Sebagai seorang fans Iron Maiden dan metalhead, Syam Talisman sudah “naik haji”. Berbekal niat dan nekad, Syam mengejar penampilan idolanya hingga jauh ke Utara: Bergan, Norwegia. Bukan hanya pertunjukan Iron Maiden yang membekas bagi Syam, pula perjalanannya itu sendiri. Semua itu ia tumpahkan dalam buku ‘Neraka di Eropa’.
Fandom bisa membuat seseorang melakukan hal yang bisa jadi dianggap berlebihan—kalau tak mau dibilang tidak rasional. Jangankan mengejar konser di negeri asing, menantang “neraka” sekalipun dijabani. Semua daya diusahakan—uang, waktu, tenaga—demi mendapatkan pengalaman langsung bersama sang idola. Sebagaimana yang dilakukan Syam Talisman, seorang pengelola pertunjukan profesional, bekas manager Live Venue Rolling Stone Cafe, pun yang utama dan terutama: penggemar berat Iron Maiden.
Bagi Syam, ini bukan sekadar tontonan musik. Sebagai seorang pencinta musik, praktisi, dan metalhead sejati, perjalanannya menyaksikan deretan musisi terbesar di kancah metal dunia itu setara dengan ziarah spiritual. Dari Hellfest di Perancis ke Poznan di Polandia, hingga ke Bergen Calling di Norwegia.
Oleh karenanya, sejak semula perjalanan ini bukanlah hal yang mudah. Pengalamannya membuktikan, ketersediaan dana tidak selalu menjamin akses. Untuk melakoninya, seseorang mestilah panjang akal dan sabarnya. Ini adalah perjalanan yang penuh kejadian dan perjumpaan tak terduga. Seluruh kesan dan pengalaman itu telah Syam rangkai dalam buku anyarnya: Neraka di Eropa.
Cintanya kepada Iron Maiden dan musik metal membawa Syam menjelajah Benua Biru. Dengan modal seada-adanya dan tekad sebesar-besarnya.
Mengejar Maiden England 2014: Siapkan Dana, Kuatkan Niat, Panjangkan Akal
Berawal dari sebuah keisengan melihat-lihat jadwal beberapa festival musik di Eropa sepanjang musim panas 2014, tiba-tiba bola mata saya menangkap logo yang sudah saya hafal lebih dari setengah umur sendiri: Iron Maiden!
Logo ini bersanding dengan Aerosmith dan Black Sabbath dalam sebuah festival musik metal tahunan, Hellfest. Saya buka website-nya dan melihat line up-nya. Semua nama membuat bulu kuduk merinding.
Setelah mencari tahu ke beberapa sumber, ternyata Hellfest 2014 ini punya line-up paling edan dibanding festival lain. Bahkan line-up Wacken Open Air yang menjadi kiblat metalheads seluruh dunia tidak separah dan seheboh ini. Tercatat beberapa nama band besar selain tiga nama tersebut di atas seperti Slayer, Rob Zombie, Sabaton, Trivium, Sepultura, Soulfly, Death Angel, Death To All (Tribute to Death Metal Father, Chuck Schuldiner/RIP), Kataklysm, Watain, Extreme, Avenged Sevenfold, Carcass, Nile, Gorgoroth, Angra, Annihilator, Dark Angel (band yang menggantikan Megadeth karena saudara kandung Dave Ellefson meninggal), Behemoth, Emperor, Sound Garden, Opeth, 1349, dll. Sayang, tidak semua bisa saya saksikan karena medan festival yang berat bagi orang tropis seperti saya (berdebu dan panas saat siang hari, sementara sangat dingin saat malam; ditambah lokasi festival yang saya sendiri tidak tahu secara tepat berapa luasnya).
Dengan modal nekat, akhirnya saya putuskan untuk menonton. Tidak tahu bagaimana caranya, harus nonton! Apalagi melihat tur Iron Maiden dengan tajuk “Maiden England 2014”—bagian akhir dari tur dunia mereka yang dimulai dua tahun sebelumnya dan telah sukses menghantam benua Amerika dan Eropa (seperti mengulang kesuksesan terbesar tur mereka Somewhere Back In Time 2008).
Hellfest adalah perhentian perdana Syam di Benua Biru. Di festival inilah ia menunaikan ibadah hajinya sebagai seorang metalheads. Tidak hanya menonton Iron Maiden secara langsung, ia juga berkesempatan menyaksikan penampilan musisi-musisi metal papan atas lainnya.
