perjalanan hidupnya. Mulai dari kegemarannya memancing hingga prosesnya menjadi seorang penulis.

Perjalanan Ahmad Tohari sebagai penulis tidaklah sebentar. Ia telah melalui banyak masa kehidupan. Ia pernah mengalami meminjam mesin tik untuk menulis, menghadapi situasi politik yang pelik, kondisi budaya, dan sebagainya. Akan tetapi, tulisan-tulisannya tetap bisa kita nikmati sampai dengan saat ini, tulisan yang banyak mengangkat kegelisahan tentang kehidupan wong cilik dan keluguannya. Bahkan beberapa di antaranya, seperti Ronggeng Dukuh Paruk, masih terus naik cetak sampai dengan sekarang karena masih terus diminati.

Ketika pertama kali Bapak belajar jadi penulis, Bapak ingat enggak merek mesin tik pertama yang dipakai?

Tentu saja saya ingat banget karena itu mesin tik pinjaman. Pinjam ke balai desa, mereknya Underwood. Yang paling nelongso [menyedihkan] itu waktu lagi semangat-semangatnya nulis, tiba-tiba ada utusan dari Balai Desa mengambil mesin tiknya, ya ampun...

Terus pitanya diganti sendiri, Bapak modal pita saja?

Iya. Modal pita aja. Sesudah itu, teman saya punya mesin tik Brother. Nah, dia ini agak sopan. Dia datang dulu, bilang mesinnya mau saya pakai, besok saya ambil. Terakhir saya juga tetap pakai Brother, tapi sudah bisa beli sendiri. Saya ingat huruf ‘a’-nya sudah hilang buntutnya, jadi seperti huruf 6 terbalik, hahaha. Novel Ronggeng Dukuh Paruk lahir dari mesin tik yang ‘a’-nya rusak itu. Untung masih terbaca, hahaha.

Berarti Bapak pertama kali pakai komputer itu kapan?

Tahun 1992 diberi ijon (membeli dengan sistem kredit) oleh Gramedia. Mereka bilang, “Mana ada naskah baru enggak?” Lalu saya bilang, “Ya, saya mau nulis pakai komputer, tapi saya belum punya uang buat beli komputer.” Nah mereka menawarkan gini, gimana kalau mereka berikan, tapi nanti honornya pada cetakan pertama cuma separuh. Biasanya kan honorarium saya 10%, ini jadi cuma 5% untuk cetakan pertama. Itu hasilnya jadi novel Bekisar Merah. Itu sudah pakai komputer ijon dari Gramedia.

Jalan menjadi penulis kan sulit ya, Pak. Kalau dari pengalaman Bapak sendiri mungkin ada enggak momen-momen, di mana Bapak meragukan pilihan menjadi penulis?

Begini. Itu berjalan secara apa ya, (seperti) dalam suatu proses panjang yang tidak terencana. Saya tidak pernah bermimpi jadi penulis. Itu perlu dicatat. Tapi, ada proses yang tidak saya sadari dan ternyata merupakan syarat menjadi penulis, yaitu saya sangat suka membaca. Kenapa saya sangat suka membaca? Ini juga ada awalnya saya sangat suka mendengarkan dongeng. Saya dulu sering menuntut Mbakyu saya mendongeng, menuntut guru-guru saya mendongeng. Ternyata ini merupakan titik awal berkembangnya ruang imajinasi di kepala saya. Karena sudah ada ruang imajinasi di kepala saya, maka setiap teks cerita akan saya lahap secepatnya. Itu mulai sejak saya SD, terus sampai saya SMP dan SMA.

Boleh dikatakan semasa SMA saya sudah membaca seluruh novel Indonesia waktu itu. Mungkin kamu tidak mendengar ada novel Indonesia yang bernama Mencari Pencuri Anak Perawan. Lalu ada novel lagi Setahun di Bedahulu, Pahlawan Minahasa. Semua saya baca. Sebagian di perpustakaan sekolah ketika SMP, sebagian pinjam dari satu guru. Kebetulan salah satu guru punya ruang baca yang luas. Kalau tidak ada bacaan lagi, saya akan lari ke Jakarta, ke pasar buku loak di Kramat. 

