Home > Ini Indonesia >
Cengkih dari Lajur Seberang
Cengkih dari Lajur Seberang
Di lereng Gamalama, Dayo, seorang petani cengkih menyimpan kisah tentang komoditas yang dulu jadi rebutan dunia, tapi kini harganya tak cukup untuk memastikan dapur tetap menyala. Di tengah ritual adat dan siklus panen yang sakral, Dayo terus bertanya: ke mana sebenarnya cengkih-cengkih itu pergi?
Jalan menanjak sepanjang satu kilometer adalah satu-satunya laluan bagi yang hendak ke Moya, salah satu kampung adat di Ternate. Letaknya persis di punggung Gamalama, sekitar tiga kilometer dari pesisir, dan berada di ketinggian 700 mdpl. Mayoritas penduduk di Moya adalah petani. Selama perjalanan, rumah-rumah sederhana mengawal mata; rapat, tegap, tanpa pagar. Sejak lama Moya dikenal sebagai salah satu lumbung komoditas terbaik di Ternate. Pala, cengkih, durian, manggis, hingga nangka yang datang dari Moya memiliki privilese di mata pembeli. Ketika musim panen tiba, satu-satunya jalan di Moya berfungsi ganda; sebagai lajur kendaraan dan tempat menjemur cengkih.
Namun, di balik keistimewaan itu, seorang petani cengkih merapal seluruh keluh di pelataran rindang yang lembap. Ditemani sepasang cangkir teh tawar yang nyaris tandas, Dayo menarik napasnya dalam-dalam. Matanya kosong menatap pekarangan yang mulai ditikam gerimis.
Pekarangan itu berada di depan rumah Dayo, konturnya berundak, dikelilingi pohon-pohon cengkih yang jangkung dan rimbun. Dayo membagi fungsi pekarangan itu jadi dua; separuh untuk menjamu tamu, separuh untuk lahan parkir bagi para pendaki Gamalama. Demi menjaga dapurnya tetap berasap, Dayo menarik upah dari setiap kendaraan yang dititipkan. Batas waktu dan hukum akumulasi tidak berlaku di sana. Satu jam, lima jam, satu hari, atau lima hari harganya tetap sama, lima ribu perak.
Rumah Pak Dayo di Desa Moya. (Foto: Spektakel/Aiya Lee).
Dayo sendiri merupakan petani yang cukup populer di Moya. Perawakannya ramah, berwawasan terbuka, sehingga membuat siapa pun betah jadi lawan bicara. Usianya sekitar 40-an, anaknya tiga, isterinya tampak muda dan sangat sederhana. Rumah mereka tidak besar, berwarna kuning pudar, tertumpu di atas struktur kayu yang dijadikan panggung. Kamar mandi dan rak pengasapan cengkih berada di halaman belakang, terpisah dari bangunan utama. Tidak hanya Dayo dan keluarganya yang tinggal di rumah ini. Di kolom panggung, Dayo merakit kandang sederhana untuk belasan ekor ayam peliharaan mereka. Satu lagi, mereka punya pengawal berkaki empat. Boy, kucing kesayangan Dayo.
“Cengke su panen samua, tapi harga jualnya murah!” Kalimat itu pecah dari bibirnya. Bibir yang bisu sejak beberapa menit lalu, kini telah menemukan telinga untuk berlabuh. Bukan sekadar keluh, kalimat itu adalah ironi yang jadi momok setiap petani cengkih di Moya, termasuk Dayo. Cengkih, yang dipuja-puja narasi sejarah bangsa dan jadi halaman pembuka kedatangan Eropa, ternyata memiliki melodi yang berbeda ketika dituturkan langsung oleh petani-petani di Ternate. Dayo misalnya, dengan luas kebun yang ukurannya separuh lapangan bola, nyatanya belum mampu menaklukan hukum pasar yang membingungkan. Jangankan hukum pasar, menerka peruntukan cengkih pascatimbang di tiang neraca pun mereka tidak tahu. “Torang saja bingung, sebenarnya cengke-cengke ini dorang beli buat jadi apa?”, tanya Dayo.