Alhamdulillah, kenekatan saya rasanya akan berbuah setelah mendapatkan beberapa proyek acara yang semua hasilnya saya tabung untuk mengembara mewarnai hidup. Gawat! Jadwal Hellfest 2014 masih bulan Juni, tapi saat akan beli tiket di bulan Februari ternyata sudah sold out! Cari kanan kiri tidak berhasil. Hopeless! Ternyata Hellfest edisi ini paling gila, lima bulan sebelum show, tiket sebanyak 100.000 lembar untuk 3 hari festival sudah terjual habis!
Artinya, selama tiga hari, akan ada ratusan ribu manusia di Clisson, sebuah desa kecil di Selatan Paris, Prancis. Karena sudah terlanjur nekat dan harus jadi menuju Hellfest, saya putar otak. Tiba-tiba teringat kolega yang pernah mengundang saya menjadi satu-satunya delegasi Indonesia untuk International Music Festival & Conference di Pigalle, Montmartre, Paris Oktober 2013 lalu. Namanya Mr. Olivier Delpux. Akhirnya saya coba kontak yang bersangkutan dan dengan senang hati beliau membantu saya mendapatkan kontak panitia Hellfest. Lucky me! Kontak yang saya dapat ternyata adalah orang promosi!
Langsung saya jelaskan ke orang promosi Hellfest itu, namanya Mr. Roger, bahwa saya dapat referensi dari pejabat berwenang bidang musik di Prancis. Saya jelaskan kalau visa yang saya dapat adalah visa langsung dari Kedubes Perancis di Indonesia sebagai undangan Kementerian Budaya dan Komunikasi Prancis untuk MaMA Festival pada Oktober 2013—pun saya punya hubungan baik dengan Institut Français (IF) di Paris serta Jakarta. Tidak lupa juga bahwa Hellfest juga menjadi peserta seminar di festival sama dengan saya saat itu, sayang saya tidak dapat bertemu dengan delegasi Hellfest. Tidak sampai selang empat jam, email saya pun langsung dibalas dengan jawaban GRANTED! Alhamdulillah! Allah Maha Besar!
Baca juga: Panggung Musik Internasional di Pulau Samosir
Di saat orang-orang sedang susah mendapatkan tiket, saya malah dijamin mendapatkan dua lembar tiket untuk tiga hari festival bareng Rockadocta. Langsung saya transfer pembayaran tiket tersebut ke rekening panitia Hellfest. Setelah mereka terima dan konfirmasi, Mr. Roger mengatakan tidak perlu khawatir. Cukup datang ke booth press Hellfest untuk mendapatkan wristband tiket selamat tiga hari. Tahap pertama aman.
Setelah tenang mendapatkan tiket Hellfest, mulailah saya berkutat di depan laptop untuk memonitor jadwal Maiden England 2014. Akhirnya dengan hitungan dana yang lumayan terbatas, saya nekat lagi untuk mendapatkan tiket show Maiden England yang lain. Tadinya ingin melihat show mereka di Sonisphere Knebworth di London tapi selisih hari yang lumayan jauh dari Hellfest akhirnya membuat saya memilih show yang lain. Terpilihlah kota Poznan di Polandia dan Bergen Calling di Norwegia untuk saya menyaksikan sejarah kedigdayaan Maiden England 2014.
***
Menggelandang di Eropa sampai ke Bergen
Jarak tempuh dua jam dari Paris ke Nantes saya manfaatkan untuk tidur dengan baik sambil menikmati mie instan yang saya bawa dari Jakarta. Mie instan tersebut tidak saya masak, melainkan langsung dimakan seperti kerupuk. Setelah sampai di stasiun Nantes, saya bertemu dengan rombongan metalheads dunia yang akan bersama-sama ke Clisson.
Berbekal tiket kereta €5 yang dibeli langsung di loket sampailah kami di sebuah kota kecil bernama Clisson. Dari situ perjalanan dilanjutkan dengan shuttle khusus yang bekerja sama dengan Hellfest, harga tiketnya €2. Begitu masifnya metalheads yang hadir, vendor shuttle kewalahan mengakomodasi penumpang karena kekurangan armada.
Tapi anak-anak metal ini cuek saja. Sambil menunggu kedatangan shuttle, mereka minum-minum dan memasang lagu-lagu metal dari mini compo dan digital player yang mereka bawa. Seolah-olah Hellfest sudah dimulai dari stasiun ini.
Hellfest 2014 adalah salah satu festival musik paling dinanti tahun itu. Ratusan ribu orang mengantre untuk mendapat tiket. Dasar anak metal soleh, ada saja rezekinya. Syam mendapatkan akses khusus VIP Presse sehingga tak mesti ikut mengantre lama.