Memang rakus, saya ini rakus. Jadi waktu saya belum menulis saya sudah membaca. Selain itu kebetulan memang saya hobi membuat catatan harian sejak SMA. Jadi saya setiap hari menulis catatan harian di buku tulis tebal sampai penuh dan saya begitu lagi secara terus-menerus, (sampai) saya masih ingat catatan harian saya pada 6 Juli 1966.

 

"Mungkin dari pengalaman seperti itu, (akhirnya) saya mengantar (tulisan) ke Kompas dengan kaki gemetar tentu saja. Eh, ternyata diterima."

 

Begini bunyinya, jam 2 siang saya masuk Pasar Wage Purwokerto saya terkesan di los terasi. Ada kakek-kakek tidak pakai baju cuma pakai sarung aja berdiri, duduk dan melayani pembeli, dan dagangannya adalah gunung terasi di depannya. Tapi yang paling menarik bukan terasi atau kakeknya. Melainkan cucunya cantik sekali, hahaha. Hal-hal semacam itu saya tulis. Rupanya ini kan dari awal saya sudah aktif melahirkan gagasan menjadi teks sejak saya SMA.

“Pertama kali naskah saya diantar ke Kompas langsung diterima. Tapi ke majalah Femina justru ditolak. Jadi mengalami juga penolakan-penolakan. Mungkin dari pengalaman seperti itu, (akhirnya) saya mengantar (tulisan) ke Kompas dengan kaki gemetar tentu saja. Eh, ternyata diterima”.

Sebelum wawancara dimulai, Pak Tohari tidak lupa mengenakan topi fedora andalannya

Lalu titik di mana Bapak memutuskan untuk menjadi seorang penulis itu kapan?

Tamat SMA saya masuk Fakultas Kedokteran yang ternyata terlalu ambisius karena tidak melihat ekonomi di belakang. Itu tidak selesai, drop out, saya kelimpungan. Nah saat itu saya menggiatkan kegiatan menulis itu kadang-kadang saya menulis cerpen, menulis artikel, kadang menulis puisi untuk diri saya sendiri. Tidak untuk diterbitkan. Nah kemudian ada miracle of life, di mana Harian Merdeka di Jakarta membutuhkan asisten redaktur. Saya dilamar, diuji, dan lulus. Padahal saya belum pernah jadi wartawan, hahaha. Cuma 6 bulan jadi asisten redaktur, kemudian menjadi redaktur. Di dalam situasi kebahasaan jurnalistik itu, kebahasaan saya sangat berkembang. Pada saat itu saya sudah mulai menerbitkan tulisan-tulisan. Sudah berani menerbitkan ke media massa, tapi tidak di Harian Merdeka. Malu saya. Itu kayak orang onani saja kan. Kemudian pada tahun 1977, mungkin, muncul pertama kali di Kompas.

Dalam penerbitan di media massa, misal di Kompas. Langsung diterima kah atau ada proses penolakan berkali-kali yang Bapak alami?

Untuk Kompas, boleh dibilang, adalah suatu keberuntungan saya. Pertama kali naskah saya diantar ke Kompas langsung diterima. Tapi ke majalah Femina justru ditolak. Jadi mengalami juga penolakan-penolakan. Mungkin dari pengalaman seperti itu, (akhirnya) saya mengantar (tulisan) ke Kompas dengan kaki gemetar tentu saja. Eh, ternyata diterima.

Dalam menghadapi penolakan-penolakan itu, sempat mengalami kecil hati atau mungkin putus asa?