Dayo dan petani-petani cengkih di Ternate tidak melihat cengkih sebagai tanaman. Bagi mereka, cengkih itu sakral, bernyawa, dan sangat peka. Mengasuh cengkih jauh lebih rumit daripada memberi makan ayam-ayamnya. Ketika panas, cengkih bagai seorang remaja, ia mampu membawa diri hingga kuncupnya jatuh ke tangan petani. Lain cerita jika hujan menjelang panen, cengkih harus dirawat dengan tekun, didoakan, diberi nasihat-nasihat agar ia mau mekar sempurna. Bahkan, ketika kuncup-kuncup itu keluar, para petani akan sangat agresif dan protektif untuk menghalau siapa pun yang hendak mendekat. “Cengke akan rusak kalau cium bau tubuh manusia!” Dayo mewanti-wanti dengan ekspresi yang berapi-api.
Bunga cengkih yang sudah dikeringkan. (Foto: Spektakel/Aiya Lee)
Barangkali benar, sebagai seorang petani, Dayo paham betul bagaimana memperlakukan tanaman yang diasuhnya secara turun-temurun. Kebun-kebun cengkih di Ternate adalah lungsuran generasi lama yang diserahkan kepada para petani sebagai ahli waris. Seperti sebuah produk, cengkih diserahkan dengan “‘buku panduan’ lisan” yang sarat petuah. Agar cengkih bisa mekar dan tetap menjadi tulang punggung dapur, Dayo harus patuh pada segala nilai yang dititipkan; termasuk menggelar ritual Doa Salamat kepada Tuhan, dan memuliakan panen cengkih pertama untuk diserahkan kepada Sultan Ternate sebagai penghormatan tanah adat.
Gerimis berubah jadi bulir-bulir air, menepuk atap-atap rumah yang terbuat dari seng, melahirkan harmoni suara yang damai dan menakutkan di waktu yang sama. “Mari masuk ke rumah! Pohon-pohon ini su tua, kalau angin kuat, pohon bisa rubu timpa kepala!”, Dayo bergegas meraih cangkir dan cerutu di mejanya. Cengkih-cengkih itu sangatlah tua, bahkan sudah ada sejak enam generasi sebelumnya. Sebagai pewaris hari ini, Dayo tidak punya kuasa untuk menakar usia pasti cengkih-cengkihnya. Baginya, tidak ada yang lebih penting selain merawat, memastikan tidak ada yang mendekat ketika mekar, menyewa tukang panjat dari pulau seberang saat musim panen tiba, dan menjualnya ke tengkulak dengan harga yang tak seberapa.
Di selasar rumah yang lapang, Dayo menyambung kesahnya. Kali ini tentang hidup yang sukar ditebak. Seperti halnya harga cengkih yang kadang naik dan turun, kerja sampingan yang dilakoninya juga kadang menemui masalah serupa. Dayo, selain menjadi petani cengkih, ia juga bisa mengerjakan apa saja. Saban hari, ketika anak-anaknya berangkat sekolah, Dayo turun ke kota untuk menyelesaikan pekerjaan yang rupa-rupa. Pengalaman mekanikalnya kerap membawa rezeki dengan menjadi teknisi di bengkel kawannya. “Laki-laki itu harus pintar cari uang dan baca peluang!” Begitu prinsipnya. Cengkih, emas hitam yang disembah Eropa ternyata tidak lebih dari tanaman sakral dan ‘sumber asap’ di kepala Dayo.
Suasana Desa Moya yang dikenal sebagai salah satu penghasil komoditas kualitas wahid di Ternate. (Foto: Spektakel/Aiya Lee)
Sepasang cangkir yang berpindah dari pekarangan ke selasar perlahan kehilangan muatan. Teh tanpa gula itu menuju tandas di atas meja. Petang jadi malam, tidak ada lagi gradasi langit atau bahkan awan hitam. Semua gelap, pekat. Aroma rempah telah mengendap jadi lembap, entah lembap karena hujan atau karena peluh kerja keras Dayo. Istri dan anak-anaknya sudah terjaga di dalam kamar. Boy dan ayam-ayam mereka tak lagi bersuara. Malam itu, Dayo umpama ranting tua yang ditakdirkan berbunga hingga patah. Siklusnya itu-itu saja. Tidur, bangun, mengurus keluarga, cengkih, membaca peluang, mematuhi wasiat, lelah, mengeluh, bangkit, dan mengulanginya berkali-kali sebagai seorang laki-laki. Begitupun tentang cengkih, seberapa agung sejarah berkelakar, Dayo dan petani-petani lain tidak pernah tahu ke mana cengkih-cengkih itu berakhir? Apakah akan jadi catatan sejarah, parfum, obat, atau hanya jadi benda mati di timbangan tengkulak?