Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Kuliner >

Juru Asap Ikan: Antara Tradisi dan Gengsi

Juru Asap Ikan: Antara Tradisi dan Gengsi

Teks & Foto oleh: Primagung Dary Riliananda

Juru Asap Ikan: Antara Tradisi dan Gengsi

Ada konsekuensi dari kemajuan zaman, yaitu tradisi dan keluhuran budaya yang kian ditinggalkan apapun bidangnya. Atas nama prestise, semua orang berlomba mencari bentuk terbaik sesuai dengan standar sosial yang sudah ada. Sebagian berpikir, lebih baik mencari penghidupan pasti daripada menopang diri dengan menjaga tradisi. Benar atau tidak jelas subjektif, namun tradisi yang sudah hilang tentu susah untuk direkonstruksi lagi. Terlebih, para pelaku awal yang mulai menua mulai menanti penerusnya.

Kepulan asap menyeruak tajam dari dalam sebuah gubuk kecil di gang Arimbi, Beji, sekitar sepuluh menit berkendara dari pusat kota Pemalang pukul satu siang kala itu. Bukan asap biasa, kali ini lebih beraroma khas daging ikan yang tengah dipanggang. Walau tak berbumbu apapun, aromanya sangat cukup untuk membuat siapa pun ingin segera mengambil sepiring nasi hangat, lengkap dengan lalapan dan sambal. Ditambah cuaca Pemalang yang panas terik membawa semua orang berlomba untuk mencari dopamin dalam wujud sajian lezat.

Masuk ke dalam gubuk, nampak seorang pria sabar menjaga bara di sebuah tungku bata agar tetap menyala. Nampaknya, kepulan asap tadi berasal dari tungku itu. Seperempat jam berlalu, ia memindahkan alas kayu berisi puluhan ekor ikan ani-ani, tongkol, dan banyar yang sudah ditata rapi, kemudian menatanya kembali dengan hati-hati ke dalam tungku bata. Sesekali dirinya menaruh beberapa buah batok kelapa ke dalam tungku, dan mengibaskan air saat api mulai membesar.

Sesekali, ia beristirahat sambil bercakap dengan wanita di seberangnya yang sedang menata ikan. Sembari minum teh tubruk yang diracik sekenanya, keduanya melepas lelah kemudian bekerja lagi. Wanita itu juga sama awasnya, ia tak cuma menyusun ikan supaya tertata rapi, tapi juga membuang kotoran yang ada di dalam dan luar ikan. ia memastikan semua ikan yang akan dipanggang sudah bersih dari jenis kotoran apapun.

Potret Sukardi (52) juru asap Ikan saat ditemui di gubuk pengasapan dekat rumahnya di Pemalang.

Sudah satu jam berlalu, dan keduanya masih melanjutkan pekerjaannya hingga sebuah mobil plat R mampir ke gubuknya. Sebentar bercakap dengan sang juru asap, rupanya mereka adalah pasangan suami-istri dan anak-anaknya. Mereka menanyakan ikan yang ada, lalu membelinya sebanyak empat besek. Tak tanggung-tanggung, uang sebesar Rp550 ribu dikeluarkan sekali waktu, jumlah transaksi yang cukup besar untuk gubuk yang kelihatannya kecil dan hanya dipenuhi asap.

Namun, sang juru asap terlihat datar, seperti sedang melakukan sesuatu yang biasa saja. Setelah mencoba bertanya, usut punya usut mereka adalah pelanggan lama dari Purwokerto, yang tengah pulang dari vakansi awal tahun di Semarang. “Mereka memang sering mampir ke sini kalau lewat Pemalang. Kebetulan mereka punya kerabat dekat di kota ini, dan waktu mampir pertama kali kerabatnya membelikan ikan di sini untuk oleh-oleh, ternyata mereka suka dan akhirnya balik lagi. Pelanggan yang lebih jauh lagi juga ada, dari Semarang, Bekasi, dan Jakarta,” katanya dengan senyum teduh.