Shock, tetapi saya pikir kondisi saya itu tidak punya pilihan lain. Artinya saya mau menjadi apa? Pegawai negeri saya enggak suka. Ijazah saya cuma SMA. Jadi lebih baik saya belajar kenapa (saya) ditolak. Kalau penerbit yang baik, ketika menolak itu akan memberi saran-saran. Saran-saran itu yang saya perhatikan, dan ternyata ketika datang ke Kompas saya masih ingat cerpen saya di Kompas yang pertama, yaitu “Si Minem Beranak Bayi”. Judulnya sudah penuh tanda tanya ya, yang beranak siapa karena masih bayi, kan. Dan ternyata, kemudian segera diterbitkan dalam bahasa asing di Amerika. Mulailah nama saya muncul di Kompas. Dan ketika saya mengantarkan novel, cerita bersambung, mereka sudah mengenal saya.

Ketika menghadapi penolakan-penolakan tadi, mungkin ada orang dekat yang ikut menguatkan atau mengingatkan tentang tujuan Bapak menjadi penulis. Orang-orang yang memberikan motivasi. Apakah ada Pak?

Sebetulnya saya menulis untuk apa sih. Ini yang perlu dicatat. Apakah demi eksistensi atau demi honorarium atau apa. Ternyata dua-duanya iya, tapi ternyata itu bukan yang utama. Ternyata saya itu gelisah dulu. Ada kegelisahan, misalnya cerpen saya yang pertama berjudul “Si Minem Beranak Bayi” itu karena di sini, di kampung sini ada perempuan 30 tahun menjadi nenek. Anaknya baru umur 15 tahun sudah punya anak lagi. Saya itu gelisah betul. Apa iya anak keluar anak gitu loh. Masa masih anak-anak keluar anak-anak gitu loh. Itu menjadi inspirasi “Si Minem Beranak Bayi”, anak berumur 15 tahun pun mengeluarkan anak juga. Anak betul, bukan telur hahaha.

Kejadian-kejadian seperti itu kan erat kaitannya dengan wong cilik. Dan itu erat kaitannya dengan tulisan-tulisan bapak. Pernah terpikir gak pak untuk menulis cerita-cerita tentang wong panggedhe?

Ketika menjadi redaktur di majalah Amanah, di bawah naungan majalah Kartini, maka majalah Kartini menuntut semua redaktur untuk membikin novel pendek, atau cerita panjang, atau pendek. Saya terjadwal giliran juga. Waduh ini majalah Kartini, ya isinya kayak gitu, ya. Tapi kan saya redaktur yang harus taat dengan yang gaji saya, ya, kan. Lukman Umar itu namanya.

Saya menulis, saya bikin tentang gadis bernama Hana dan pensiun Bupati di Garut, itu judul ceritanya, “Bulan Kuning Telah Tenggelam”. Roman banget itu. Tapi itu karena terpaksa, kalau aslinya enggak, karena gini, kamu tahu ya kalau saya lahir di pesantren? Orientasi jiwa kita akan mencari sangkan paraning dumadi, mencari asal muasal kita. Di mana mencari Tuhan seperti itu. Saya sering gelisah Tuhan itu di mana sih, di masjid, di gereja, di sajadah, apa di Al-quran. 

Lama sekali kegelisahan itu, mencari di mana Tuhan ini. Lalu saya teringat dalam satu pengajian. Ada Kyai yang menceritakan hadist Qudsi yang sangat panjang, menceritakan dialog seorang penghuni neraka dengan Tuhan. Dia bertanya kepada Tuhan: Ya Tuhan, kenapa engkau masukkan aku ke neraka-Mu? Tuhan menjawab, kamu Saya masukkan ke neraka-Ku karena kamu tidak menjenguk tetanggamu yang sakit. Ini hadist. Kyai saya menjelaskan, jadi kalau ada tetangga yang sakit kita wajib menjenguknya, memberikan empati. Bilamana perlu memberikan bantuan untuk berobat atau makanan. Kalau tidak, kamu akan masuk neraka.