Sesampainya di lokasi antrean tiket mengalahkan antrean sembako dan pembagian zakat di Indonesia. Ternyata begitu banyak peminat menjelang hari H, maka panitia menambah kuota tiket menjadi 150.000 per hari! Edan! Untungnya saya tidak perlu mengantre tiket lagi. Inilah rezeki anak metal soleh. Saya langsung masuk ke Press Room untuk mengambil wristband dengan tag VIP PRESSE.
Hati sedikit lega, tetapi persiapan belum selesai. Saya lanjut menyewa loker untuk menyimpan barang selama festival seharga €25,5 dan deposito sebesar €5. Lanjut saya mencari water wristband seharga €6 di water point booth untuk akses mandi selama festival. Setelahnya, mandilah saya setelah tiga hari perjalanan di pesawat dari Jakarta-Kuala Lumpur-Hanoi menuju ke Paris hingga Nantes terus ke Clisson tidak mandi.
Selesai mandi, saya berkeliling Extreme Market yang menjual semua aksesoris metal. Bahkan celana dalam sampai bra bergambar metal pun ada! Saat saya membeli wristband Death buat adik, penjualnya ngobrol-ngobrol tentang Indonesia. Ia tahu saya asal Indonesia karena mengenakan kaos Indonesian Troopers. Ia pun mengakui bahwa band metal Indonesia dahsyat tapi kenapa sulit sekali untuk bisa tembus di festival dunia? Dia juga mengakui distro-distro di Indonesia hidup, tapi kenapa tidak ada penjual dari Indonesia di sini? Sebuah pertanyaan yang sangat mengusik saya karena memang harus diakui Indonesia adalah salah satu market besar untuk urusan musik metal dan aksesoris band metal.
Dia kemudian berpesan, kalau tahun depan saya kembali lagi ke festival ini ia berjanji akan memberikan barang-barang yang jarang dimiliki orang lain di dunia dengan harga terbaik untuk orang Indonesia!
***
Syam saat diliput koran lokal Bergen. Perjalanan solo Syam keliling Eropa demi menonton Iron Maiden bukan hanya meninggalkan kesan baginya sendiri. Itu juga membuat banyak orang yang dijumpainya tak habis pikir, hingga diliput surat kabar lokal di Bergen.
Panggung Iron Maiden di Hellfest 2014 adalah kali ketiga Syam menyaksikan penampilan idolanya secara langsung. Pengalaman transendental itu membuatnya tak urung menitikkan air mata. Namun, bagaimana pun Syam tidak sedang berfoya-foya. Sebagai pengelola pertunjukan musik profesional, ia juga sekaligus belajar bagaimana festival musik dikelola secara profesional di Eropa.
Dari Hellfest di Perancis, Syam melanjutkan perjalanan ke kota Poznan, Polandia dan terus ke Bergen, Norwegia. Seluruhnya dilakukan secara menggelandang. Hutan-hutang tidur dibayarkan di stasiun, kereta, bus, di mana pun mata bisa terpejam. Begitu pula dengan makan. Ia tidak ambil pusing, kerupuk mie dicampur air dingin pun ia telan. Semuanya demi berhemat. Makanan jadi bukan lagi untuk mencari nikmat, melainkan bertahan hidup.
Setelah menyaksikan mosh pit paling liar di Polandia, perjalanan Syam masih terus berlanjut ke Bergen, Norwegia.
***
Panggung Penutup di Kastil Viking
Dari hostel menuju bandara saya hanya jalan kaki, sekitar 10 menit. Apes, karena tidak melakukan check-in sebelumnya, akhirnya saya kena pajak bandara yang harganya jauh lebih mahal dari harga tiketnya sendiri. Seingat saya pajak bandara yang mesti dibayar sekitar 20 Zloty atau setara Rp750.000 pada saat itu. Padahal tiket pesawat saya hanya sekitar Rp130.000.
Sesampainya di Oslo saya hendak mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia yang hanya berjarak 3km - 4km dari Oslo Stasjon. Maksudnya mau bersilaturahmi sekaligus berharap bisa minum kopi dan makan menu Indonesia. Tapi niat itu langsung urung begitu melihat harga tiket bus menuju ke KBRI seharga 30 Kroner atau setara Rp60.000 sekali jalan.
Akhirnya saya putuskan untuk masuk lagi ke stasiun dan melihat-lihat kedai murah. Niatnya saya mencari makanan yang sesuai dengan kantong saat itu. Saya harus berpikir untuk ketahanan saya selama berada di Norwegia. Oalah, tidak ada yang murah. Pilihan paling murah saat itu promo burger seharga Kr18-29 Kroner (sekitar 30 ribu Rupiah). Saya beli dua potong sekalian untuk bekal malam di kereta.