Hasil Gemblengan Sang Ayah

Nama juru asap ikan itu Sukardi. Ia sudah menjalani hari-harinya sebagai juru asap sejak dua dekade lalu. Ia memulai pekerjaan sejak siang hingga malam tiba, saat ikan-ikan segar baru datang dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Asemdoyong, sementara istrinya membantu menata ikan. Butuh banyak tenaga untuk melakukan semua itu. "Sekali panggang bisa lima alas, Mas. Total berat satu alas bisa sampai sepuluh kilogram. Sehari kadang bisa mengasapi sampai 50 alas lebih," katanya sambil tetap fokus mengasapi.

Pikiran Sukardi menerawang ke masa lampau, saat ia pertama kali mencoba mengasapi ikan sekitar dua dekade lalu. Ayahnya yang pertama kali mengenalkan pekerjaan ini saat Sukardi masih belia. Selepas pulang sekolah, ia akan mengunjungi sang Ayah di gubuk pemanggangan dan membantu menata ikan. Gubuk itu bukan milik mereka, melainkan tetangganya. “Dulu, Bapak saya juga belajar dari orang lain. Tetangga saya ibaratnya yang beli ikan di Asemdoyong, nanti Bapak yang proses,” ia melanjutkan.

Istri Sukardi membantu menata ikan sebelum dipanggang. Ikan disusun berdasarkan ukuran dan jenisnya.

Dirinya tertarik dengan rutinitas yang dilakukan sang ayah, namun tak pernah berpikir bahwa ini akan menjadi ladang penghidupan sehari-harinya kelak. Kata Sukardi, waktu itu dirinya hanya ingin membantu Bapak untuk menambah uang jajannya yang memang tak banyak. Memang butuh waktu untuk belajar, namun ia akhirnya mulai terbiasa dalam hitungan bulan. Ia memulainya dari menyusun ikan, kemudian “naik pangkat” untuk menyiapkan tungku, sebelum akhirnya mulai melakukannya sendiri.

Sekilas memang terlihat mudah, tinggal susun dan asapi lalu ikan akan matang dengan sendirinya. Namun semua itu menipu, tampah itu tetap harus dibalik dan dipindah posisinya selama beberapa waktu. Salah perkiraan sedikit saja, bisa-bisa bukan ikan asap yang didapat. “Dulu pernah salah perkiraan waktu memanggang. Ikannya malah gosong. Pernah juga kelebihan takaran arang dan batok, hasilnya gosong juga. Memang masih bisa dijual, tapi ya ora ilok (tidak pantas),” ujarnya sambil tertawa.

Kini, ayahnya telah tiada, dan Sukardi melanjutkan pekerjaannya di gubuk yang sama, kali ini ditemani sang istri. Tetangganya sudah kadung percaya dengan kemampuannya menjaga kualitas ikan supaya tetap terasapi dengan sempurna. Apalagi, ia mewarisi kemampuan sang Ayah. Biasanya, Sukardi datang lebih dulu selepas dhuhur untuk menyiapkan tungku dan bara api, barulah sang istri menyusul untuk mulai menata ikan setelah semuanya siap.

Berkah yang Dimaksimalkan

Laut telah menjadi berkah bagi nelayan di Pemalang sejak dulu. Tak mengherankan jika Potensi perikanan di kota ini tergolong besar. Hal itu dibuktikan dari hasil pelelangan ikan di Pemalang pada rentang tahun 1937 hingga 1940 dalam “Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990” yang dikompilasi oleh S.K. Widodo (2005), jumlah rata-rata per tahunnya mencapai 2.782 ton dengan keuntungan bruto mencapai 191,281 gulden. Jumlah yang tidak kecil pada masanya.

Sukardi mengecek hasil panggangannya. Ikan panggang matang sempurna saat bagian luar ikan telah terpanggang seluruhnya.