Tafsir ini saya kembangkan sendiri. Tetangga kan bisa personal, bisa seseorang. Kalau tetangga itu sebuah kerumunan masyarakat, yaitu masyarakat miskin, masyarakat terpinggirkan, masyarakat terhina, dan kalau kamu tidak memberikan pendampingan kepada mereka, kamu tidak menjenguk Tuhan. Artinya, Tuhan membuat alamatnya sendiri di tubuh orang-orang miskin, anak yatim, para janda, para gelandangan. Ternyata Tuhan di sana. Menakutkan, bukan? Mengerikan, bukan? Ketika saya menulis tentang orang miskin, gelandangan, pelacur, orang gila, itu adalah upaya saya menemukan alamat Tuhan saya. Sangat mendalam.

Novel serta cerita Pak Tohari sudah menginspirasi banyak orang mulai dari penelitian skripsi, dari ranah akademis, sampai film. Kalau ngomongin film, dari sudut pandang Pak Tohari sebagai penulis novelnya, apa ada hal esensial yang hilang dari film tersebut, yang mestinya muncul karena itu jadi penentu jalan cerita atau narasi yang Bapak sampaikan lewat tulisan?

Saya punya pandangan seperti ini. Dan ini saya kira pandangan yang rasional. ya. Novel adalah suatu medium yang menggunakan bahasa, sedangkan film menggunakan media gambar, kalau dipaksakan sama itu mustahil. 

Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, kalau dibaca itu 18 jam baru selesai. Di film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) dan Sang Penari (2011) itu kalau tidak salah hanya 90 menit, kan jadi tidak mungkin semuanya muncul. Saya berharap esensi-esensi di novel itu ada yang muncul, misalnya di Ronggeng Dukuh Paruk itu yang saya harapkan muncul adalah nilai-nilai kemanusiaannya, bagaimana menceritakan masyarakat-masyarakat miskin yang menarik simpati masyarakat. Di film yang kedua, mending lumayan karena itu muncul dan kekejaman terhadap komunis juga muncul. Nah, yang paling repot memang di Darah dan Mahkota Ronggeng itu melulu mengambil sisi seksnya. Saya hargai itu, tapi itu berbeda dengan yang saya mau. Saya memang tidak begitu suka dengan film Darah dan Mahkota Ronggeng, terlalu menunjukkan vulgar seperti itu.

Padahal di novel unsur-unsur erotis bukan tujuan utama. Cerita tentang buka kelambu itu, sebetulnya hanya menceritakan suatu (fenomena) masyarakat yang nyata ada, bukan untuk menjadi nomor satu.

 Segelas teh jahe panas, kopi hitam manis, serta pisang rebus dan tempe mendoan menjadi pengiring obrolan sepanjang wawancara.

Yang terbaru itu Direktorat Jenderal kebudayaan membuat Sandiwara Sastra, salah satunya berjudul “Catatan untuk Emak”. Itu sandiwara radio, Pak, dibawakan Reza Rahadian dan Happy Salma. Ketika saya dengarkan, saya kira itu terlalu mendayu-dayu, Pak. Terlalu melankolis. Filmnya pun, saya cuma nonton Sang Penari, saya mendapat impresi yang sama, kok sedih banget kayaknya film ini. Padahal ketika saya baca novelnya, novel Bapak itu cukup keras, cukup marah, tapi sekaligus juga marahnya orang desa. Marah tapi nrimo karena bisa apa. Menurut Bapak, apakah orang-orang terlalu rumit, ya, orang untuk menerjemahkan dan menginterpretasikan ulang teks yang seperti itu?

Saya dapat honor lho itu.

Tentu saja, karena kalau tidak, tidak mungkin ada di sana pak…...

