Bila ada satu wilayah di pulau Jawa yang beberapa tahun belakangan ini jadi salah satu destinasi wisata favorit, wilayah itu bernama Banyuwangi. Kawah Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, Pantai Boom, Pantai Pulau Merah, dan masih banyak lagi lokasi wisata yang menjadi rujukan. Namun Banyuwangi juga memiliki banyak cerita sejarah dan budaya – tidak melulu menyenangkan, tetapi jelas membuat Banyuwangi memiliki identitas yang kuat. Spektakel diajak Goodscript untuk mengeksplorasi Banyuwangi beberapa waktu lalu.
Sudah jadi pengetahuan umum, nama Banyuwangi tak lepas dari riwayat Kerajaan Blambangan, salah satu kerajaan penganut Hindu terakhir di tanah Jawa. Namun sejarah Kerajaan Blambangan dan Banyuwangi hanya dapat diserap melalui tradisi lisan, naskah kuno yang tidak utuh, roman, bahkan dari kisah legenda atau cerita rakyat yang mendekati mitologi.
Nama Blambangan pertamakali ditemukan dalam Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada 1365 Masehi dengan sebutan "Balambangan”. Oleh J.L.A. Brandes dalam Verslag over een Babad Balambwangan (1894), istilah tersebut diperkirakan berasal dari dialek orang Osing, orang asli Banyuwangi.
Banyak tutur kisah yang mengatakan bila Wong Blambangan adalah masyarakat yang berdikari dan berani. Selama hampir tiga abad, Kerajaan Blambangan berada di antara dua faksi politik yang berbeda, yakni negara Islam di barat dan kerajaan Hindu Bali (Gelgel, Buleleng, dan Mengwi) di timur. Menjadi satu-satunya kerajaan Hindu yang masih berdiri di Jawa, Blambangan sudah tentu menjadi incaran kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan yang mencoba menaklukkan Blambangan di antaranya adalah Demak, Pajang, dan Kesultanan Mataram.
Pelabuhan Muncar diketahui telah ada sejak zaman kerajaan Blambangan sekitar tahun 1700-an dengan nama asalnya Pelabuhan Teluk Pang-Pang. Pada masa itu pedagang dari Bugis, Mandar, Melayu, China, Jawa, hingga kongsi dagang Inggris dan Belanda datang ke bumi Blambangan untuk berdagang seperti opium, senjata api, beras dan ternak. Kini pelabuhan Muncar terkenal sebagai pelabuhan penghasil ikan terbesar di Pulau Jawa.
Naik turunnya pamor Kerajaan Blambangan pada masa itu, tidak menyurutkan eksistensi mereka. Bertahan melindungi wilayahnya menjadi “kutukan” tiada habisnya untuk Blambangan. Pada abad ke-17, Belanda dan Inggris datang untuk mengadu kekuatan politik dan ekonomi di wilayah Blambangan hingga akhirnya Blambangan musnah setelah terjadi Puputan Bayu pada 1771. Peristiwa berdarah ini adalah perang habis-habisan antara rakyat Blambangan yang dipimpin Pangeran Jagapati melawan VOC. Cornelis Lekkerkerker dalam Balambangan: Indische Gids II (1923) menyebut bahwa Puputan Bayu di Banyuwangi adalah peperangan paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan korban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC/Belanda di Indonesia.
Osing, Gandrung, dan Perjuangan
Banyuwangi lekat dengan Osing, bila dalam khasanah akademik dikategorikan sebagai suku sub-Jawa. Dalam bahasa Osing, kata "Osing‟ itu sendiri berarti "tidak‟, dan bila orang Osing ditanya mengenai asalnya; "apakah kalian orang Bali atau orang Jawa"?, maka orang Osing ini akan menjawab "Osing‟ - yang artinya mereka tidak berasal dari Jawa ataupun Bali.
Sejarah terbentuknya suku Osing berawal dari akhir kekuasaan Majapahit, dan dimulainya perang saudara dan pertumbuhan kerajaan Islam di Jawa. Kerajaan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan Majapahit sejak awal abad ke-12, sejak tahun 1295 hingga tahun 1527. Setelah kejatuhan Majapahit oleh kesultanan Malaka, kerajaan Blambangan menjadi kerajaan yang berdiri sendiri. Namun dalam kurun waktu dua abad lebih, antara tahun 1546 - 1764, kerajaan Blambangan menjadi sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya.
