Home > Ini Indonesia >
Bai Telpon dan Tato Mentawai: "Pakaian" yang Berangsur Punah
Bai Telpon dan Tato Mentawai: "Pakaian" yang Berangsur Punah
Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar bahwa Bai Telpon telah ditato. Telah lama sebenarnya Bai Telpon menginginkannya terlebih setelah suaminya menjadi seorang Kerei.
Foto ini diambil pada awal tahun 2018. Waktu itu, Bai Telpon belum bertato.
Saat difoto, Bai Telpon, atau secara harfiah artinya “ibunya si Telpon”, sedang di dapur membungkus sagu untuk kemudian dibakar dan dijadikan konsumsi keluarganya. Ialah laku keseharian perempuan Mentawai.
Ayah Bai Telpon adalah seorang Kerei ‘pemimpin spiritual’ (atau Sikerei) yang berasal dari suku Salalatek. Suaminya pun seorang Kerei namun berasal dari suku Salakirat. Mereka semua masih berpegang erat pada adat dan tradisi kesukuannya yang, di luar dugaan, ternyata tidak memaksakan nilai-nilainya kepada anak-anak mereka.
Anak-anak dibebaskan menjadi apa saja selama tidak mengganggu harkat hidup orang lain. Mereka boleh bersekolah semampunya. Bahkan saat ini Telpon, anak tertua Bai Telpon, tengah memasuki tahun pertama di sebuah perguruan tinggi di Padang. Anak-anak bahkan dipersilakan untuk memeluk salah satu agama dari luar komunitas adat mereka. Agama-agama yang datangnya seringkali menyerbu beriring tawaran bantuan sosial.
Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar bahwa Bai Telpon telah ditato. Telah lama sebenarnya Bai Telpon menginginkannya terlebih setelah suaminya menjadi seorang Kerei. Sipatiti atau sang penato kebetulan adalah suaminya sendiri. Setelah menemukan waktu yang tepat, Bai Telpon akhirnya ditato, saat itu bersama adik iparnya, Bai Godai.
Dalam prosesi Punen Enegat, tubuh Bai Telpon mulai digambar dengan lidi. Mengikuti sketsa, kemudian jarum yang terbuat dari kayu kerei ditusuk-tusukkan ke kulitnya secara beriulang-ulang dan perlahan agar pewarna terserap permanen ke dalam kulitnya. Proses menato pun selesai. Kini, Bai Telpon mengenakan “pakaian” sebagaimana seharusnya orang Mentawai sejati. Pakaian yang telah “dikenakan” para ayah, ibu, dan suaminya. Sebagai “pakaian” abadi yang kelak dibawa mati, orang Mentawai menato tubuh mereka agar kelak setelah meninggal mereka dapat saling mengenali leluhur mereka.
Tetapi, dewasa ini kebiasaan menato pada orang Mentawai berangsur hilang. Ancaman kepunahannya disebabkan oleh beberapa faktor. Selain karena perkembangan zaman dan masuknya ajaran agama dari luar, tato pernah pula melewati masa pemusnahan sekitar tahun 1980. Saat itu Pemerintah melarang suku Mentawai melanjutkan tradisi menato karena dianggap sebagai suatu kepercayaan animisme dan mewajibkan masyarakat Mentawai untuk memilih dan memeluk satu dari lima agama yang diakui Pemerintah.