Dikutip dari “Aktivitas Nelayan di Pemalang Masa Kolonial Abad XX” karya Ilham Nur Utomo (2021), nelayan di Pemalang dikenal sejak lama memiliki keterampilan dalam berlayar, menangkap, dan mengolah ikan. Hasil tangkapan yang sudah diperoleh tidak melulu dijual langsung. Saat berlayar, mereka juga mengawetkan beberapa ikan di laut. Sebagian nelayan lainnya juga mencoba ilmu pengasapan ikan yang diperoleh dari kota-kota di sekitarnya, seperti Pekalongan dan Semarang. Ada pula dugaan kuat di kalangan nelayan bahwa proses ini dipengaruhi oleh nelayan-nelayan dari daerah timur Jawa Tengah seperti Semarang, Jepara Kudus, dan Rembang, walau kebenarannya masih perlu ditelusuri lebih lanjut.

Kondisi itu jelas memengaruhi kondisi saat ini. Setiap hari, tujuh tempat pelelangan ikan yang ada di Pemalang (Tasikrejo, Ketapang, Mojo, Pesantren, Nyamplungsari, Asemdoyong, dan Tanjungsari) aktif menjadi tempat distribusi hasil laut. Asemdoyong adalah salah satu yang terbesar, dan banyak didatangi pengepul yang menginginkan ikan segar untuk langsung dijual di pasar, atau dioper terlebih dahulu ke untuk diolah menjadi olahan lainnya, seperti fillet dan ikan asap.

Kebiasaan warga Pemalang dalam mengonsumsi ikan -khususnya ikan panggang- juga tergolong tinggi. Persaingannya dengan ikan segar seperti menentukan yang terbaik antara Messi dan Ronaldo, sama-sama punya kualitas dan keunikannya sendiri. Daging ikan segar lembut di mulut, sedangkan kesan smoky yang didapat di ikan asap membuatnya menarik. Apalagi, dari segi harga keduanya juga tak jauh berbeda. Olahan ikan asap cenderung tradisional, seperti pecak, mangut, dan cukup dicocol dengan sambal yang sudah digoreng dan dijajakan di warung makan pada umumnya. “Kalau yang paling mahal jelas tenggiri, satu potongnya saja kalau di pasar sudah sebelas ribu. Itu kalau dibikin pecak ya lebih mahal lagi,” tandasnya.

Pasokan ikan jelas dipengaruhi kondisi cuaca dan laut. Saat penghujan, laut menjadi pasang, dan ikan yang tersedia tidak begitu banyak dan terbatas pada jenis tertentu karena tidak banyak nelayan yang berlayar jauh. Waktu kerja Sukardi otomatis menjadi lebih luang. Berbeda dengan saat kemarau, Sukardi bahkan bisa bermalam di dalam gubuk karena pasokan ikan sedang melimpah. Soal hitungan tetap adil. Jika Sukardi harus lembur, tetangganya akan memberi bonus untuk menggantikan tenaganya. 

Istri Sukardi memberikan hasil panggangan ikannya kepada salah satu penjual ikan yang menitipkan kepadanya. Mereka juga melayani titipan ikan dari penjual di sekitar untuk dipanggang.

“Kalau kemarau itu ikannya ramai, bahkan bisa sampai tiga kali lipat dari waktu-waktu seperti Januari sekarang. Saya bisa mulai dari pagi dan baru selesai tengah malam. Pernah juga akhirnya menginap di sini sampai besok paginya. Yang lain jaga lilin, saya malah jaga asap,” canda pria empat orang anak ini.

Sukardi bilang, semua orang bisa memanggang, tapi memastikan hasil panggangan sempurna luar-dalam adalah perkara lain. Butuh kesabaran dan ketenangan agar ikan itu bisa diapresiasi secara penuh saat berada di meja makan. Beberapa orang dari tempat lain mencoba meniru metodenya, namun rasa tetap berbeda. Banyak orang yang kembali lagi ke tempatnya untuk sekadar sambat setelah dikecewakan dengan hasil ikan panggang di tempat lain. ”Ada saja ceritanya, ada yang bagian dagingnya hancur, pahit karena gosong, atau baunya anyir. Dari hasilnya saja, pelanggan juga bisa menilai mana orang yang bekerja dengan hati,” kata Sukardi.