Perebutan kekuasaan inilah yang berdampak pada terjadinya migrasi penduduk, perpindahan ibukota kerajaan dan timbulnya permukiman baru. Mereka mengungsi ke berbagai tempat, seperti ke lereng gunung Bromo (suku Tengger), Bali, Blambangan (suku Osing) yang sekarang kita kenal sebagai Banyuwangi.
Suku Osing atau dikenal dengan Laros (Lare Osing) adalah penduduk asli Banyuwangi atau Wong Blambangan. Mereka merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Orang Osing menggunakan bahasa Osing yang masih termasuk sub dialek bahasa Jawa (bagian timur) yang masih berkerabat dengan Bahasa Jawa Arekan dan Bahasa Tengger tetapi banyak kosakata dari bahasa Jawa Kuno yang masih digunakan, selain itu pengaruh bahasa bali juga sedikit signifikan.
Kehadiran suku-suku lain di Banyuwangi seperti Jawa, Madura, dan Bugis, tidak mengubah pandangan umum tentang masyarakat asli Banyuwangi adalah Osing. Di Kabupaten Banyuwangi masyarakat Osing tersebar di beberapa kecamatan seperti Glagah, Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng.
Dan bicara suku Osing serta Banyuwangi, maka kita juga akan membicarakan Tari Gandrung, salah satu kesenian tradisi yang kini dijadikan identitas Banyuwangi. Tari Gandrung menjadi catatan tersendiri karena kelahiran tari ini yang tak lepas dari semangat menyatukan warga Blambangan yang tercerai-berai akibat Puputan Bayu tahun 1771.
Dari tutur yang disampaikan secara lisan dan kemudian dituangkan dalam artikel Gandroeng Van Banyuwangi yang ditulis John Scholte (1926), dikisahkan bahwa penari gandrung awalnya bukanlah perempuan melainkan laki-laki. Marsan, namanya. Ia menghibur warga menari keliling desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang. Warga yang terhibur dengan pertunjukan tersebut akan memberi hadiah berupa beras dan kebutuhan pangan lainnya. Kalau di masa kini, apa yang dilakukan Marsan dan grup musiknya seperti halnya grup musik pengamen jalanan.
Namun Marsan dan grupnya bukan sekedar ‘mengamen’ – tetapi melakukan konsolidasi. Hadiah yang Marsan terima selepas pertunjukan, rupanya didistribusikan ulang ke lokasi-lokasi pengungsi lain, sekaligus menjadi sarana komunikasi.
Kini Gandrung tampil dalam banyak kesempatan, terlebih kedatangan wisatawan lokal maupun manca yang semakin membludak ke Banyuwangi. Sejak lama, penari Gandrung berganti menjadi perempuan oleh sebab islamisasi yang masuk ke Banyuwangi – melarang adanya transvertisme.
Tragedi 65 dan Dukun Santet
Banyuwangi mengalami banyak rentetan sejarah konflik sejak berabad lampau hingga abad 20. Banyuwangi 1926, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah kolonial Belanda, di Banyuwangi. Usaha ini gagal total, namun tidak membuat keberadaan PKI punah.
Masuk era 1960, PKI kembali menguasai area Banyuwangi (sejak pemilihan daerah tahun 1957), bahkan menjadikannya sebagai salah satu basis terbesar di pulau Jawa. Banyuwangi di masa kolonial dikenal sebagai salah satu tempat investasi Belanda dan pengusaha Eropa di bidang perkebunan. Salah satu yang masih tersisa di Banyuwangi adalah perkebunan kakao di Glenmore. De-kolonisasi dan de-feodalisasi dengan melakukan nasionalisme perkebunan Eropa mulai tahun 1958. Melahirkan UU Pokok Agraria tahun 1960 dan UU Pengganti No.57 tahun 1961 yang kemudian disebut sebagai UU Land Reform.
