Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Kegiatan Budaya >

Slamet Menur; Arsip Harus Hidup

Slamet Menur; Arsip Harus Hidup

Teks & Foto oleh: Redaksi

Slamet Menur; Arsip Harus Hidup

Hangat, ramah, dan renyah. Itu kesan yang segera kami dapatkan ketika bersua dengan Slamet Menur (82) di kediamannya yang sederhana di Desa Olehsari, Glagah - Banyuwangi. Slamet Menur dikenal sebagai “sisa-sisa” maestro seni tradisi Banyuwangi yang di usia senjanya tetap aktif melakukan kerja-kerja kesenian serta kebudayaan tanpa pamrih.

Pagi jelang siang, rombongan kami menyusuri jalan desa yang hanya muat satu mobil. Pemandangan asri khas desa terpapar di kanan-kiri dengan udara sejuk terlebih ketika subuh, hujan mengguyur seantero Banyuwangi. Bau tanah segar memasuki kabin mobil kami.

Ditemani Suhailik, pensiunan guru sejarah yang mendedikasikan hidupnya untuk membuat literatur sejarah Banyuwangi, kami menuju rumah Slamet Abdul Rajab atau yang lebih dikenal dengan nama Slamet Menur; seniman tari, pendiri sanggar seni Angklung Soren serta pengarsip lagu-lagu tradisi Banyuwangi.

Nama Menur, Ia sandang karena usaha percetakan dan reklame yang Ia bangun sejak tahun 70an namun kini sudah ia jual semua, termasuk rumahnya di area kota yang kemudian Ia jadikan modal untuk membangun sanggar seni sekaligus tempat tinggal Bersama istri dan cucunya di Desa Olehsari.

Ketika kami tiba di rumah – sanggarnya, kami melihat bangunan mungil bekas warung dengan papan bertuliskan “dijual”. Pak Slamet kemudian menjelaskan bila Ia dan istrinya membutuhkan tambahan modal untuk menjalankan kegiatan sanggar.

Sanggar Angklung sederhana yang didirikan Slamet Menur, wadah yang ia buat untuk siapa saja yang ingin terus berkegiatan seni.

“Saya sudah biasa menghadapi situasi keuangan yang sulit, karena ini memang yang saya pilih sejak dulu, Saya tidak mau menunggu bantuan siapapun, lebih baik lakukan apa yang bisa dilakukan, termasuk menjual aset saya”, jelasnya dengan lugas.

Pak Slamet sejak belia sudah menetapkan langkahnya di dunia seni. Seni tari jadi pilihan utamanya, dan musik utamanya angklung, juga menjadi pemuas hasrat beliau berkesenian. Di usia 20 tahun, Pak Slamet bersama beberapa seniman dan sastrawan Banyuwangi seperti Endro Wilis, Andang C.Y, dan Basir Noerdian bergabung ke Sri Muda untuk mengasah kemampuan berkesenian. Sebagai anggota muda, Slamet lebih banyak belajar dari para seniman senior. 

Pak Slamet menjadi tangan kanan Mochammad Arif, maestro pencipta lagu di Banyuwangi. Lagu "Genjer-genjer" adalah karya beliau yang paling dikenal seantero Nusantara. Sebagai seniman pemula, Pak Slamet sering mengikuti kunjungan Arif ke desa-desa di Banyuwangi untuk menemani proses latihan para seniman angklung yang mendirikan Sri Muda di desa-desa mereka.

Kemauan untuk “turun ke bawah” sembari memahami permasalahan dan harapan rakyat kecil menjadikan Arif dan seniman Sri Muda lainnya tidak pernah kesulitan membuat lagu. Dalam pertunjukan angklung yang digelar Sri Muda, Pak Slamet berperan sebagai dirijen sehingga banyak orang yang mengenalnya. 

Sri Muda merupakan kelompok seni di bawah Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat), underbouw PKI. Puting beliung ’65 membawa Pak Slamet dan kawan-kawan Sri Mudanya ke jurang nestapa. Puncak tragedi politik dan kemanusiaan periode 65 dengan berita pembunuhan Dewan Jenderal di Jakarta, berujung pada pembasmian orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI serta antek-anteknya, termasuk Sri Muda.

Anggota-anggota Sri Muda ditangkap, termasuk Arif yang dibawa ke Kalibaru dan setelah itu ke Lowokwaru. Dia ditahan di Lowokwaru sampai bulan Desember 1965. Setelah itu, tidak ada kabar lagi mengenai beliau. Pak Slamet ditangkap ketika melarikan diri ke stasiun kereta Banyuwangi. Tujuannya adalah mengungsi Surabaya, namun nahas ada yang mengenalinya. 

Di usia senjanya ia masih aktif mengarsipkan lagu-lagu Banyuwangi. Baik dalam bentuk catatan maupun rilisan fisik, meskipun dalam prosesnya ia mesti tertimpa nahas ditipu kawan sejawatnya.

Pak Slamet tidak ditahan seperti kebanyakan anggota Sri Muda dan Lekra. Beliau dianggap tahanan Kelas C – sekadar simpatisan. Pak Slamet sendiri sesungguhnya tidak ambil pusing soal politik, kehendaknya untuk bergabung dengan Sri Muda sesederhana keinginannya untuk berkegiatan seni dan mengembangkan kesenian tradisi di Banyuwangi.

Langgam Zaman

Tragedi ‘65 tidak serta merta melunturkan gairah Pak Slamet untuk melanjutkan aktivitas keseniannya. Pasca ’65, beliau menerima pinangan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) – underbouw Partai Nasional Indonesia. Namun kontrol ketat Orde Baru atas kegiatan Pak Slamet serta seniman-seniman eks-Lekra membuat mereka tidak muncul di permukaan hingga penghujung 1970. 

