Home > Ini Indonesia > Komunitas >
Partai Derep Indonesia
Partai Derep Indonesia
“Mas, kalau kemarin nanya nama kelompoknya apa, sebut saja Partai Derep Indonesia. 'Derep', bukan 'demokrasi'.” canda Pak Paijo (47), bersiap menyalakan mesin tleser perontok gabah.
Bagi orang yang pernah berkendara melewati jalan-jalan di sekitar Sleman Barat dan Kulonprogo Utara, mungkin cukup demokratis bila saya wakilkan untuk membuat pernyataan bahwa sawah-sawah dan desa-desa di teritori yang menjadi bagian dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini sangat menyegarkan untuk dilewati. Sebagai anak kelahiran kota yang pindah ke daerah ini, saya kerap membayangkan, bahwa ‘paman’ dari salah satu lagu anak-anak favorit saya, "Kemarin Paman Datang" – Tasya Kamila, datangnya dari sini. Sebuah lingkungan di mana mudah sekali untuk menemui 'rambutan, pisang, dan sayur-mayur segala rupa.' Dengan jalinan irigasi dan persawahannya yang melimpah, sangat mudah pula merealisasikan lirik 'mandi di sungai, turun ke sawah'. Walaupun untuk 'menggiring kerbau ke kandang' kerbaunya sudah jarang ditemui.
Pak Paijo, dan beberapa buruh derep (panen padi) dalam kumpulan yang ia sebut sebagai Partai Derep Indonesia merupakan salah satu ‘paman’ yang saya temui di dunia nyata selama hidup di Minggir. Selama kurang lebih dua hari, saya ikut dalam keseharian memanen padi dan mendengarkan cerita mereka, mencari hal yang mungkin belum sempat dinyanyikan oleh Tasya. Bergabung sebentar dalam Partai Derep Indonesia.
Setiap pagi, bersama dengan lima pekerja upahan lain, ia bekerja menjadi bagian dari sebuah kelompok derep yang dikelola oleh keluarga Pak Mujiman (65) dan Bu Sutini (65). Kumpulan derep ini aslinya tidak memiliki nama, tidak bisa dicoblos saat pemilu, atau memiliki anggota yang mewakilkan di DPRD. Hanya terbentuk dari pekerja-pekerja yang secara organik anggotanya telah silih-berganti sejak 1997. Memanen padi di kecamatan-kecamatan Sleman seperti Minggir, Seyegan, Tempel dan beberapa kecamatan di Kulonprogo.
Daur hari di Partai Derep Indonesia selalu sama. Dari gudang dan tempat pengolahan gabah yang merangkap rumah pribadi milik pasangan Pak Mujiman dan Bu Sutini, setiap hari mesin tleser (perontok gabah) berkumandang. Mengisi lanskap suara pagi di Dusun Ngepringan IV, Minggir, Sleman. Seusai merontokkan gabah dari batang padi, dilanjut menimbang gabah hasil pagi itu untuk dijual. Setelah rutinitas tersebut selesai, maka seluruh anggota bersiap memanen padi di sawah sampai sore. Rutinitas tersebut berjalan tanpa putus, tidak mengenal tanggal merah atau hari libur. Pengambilan liburnya hanya berdasarkan perjanjian dan saling mengisi, misalkan ada anggota yang berhalangan kerja karena acara di kampung, maka anggota lain yang menggantikan.
Pada awal tahun 2000an, kumpulan derep ini memiliki 12-16 anggota. Memasuki tahun 2020-an, anggota kelompok derep berkurang menjadi enam orang. Beberapa anggotanya meninggal, beberapa mencari kerja di tempat lain. Pak Mujiman bercerita, “Semakin lama yang muda-muda itu enggak mau derep, (mereka-red) pilih yang bersih seperti jaga toko/warung. Kalau derep kan rekoso (sulit).”
Terkadang para pemilik sawah datang menawarkan hasil tanam di sawahnya musim itu ke rumah Pak Mujiman dan Bu Sutini untuk dibeli dan dipanen. Namun tak jarang sang pengelola kelompok derep sendiri yang pergi dari sawah ke sawah, mencari padi yang potensial untuk dibeli. Peran suami-istri ini dibagi dua; bapak bagian menaksir harga dan memanen, ibu mengurus perputaran uang dan pembayaran. “Orang beli padi itu harus eling-eling mongso (musim dalam penanggalan Jawa). Katakanlah nek orang dulu ada mangsa kesiji, keloro, ketelu, dan seterusnya. Pemetu (hasil) yang baik biasanya ada di mangsa keempat, kelima. Mangsa keenam ke atas itu main. Daripada untung banyak ruginya.” ujar Pak Mujiman sambil mengingat masa di mana ia pernah rugi Rp20 juta karena salah perhitungan musim. Ia juga masih menggunakan ilmu titen untuk menaksir harga padi yang akan ia beli. Hanya bermodal berjalan berkeliling sawah, ia dapat mengkonversi jumlah jangkah (satuan langkah) menjadi luasan sawah, lalu menghitung potensi total berat gabah. “Orang Jawa, wong biyen iku kan mung titen ro apal (orang dulu hanya meneliti dan menghafal). Beda dengan anak zaman sekarang mengandalkan HP tanya Google.“ kelakarnya.