Glenmore adalah salah satu kecamatan di Banyuwangi, terdiri dari tujuh desa. Konon, nama kecamatan ini diambil dari Bahasa Skotlandia yang dibawa orang-orang Katolik Skotlandia yang mencari suaka di Belanda, kemudian dikirim ke Hindia Belanda dan membangun pemukiman sejak abad ke-18 di daerah Banyuwangi. Dahulu pula di tempat ini terdapat pabrik tembakau "Glenmore" milik Ros Taylor pada 1910 di daerah ini.
Pada tahun 1963, PKI menjadikan isu reformasi agraria sebagai kampanye utama. Agenda ini bergulir cepat, termasuk di Banyuwangi. Ketidaksabaran serta tuduhan proses Land Reform yang dianggap penuh manipulasi, membuat organisasi underbouw PKI, utamanya Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan apa yang Soekarno sebut sebagai; “Aksi-aksi sefihak”. BTI dan kelompok-kelompok underbouw PKI lainnya melakukan agitasi dan konfrontasi ke pihak-pihak yang mereka anggap sebagai “Setan-setan Desa”.
Mengacu pada dokumen-dokumen penelitian, kelompok BTI serta underbouw PKI lain di Banyuwangi kerap melakukan konfrontasi sehingga memunculkan kericuhan, bahkan membuat pejabat Central Committee Jakarta mesti turun tangan langsung ke lapangan untuk meredam. Namun usaha itu tak banyak berpengaruh. Agitasi propaganda PKI semakin marak dan banyak menggunakan moda kesenian sebagai corong.
Kedekatan kesenian-kesenian tradisi ini dengan kehidupan masyarakat, utamanya kelas bawah, dilihat sebagai potensi penting untuk digunakan sebagai corong propaganda oleh PKI. Maka, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat – underbouw PKI) secara agresif mengajak seniman-seniman tradisi untuk mengisi kegiatan-kegiatan mereka.
Strategi PKI melalui Lekra untuk memikat hati masyarakat Banyuwangi terbukti berhasil. Dukungan masyarakat Banyuwangi, utamanya dari buruh tani dan kebun mengalir deras. Seniman-seniman tradisi Banyuwangi yang bergabung dengan Lekra juga merasa mendapatkan tempat yang terhormat.
Banyak dari seniman yang terlibat di Lekra tidak terlibat di politik praktis PKI dengan berbagai lembaga turunannya. Kesenian Banyuwangi yang dominan berakar pada isu-isu kerakyatan dirasa sejalan dengan ideologi yang diusung oleh PKI, itu kenapa Lekra menjadi salah satu underbouw PKI terbesar dan teraktif di Banyuwangi.
Tampilan penari Gandrung di masa lampau. Hingga kini Tari Gandrung menjadi salah satu identitas budaya Suku Osing dan juga Banyuwangi.
Di pihak lain, NU juga membentuk Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dan PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) sebagai tandingan dari Lekra. Namun keunggulan Lekra dalam mengelola individu serta kelompok seni Banyuwangi tak tertandingi.
Pada saat penumpasan PKI di seluruh Indonesia dilakukan, banyak seniman Banyuwangi yang diidentifikasi sebagai partisan maupun sekedar simpatisan, ditangkap. Banyak juga yang “dihilangkan”. Salah satunya adalah Muhammad Arief, pencipta lagu Genjer-genjer. Walau lagu tersebut diciptakan tahun 1942 dan untuk mengkritik penjajah Jepang, isi lagu tersebut dianggap relevan dengan semangat PKI yang memperjuangkan kaum proletar. Maka lagu tersebut sering digunakan sebagai lagu pembuka rapat-rapat.
Pada saat bersamaan, KH. Ali Mansyur (1921-1971), yang kala itu ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Banyuwangi, menciptakan "Sholawat Al-Badriyah" atau lebih dikenal dengan "Sholawat Badar". Lagu ini seolah menjadi kontra dari lagu "Genjer-genjer".
Pasca 65, situasi di Banyuwangi berangsur pulih dan cenderung stabil. Isu PKI kadang masih dihembuskan oleh pihak-pihak yang gemar membangun keresahan. Tahun 1998, Banyuwangi kembali goncang dengan tragedi berdarah; pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet.