Begini, sebagai penulis saya itu bersikap netral. Tafsir sudah lepas dari tangan saya, jadi tidak ada lagi tafsir tunggal. Ronggeng Dukuh Paruk sebagai novel akan ditafsirkan sebanyak jumlah pembacanya. Memang, kan, kelihatan penafsir yang berbobot dengan penafsir yang tidak berbobot. Tapi pada dasarnya, mereka itu berbeda tafsiran dengan saya, tentu saja. Jadi saya kadang-kadang tertawa, tapi tidak marah, tidak tersinggung. Nonton film Darah Mahkota Ronggeng atau Sang Penari, saya mengambil sikap sebagai penonton. Saya hargai. Kan itu tafsir, jadi memang sudah, kan. Ada cendikiawan bilang, Roland Barthes, ketika suatu karya sudah sampai ketemu pembaca, maka the author is dead. Artinya, tafsir sudah ada di tangan pembaca maunya seperti apa.

Tadi Bapak bilang ada penafsir yang berbobot dan tidak. Dari pandangan Bapak sendiri, mana yang berbobot mana yang mungkin kurang [berbobot]?        

Ketika Happy Salma membuat monolog “Ronggeng Dukuh Paruk” itu berbobot. Tentang sandiwara radionya, saya tidak bisa mendengarkan, alatnya tidak punya.

Nanti saya kasih dengar, Pak...

Iya boleh. Novel saya itu kalau ditafsirkan oleh santri, ini merupakan buku yang membawa ke neraka begitu, lho. Lalu, orang-orang yang sosialis merasa didukung. Kalau orang-orang yang feminis mungkin merasa didukung [juga], silakan. Saya sendiri tidak punya pretensi mengarahkan seperti itu.

Jadi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, sebetulnya puncaknya adalah ketika Rasus pulang dari tugas, dan menemukan desanya yang sudah hancur dan Srintil yang sudah gila. Itu puncaknya.

Sebelum kita mulai rekaman ini, kita sempat ngobrol, bagaimana Ronggeng Dukuh Paruk masa edarnya sangat panjang. Sampai hari ini masih diterbitkan ulang. Tadi bapak sempet cerita, ya mungkin karena tidak ada ideologi apa-apa dari penulis, dan orang-orang bisa menafsirkan masing-masing. Bahwa Bapak menuliskan itu sebagai sebuah cerita, ya, Pak?

Iya, melampiaskan kegelisahan saya. Begini, saya itu mulai gelisah saat tahun 1965 peristiwa G30S saya menjadi saksi mata secara tidak sengaja. Eh, pernah ada yang disengaja menonton eksekusi, menonton orang-orang PKI yang berdiri, kemudian ditembak dari belakang. Saya di sana, [dan] ada satu peristiwa yang saya tidak bisa ceritakan karena luar biasa biadabnya. Saya pikir Nazi Jerman pun tidak akan melakukan itu.

Membunuh, kan, tetap ada adatnya. Tapi ini membunuh (yang) sungguh tidak beradab. Saya tidak mau menceritakannya. Kalaupun ada film, The Act of Killing (2012), itu kan rekonstruksi. Saya nonton live, itu lebih kejam dari film. Di situ saya mempertanyakan tentang kemanusiaan, keindonesiaan, keislaman, kepancasilaan, saya gelisah. Kenapa kok bisa begitu. 

 

"Jadi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, sebetulnya puncaknya adalah ketika Rasus pulang dari tugas, dan menemukan desanya yang sudah hancur dan Srintil yang sudah gila. Itu puncaknya."

 

Jadi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, sebetulnya puncaknya itu ketika Rasus pulang dari tugas, melihat desanya sudah hancur dan menemukan Srintil yang sudah gila. Itu puncaknya. Bahwa saya mengawali dengan romantisme Lengger, pornografi Lengger, itu untuk menipu pembaca. Sebab, kalau saya langsung di depan, wah saya dianggap PKI betul! Kan, itu [terbit] tahun 80 loh. Pak Harto masih sangat berjaya. Jadi, saya tipu dulu. Ketika pembaca sudah asyik, barulah sampai ke tujuan utama. Dan itu kegelisahan karena saya saksi mata. Jadi saya menulis dengan sepenuh jiwa, (dengan) kegelisahan yang sangat mendalam.