Pelik Mencari Pengganti

Pada dasarnya, lebih mudah membuat tujuan daripada mempertahankan saat tujuan itu tercapai. Sama halnya dengan Sukardi. Mewarisi ilmu sebagai juru asap, Sukardi kini menghadapi tantangan baru -tentang siapa yang akan menggantikannya. Badannya memang masih terlihat bugar, dengan otot kekar yang menonjol di tangan dan kakinya. Pria ini juga masih menikmati pekerjaannya. Namun memang, soal usia dan kesehatan tak ada yang tahu pasti. Ia jelas memikirkan ini.

Ikan-ikan yang mulai matang saat melalui proses pemanggangan.

Solusi paling mudah ialah menularkan ilmu kepada orang terdekat, namun tidak dengan Sukardi. Anak-anaknya sudah langsung menolak dari awal untuk melanjutkan pekerjaannya dengan alasan pendapatan yang tergolong kecil. Dua orang anaknya telah diboyong suaminya masing-masing, anak ketiga sibuk melamar pekerjaan sebagai pegawai pabrik garmen walau belum beruntung, dan sang bungsu masih menempuh pendidikan sekolah menengah. 

Pernah dirinya mengajak anak ketiga dan bungsunya untuk ikut, setidaknya melihat apa yang dia kerjakan sehari-hari. Mereka sempat mencoba membantu, namun ujungnya hanya setengah hati. “Banyak orang enggan bekerja menjadi juru asap, termasuk anak saya. Mungkin, mereka melihat saya seperti bekerja seperti ‘orang payah’ karena cuma kerja di gubuk berjam-jam. Padahal, saya menikmatinya,” ia berujar lirih.

Zaman sekarang, susah mencari orang yang bisa konsisten seperti Sukardi, untuk benar-benar menaruh seluruh jiwa di bidang yang tidak ”mainstream” seperti juru asap. Apalagi, kalau sudah membahas perkara untung-rugi material, jenis pekerjaan ini tergolong susah untuk masuk pada hitungan itu. Namun, ia tetap dapat membuat pekerjaannya bernilai. Ilmu niten (prediksi) yang ia miliki sudah cukup untuk bisa memprediksi waktu masak ikan, cuaca, panas bara, dan yang terpenting ialah menjaga ikan agar tetap utuh selepas dipanggang. Kualitas ini membawa ikan-ikan yang dipanggangnya dapat konsisten bertahan di pasar sekitar Pemalang, dengan harga yang bersaing dengan ikan lainnya. 

Ikan tongkol yang sudah matang sempurna dimasukkan ke tampah kayu sebelum dikemas dalam besek khusus.

Terlebih, lingkungan Pemalang yang kini mulai berkembang juga memengaruhi kondisi ini. Banyaknya pabrik yang mulai dibuka -terutama sektor tekstil dan garmen- membuat anak-anak muda di sana lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang lebih memberikan garansi kemapanan. Kalau pun belum mapan, setidaknya mereka lebih stabil secara pendapatan. Efeknya, tidak banyak anak-anak muda yang berani meneruskan usaha orang tuanya di bidang pertanian dan perikanan.

Saat ditanya kapan ia memutuskan “pensiun” dari rutinitasnya, Sukardi hanya membalas dengan senyum tipis dan sepenggal kalimat penghiburan. Intinya, akan ada masa dimana ia akan berhenti, namun dirinya tidak tahu pasti kapan waktu itu datang. Memang bukan kewajibannya untuk mencari pengganti diri, namun pria ini tetap menanti siapa pun yang mau ikut andil. ”Sebelum itu saya pingin ketemu dulu orang yang mau, nanti tak ajari semuanya. Eman-eman Mas, sudah dipercaya lama soalnya,” simpulnya.