Tragedi ini terjadi di bulan Februari hingga September 1998 dan memakan korban ratusan jiwa. Pembunuhan pertama terjadi pada Februari 1998 dan memuncak hingga Agustus dan September 1998. Kejadian pertama di bulan Februari, banyak yang menganggapnya sebagai kejadian biasa yang tidak akan menimbulkan sebuah peristiwa yang merentet panjang.
Pembunuh dalam peristiwa ini adalah warga-warga sipil dan oknum asing yang disebut "Ninja". Ketika dilakukan pendataan korban, ternyata banyak korban bukan dukun santet. Di antara para korban terdapat guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW.
Pada 6 Februari 1998, Bupati Banyuwangi saat itu Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo Sidik mengeluarkan radiogram yang ditujukan untuk seluruh jajaran aparat pemerintahan dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang ditengarai memiliki ilmu supranatural, untuk selanjutnya melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap orang-orang tersebut. Radiogram selanjutnya dikeluarkan pada bulan September yang berisi penegasan terhadap radiogram sebelumnya.
Belum bisa dipastikan bagaimana radiogram itu kemudian tersebar di masyarakat dan menyebabkan aksi-aksi pembantaian beruntun dan berkepanjangan. Dalam sehari bisa ada 2-9 orang yang terbunuh, dilakukan oleh sosok yang masyarakat Banyuwangi sebut sebagai Ninja, karena tampilan mereka dengan kostum hitam-hitam dengan penutup wajah selayaknya ninja di Jepang.
Banyak kelompok seni tradisional di Banyuwangi yang terseret dalam bentrokan antara kelompok Islam dan PKI pada era 1960-an akibat kedekatan merka dengan Lekra (underbouw PKI).
Hingga saat ini, tragedi pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet tidak pernah menemukan jawaban terang. Masyarakat berasumsi bahwa radiogram bupati adalah penyebab dari pembantaian dan isi perintah pengamanan tersebut adalah dalih untuk membasmi tokoh-tokoh yang berlawanan ideologi dengan pemerintah.
Roda Nada Banyuwangi
Ketika kami tiba di bandar udara Blimbingsari, sayup-sayup terdengar dentang musik dangdut koplo;
Apa salah dan dosaku, Sayang?
Cinta suciku kau buang-buang
Lihat jurus yang 'kan kuberikan
Jaran goyang, jaran goyang
Sepenggal lirik lagu "Jaran Goyang" yang dipopulerkan oleh Nella Kharisma dari OM Sera, sempat merajai tangga lagu Indonesia tahun 2017. "Jaran Goyang" adalah salah satu bagian dari sastra lisan dalam bentuk mantra pengasihan yang berkembang di masyarakat Suku Osing - Banyuwangi, Jawa Timur. Lirik lagu "Jaran Goyang" dipercaya merujuk pada mantra tersebut.
Banyuwangi hari ini identik dengan dangdut koplo Banyuwangian yang melahirkan banyak penyanyi serta kelompok musik dangdut yang populer. Banyuwangi terlihat kenes dan menggemaskan selayaknya irama dangdut koplo.
Sebagaimana pariwisata Banyuwangi yang sudah lama berdandan, mengundang tetamu domestik serta manca untuk bersilaturahmi dengan ombak besar guna berselancar, banteng di Taman Nasional Alas Purwo, atau senja di Pantai Pulau Merah.
Fragmen-fragmen sejarah gelap Banyuwangi masih jadi bahan obrolan warung kopi, tapi tampaknya masyarakat Banyuwangi bertekad melangkah maju untuk lepas dari kungkungan sejarah gelapnya. Seperti lirik lagu yang dipopulerkan Nella Kharisma, Ngelabur Langit;
Wis uwis uwis
Dinggo paran ngrageni manuk miber
Nong kene isun
Duwe segudang welas
Duwe segudang aseh
Dinggo paran mageh golet liyane
Sudah, sudah sudahlah
Untuk apa mengindahkan burung terbang
Di sini aku
Punya segudang cinta
Punya segudang kasih
Untuk apa mencari yang lainnya