Saya ingat setelah selesai (tulisan tersebut), saya seperti kehabisan energi untuk menulis [lagi]. Saya baru bisa menulis lagi tahun 92. Cukup lama.

Bapak tadi sempat cerita bahwa sebelum menulis, Bapak suka mendengar dongeng. Menurut Bapak, apakah menurut bapak menulis yang baik adalah seperti mendongeng?

Ketika Mbakyu saya cerita tentang Jaka Kendil, Bawang Merah Bawang Putih, Kancil, Lalu di musala, saya mendengar cerita tentang surga yang bidadarinya cantik sekali, kulitnya putih, pakaiannya sutra hijau, itu membuat saya berimajinasi macam-macam. Nah, itu menguatkan kekuatan imajinasi. Cara saya mendongeng itu, dipertegas oleh ahli sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Wah, itu kan dia tukang dongeng paling (baik). [Saya] memang saya cuma menceritakan apa yang ada, tanpa memasukkan ideologi, tanpa memasukkan keinginan saya. 

Tidak seperti itu. Kalau saya menceritakan soal Ronggeng, itu bukan berarti saya ingin menjayakan sekali Ronggeng yang seperti itu: penuh minuman keras, perjudian, dan perselingkuhan. Tidak begitu. Itu cuma cerita saja, saya tidak memasukkan kehendak pribadi (apapun).

Pendongeng yang baik itu seperti apa sih Pak? Tadi, kan, Bapak bilang Pak Sapardi yang paling baik. Banyak orang yang kan yang mencoba menjadi pendongeng sekarang. Tapi Menurut Bapak bagaimana?

Pendongeng yang baik ialah yang bisa membawa pendengarnya ke alam dongeng itu. Jadi si pendengar atau pembaca ikut bermain di dalam cerita. Saya sepertinya banyak mendapat respon seperti itu, banyak sekali pembaca yang mengatakan: dia seperti merasa ada di dalam cerita. 

Tapi ada satu lagi, lho. Diksi. Diksi yang kuat, diksi yang mengesankan, akan membawa pembaca melayang ke alam dongengnya.

Dari tulisan yang telah Bapak buat, seperti apa, sih, diksi yang bisa membawa pembaca masuk ke dalam alam teksnya?

Begini. Waktu itu, kan, Rasus menjenguk ke rumah sakit tentara, di mana Srintil akan dimasukkan. Di konter depan, kan, dia bercakap-cakap dengan orang kesehatan. Orang kesehatan itu bertanya, berkata, “Wah, Mas, pasien itu cantik sekali. Dalam keadaan sakit saja begitu cantiknya. Apalagi sehat” Lalu orang kesehatan bertanya, “Itu adikmu? Itu saudaramu? Atau itu tunanganmu?” Rasusnya gelagapan. Ketika gelagapan itu, Srintil yang mau dijenguk berteriak-teriak dari sel, sel rumah sakit jiwa. Ada kalimat begini, “Mendengar suara Srintil yang melolong itu, Rasus seperti mendengar jerit seorang ibu yang sedang berada di hadapan di kematian, yang jauh lebih dahsyat daripada maut.” Itu dikutip oleh Taufik Ismail, dalam pertemuan sastra di Taman Ismail Marzuki. Kalimat itu dikutip karena mengesankan Taufik Ismail. Kamu terkesan enggak? Hahaha. Kalimat seorang ibu yang melolong-lolong seperti berhadapan dengan kematian yang jauh lebih dahsyat daripada maut itu ada di akhir novel.