Sebagai seorang profesional, perjalanannya ini melampaui persoalan fandom. Lewat ragam festival musik metal di Eropa, sebisa mungkin Syam juga membangun relasi dan belajar langsung tentang bagaimana festival musik kelas dunia dikelola.
Perjalanan Oslo menuju Bergen memakan waktu sekitar tujuh jam. Cukup untuk saya beristirahat sekaligus menghemat biaya menginap di hostel selama satu malam. Setibanya di Bergen Stasjon, langsung disambut dinginnya udara yang tembus sampai ke tulang. Yang asyik, ketika berjalan menuju hostel sambil melihat pemandangan indah seperti rumah berjajar rapi di perubkitan dan tanaman-tanaman segar.
Begitu sampai di hostel, saya langsung ber-wifi untuk berkomunikasi dengan wartawan media besar Bergen yang meminta saya bercerita tentang Iron Maiden dan kenekatan saya datang jauh-jauh sampai ke Norwegia. Di sisi lain saya juga butuh koneksi dengan promotor Bergen Calling untuk mewawancarainya.
Promotor Bergen Calling bernama Frank Nes. Saya baru berkesempatan bertemu dan berbincang dengannya di hari ke-2. Saya mewawancarai dia dan ia menjelaskan perihal venue pertunjukan yang ia kelola. Letaknya di dalam kastil Viking, tidak jauh dari pelabuhan Bergen. Menurut penjelasan Frank, inilah kastil Raja Viking saat zaman Perang Dunia I melawan pasukan Bavaria Jerman.
Sabtu, 28 Juni 2014. Hari terakhir saya akan menyaksikan Iron Maiden. Sarapan lumayan besar: kopi bekal dari Jakarta benar-benar mantap. Saya jalan ke lokasi pukul 11 siang. Sesampainya di depan gerbang, masih kosong. Hanya ada beberapa ABG yang camping dekat gerbang utama. Saya iseng mendekati security, ternyata mereka malah mengenali dan menyalami saya seraya bertanya, “Are you the Indonesian guy? A friend of Frank Nes, our boss. We saw your photo in a newspaper article yesterday. Welcome to Bergen, sir! Hope you enjoy our city and of course the show tonight.” Terharu saya disalami seperti itu plus ditegaskan ada di Koran Bergen.
Baca juga: Synchronize Fest; Persaudaraan dalam Tegukan
Begitu pintu dibuka, pecahlah antrean dan girang bukan main saya saat perut ini menempel tepat di barricade Mojo. Persis di depan posisi Bruce Dickinson. Usaha saya mengantre berbuah manis. Dari pukul 11 siang, di tengah suhu 6-8 derajat, dan sempat diterpa hujan selama 1,5 jam, modal saya bertahan hanya rokok dan permen ekstrak kopi tanpa air minum sama sekali.
Saking senangnya, life guard di depan saya angsung mendekat dan ngobrol-ngobrol. Dia perempuan, putih, tinggi, wangi pula badannya. Dia kaget saya datang dari Indonesia nun jauh di sana ke Bergen seorang diri demi Iron Maiden. Dia pun geleng-geleng kepala sambil tolak pinggang dan bilang, “Welcome to Bergen and I salute you!”
Ada tiga band yang tampil sebelum Iron Maiden jadi pamungkas acara: Shag, Kvelertak, dan Ghost. Saat tiba waktunya Iron Maiden tampil di panggung, playback “Doctor Doctor” berkumandang. Signal Iron Maiden akan tampil. Dilanjutkan “Rising Mercury”.
Kemudian saat “Moonchild” dimainkan saya terharu sambil sing along dengan Bruce. Ini tidak akan terlupakan seumur hidup saya. Bahkan saat saya menulis ini masih terbayang berada di front row. Gemetar badan saya setiap kali mengingat momen dahsyat ini. Lagu ini mutlak milik Dave Murray yang melakukan lead berkali-lkali dengan Fender Stratocaster-nya. Selain itu, Steve Harris juga liar “menggulung” seluruh pinggir panggung dengan gaya khasnya: menunjuk-nunjuk penonton dengan bass gitarnya sambil mencabik-cabik senar!
***
Tulisan ini adalah cukilan dari buku Neraka di Eropa karya Syam Talisman yang diterbitkan Guepedia pada tahun 2021. Buku Neraka di Eropa bisa didapatkan di sini.