Sosok yang sederhana ini memiliki keteguhan luar biasa dalam menjalankan aktivitasnya. Tahun 2016 Ia menjual seluruh asetnya untuk membangun rumah serta sanggar kesenian Angklung Soren. Sanggar yang jadi tempat latihan angklung, tari, dan kesenian Banyuwangi lainnya serta diskusi budaya. 

“Siapapun bisa latihan di sini, gratis. Saya tidak menarik biaya karena menurut saya meneruskan pengetahuan lebih penting. Namun belakangan situasinya sulit karena generasi muda tak lagi mau berlatih kalau tidak ada uang latihan”, ujarnya.

Menurut Pak Slamet fenomena itu terjadi karena pihak Pemerintah Kabupaten sering mengajak anak muda latihan seni tradisi dengan iming-iming honor untuk pesertanya. 

Slamet Menur dengan semangat menceritakan makna di balik lagu-lagu Banyuwangi yang ia arsipkan. Lagu "Genjer-genjer" salah satunya. Di beberapa kesempatan, ia juga turut menembangkan lagu-lagu tersebut untuk kami.

Tahun 2008 Pak Slamet memproduksi rekaman dengan biaya mandiri kompilasi lagu Banyuwangi era tahun 50 hingga 60-an, hasil ciptaan teman-teman seangkatannya, seperti Fatra Abal, Endro Willis, dan Andang CY. Pak Slamet mencetak 4.500 kaset dengan harapan masyarakat Banyuwangi bisa memiliki arsip lagu-lagu lokal Banyuwangi.

“Niat membidik kalangan pedesaan yang merindukan musik lagu macam ini,” ujarnya sambil berharap bisa mengulang kesuksesan lagu-lagu yang sempat berjaya di zaman Lekra, bahkan yang pernah digemari hingga ke pelosok-pelosok desa.

Pak Slamet merogoh koceknya hingga Rp45 juta dan malang menimpanya ketika sejawatnya tega menipu beliau mentah-mentah. Kala itu format kaset mulai ditinggalkan masyarakat dan beralih ke Compact Disc (CD), Sejawatnya menawarkan Pak Slamet jasa untuk mengalihkan medium rekaman dari pita ke CD dengan biaya 25 juta. Uang tersebut dibawa kabur dan bukan hanya barang tidak Ia dapat, tetapi juga menghambat rencananya untuk membuat rilisan ke-2.

Lembayung Senja 

Dodol singkong dan air mineral gelas tersaji di depan kami. Dengan khusuk kami mendengarkan celoteh Pak Slamet tentang perjalanan hidupnya. Kami hanya bisa terdiam ketika beliau menceritakan masa Ia dikandangi karena keterlibatannya di Sri Muda, ketika Ia dan teman-temannya diberangus pemerintah, hingga kena tipu oleh sejawatnya sendiri. Ia menceritakan semua itu dengan lapang dan legawa

Tak terlihat ada sesal, karena beliau memaknai proses yang dijalani sebagai thariqah – “jalan yang mesti dilalui”. Terkait masa lalunya, bagi Pak Slamet sudah bukan saatnya lagi bangsa ini diombang-ambingkan oleh isu kebangkitan komunis dengan memobilisasi isu bahwa para penyintas, anak, dan cucu PKI akan menghidupkan kembali komunisme di Republik ini. 

Slamet Menur dan Suhailik adalah dua dari segelintir orang yang saat ini aktif mengarsipkan berbagai catatan sejarah dan jejak kebudayaan Banyuwangi.

“Sekarang ini yang terpenting adalah bisa hidup, keluarga bisa makan. Dan, bagi saya pribadi, menghidupkan budaya angklung adalah tujuan hidup, bukan yang lain-lain, yang aneh-aneh itu,” tegasnya.

Hidupnya kini diisi dengan berkebun, berkunjung ke teman-teman, serta mengurus arsip lagu-lagu Banyuwangi, termasuk kumpulan lagu karya Mochammad Arif. Dengan semangat, beliau memperlihatkan kami koleksi lirik lagu-lagu yang ia kumpulkan, tulis tangan, dan dibuatkan katalog yang rapih.

Dengan semangat Pak Slamet menjelaskan tiap lagu dan sesekali menembang lagu-lagu tersebut. Ia juga mampu menceritakan secara jernih makna dari lagu-lagu ciptaan Mochammad Arif – yang dominan dengan tema-tema kerakyatan, utamanya kelas petani gurem dan buruh. Ketika kami tanya kenapa beliau kenapa keras hati sekali untuk mengarsipkan lagu-lagu tersebut, memproduksi rekaman hingga ditipu sejawat, jawaban beliau lugas; “Kita butuh arsip ini agar sejarah kita tidak punah, dan arsip harus hidup – jangan jadi sekadar dokumen saja.”

Rombongan Spektakel dan Goodscript sebelum berangkat makan siang bersama Slamet Menur dan istri tercintanya.

Lama kami berbincang di sanggarnya hingga waktu makan siang tiba. Kami mengajak beliau dan istri tercintanya untuk makan siang bersama di rumah makan. Setiba di lokasi, tak buang waktu untuk memesan menu makan. Pak Slamet kemudian menyorongkan tubuhnya, dan berucap pelan sambil terkekeh;

“Saya boleh pesan kentang French fries ga”?

Spektakel berterima kasih kepada Goodscript untuk perjalanan ke Banyuwangi untuk tulisan ini dan "Kepingan Sejarah Banyuwangi".