Penutup yang tegas, Pak. Beberapa novel atau cerpen yang Bapak tulis itu didedikasikan kepada anak atau istri. Kalau sekarang, Bapak ada enggak yang didedikasikan secara khusus, misalnya untuk cucu begitu?

Saya sebetulnya tidak terlalu egois keluarga, karena saya menulis untuk Indonesia. Kemarin cerpen saya berjudul Mereka Mengeja Larangan Mengemis, dinyatakan sebagai cerpen terbaik di tahun yang lalu oleh Kompas. Saya bilang ke istri, “Saya hari ini telah memberikan ke Indonesia sebuah cerpen.”

Kekhasan Ahmad Tohari menceritakan persoalan-persoalan hidup wong cilik berangkat dari kegelisahannya tentang keberadaan Tuhan. Dari hasil tafsirannya terhadap tafsir-tafsir, ia menemukan Tuhan mewujud di diri orang-orang terpinggirkan.

Kalau yang sudah ditulis, ada yang didedikasikan untuk cucu Pak?

Ada satu cucu saya yang kelihatan sangat suka menulis. Dia, kan, tahu di rumah ada buku-buku yang pakai nama saya, buku-buku tulisan saya. Lalu mereka tanya, kenapa namaku ada di sini [novel saya]. Lho itu kan buku saya, [jawab saya]. Kamu juga bisa seperti itu nanti kalau kamu rajin menulis. Dia suka corat-coret di mana saja. “Oh iya, saya pengin jadi penulis juga kalau begitu.” Tapi, dia masih kelas 3 SD, masih panjang perjalanannya! Hahaha.

 

“Mendengar suara Srintil yang melolong itu, Rasus seperti mendengar jerit seorang ibu yang sedang berada di hadapan di kematian, yang jauh lebih dahsyat daripada maut.”

 

Pak Tohari, saya sebagai orang awam, kadang suka berpikir kalau Pak Tohari itu bersama kawan-kawan seangkatan punya grup WhatsApp enggak, ya. Maksudnya, Bapak masih berkomunikasi enggak dengan penulis seangkatan?

Tidak. Saya pakai HP yang tidak ada WhatsApp-nya, jadi itu jadul. Jadi saya tidak punya komunikasi melalui WhatsApp. Komunikasi itu hanya dengan beberapa seperti Riyanto Tri Utomo, dari Tanjungbalai (yang sekarang) di Jogja dan Taufik Ismail di Jakarta. Tapi, komunikasinya itu tidak pernah berkaitan dengan karya sastra. Hanya berteman saja.

Apa itu, Pak, yang biasa diobrolkan dengan mereka?

Sungguh tentang kesehatan, umur berapa, cucu berapa, dan apa yang sudah kamu tulis. Itu saja. Tidak [berkomunikasi] “Mari kita berkarya”, tidak seperti itu.

Berbagi tips kesehatan tentang gerak-gerak perenggangan mungkin, ya, Pak... 

Sepertinya secara tidak langsung [demikian]. Saya menganjurkan teman-teman untuk jangan lupa minum air putih dua gelas setelah Subuh. Lalu hindari gula terlalu banyak, hindari banyak lemak kalau kita ingin sehat di umur manula.

Masih muda, Pak….

Ah! Baru 72 tahun! Hahaha….

Baik Pak Tohari, terima kasih atas waktunya, saya sudah diizinkan mampir….

Ya, tentu saja! Sudah saya tunggu sejak kemarin. Mudah-mudahan wawancara ini bermanfaat dan menginspirasi. Karena itu yang ingin saya sampaikan, bahwa Indonesia ini masih butuh ribuan penulis (dan) pendongeng. Dengan mendongeng, kita coba menyalakan lilin-lilin kecil di jiwa-jiwa. Iya, membuka dunia baru bagi mereka yang masih berkembang.

 

*Dengarkan obrolan penuh kami dengan Ahmad Tohari di podcast Shuli's Onto Something.