Bila ditanya apakah hiburannya ketika penat mengurus kerja-kerja derep, Bu Sutini menjawab “Hiburan kula yo pari kui, dong-dong yo pit-pitan. (Hiburan saya ya padi itu, kadang-kadang ya sepedaan)”. Sedari kecil, lelaku berdagang telah melekat dalam diri ibu berumur 65 tahun ini. “Ora sekolah biyen, kulo yo mung SD. Sik marai awake dewe, pikirane dewe. Kebetulan bapak nggih dagang mbako. (Dulu tidak sekolah, hanya sampai SD. Maka yang mengajari diri sendiri, bergantung dari pemikiran sendiri. Kebetulan bapak juga pedagang tembakau).” Ia melanjutkan, “Cah saiki ra ono wong derep. Cah nom-nom sekolah, nyambut gawe. (Anak sekarang tidak ada yang derep. Anak muda-muda bersekolah, lalu bekerja)”. Padahal menurutnya, tenaga derep manual masih dianggap relevan untuk kontur sawah sekitar Minggir yang lumpurnya seringkali sangat dalam; bahkan bila dibandingkan dengan mesin panen combine harvester yang sudah mulai bisa diakses.
Sudah sekitar 20 tahun semenjak ada anggota yang berumur 20an di kumpulan derep ini. Sekarang, tenaga derep yang tergabung dalam ‘partai’ memiliki rentang umur 45-66 tahun. ”Padahal enggak pakai syarat, cuma badan sehat, rosa (kuat).” ujar Pak Mujiman. Ia pun mengamati, sawah-sawah yang kerap ia paneni juga berkurang dari tahun ke tahun. “Berkurang parine, kebanyakan dideki omah. Paling parah daerah Seyegan, angger cerak dalan gede dideki omah. Mbiyen padahal sawah kabeh iku, mas, tekan Godean. (Berkurang padinya, kebanyakan sawah didirikan rumah. Paling parah daerah Seyegan, tiap pinggir jalan besar sudah didirikan rumah. Padahal dulu sawah semua, mas, sampai Godean.)”
Tapi bagaimanakah rasanya menjadi buruh derep sehari-hari? Seusai hari kerja di tempat Pak Mujiman, saya ikut pulang ke rumah Pak Wagiyo (66) dan Bu Mujiem (62) untuk mendengar cerita mereka. Bapak dan ibu ini merupakan sepasang suami-istri buruh derep paling tua yang tergabung dalam Partai Derep Indonesia. “Kesel ra kesel mas, jenenge wong tuwo ndadekke anak. (Lelah tidak lelah mas, namanya juga orangtua ‘menjadikan’ anak)”. Begitulah percakapan kami dibuka. Setiap hari mereka berangkat ke sawah berbekal air, makan siang, arit, dan karung. Hari-hari tersebut dihayati sebagai upaya panjang yang akhirnya mengantarkan anak mereka menjadi lulusan terbaik di akademi keperawatan; lalu bekerja menjadi PNS. “Tukang derep iso sukses ndadekke anake tekan pegawai negeri. (Tukang derep bisa sukses membesarkan anaknya sampai jadi pegawai negeri)” ujar Pak Wagiyo bangga.
Tiap panen, upah yang diterima pasangan suami-istri ini bukan berupa uang, melainkan gabah basah yang disebut bawon. Upah bawon berjumlah sekitar 10% dari hasil panen. Gabah basah tersebut lalu dijemur sendiri, digiling, lalu dibuat makan sendiri. Sisanya dijual sebagai beras dan bekatul. Walau menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga, sistem upah tersebut dinilai lebih menguntungkan. “Nek upah yo mung nek kepipit, kadang upah iso mung Rp50.000. (Upah uang hanya jika kepepet, karena kadang jumlahnya bisa hanya Rp50.000).”
“Kulo bakal tetep kerjo ten sawah nek tetep sehat. Pensiun e suk nek wis tua, nek wis ra kuat nggoto tenan. (Saya bakal tetap kerja di sawah selama tetap sehat. Pensiun saat sudah tua, saat sudah tidak bisa lagi bekerja.) Anak juga nanti sudah pensiun. Sepuluh tahun lagi kan udah pulang anak saya. Mutasi pegawai negeri.” begitu Pak Wagiyo dan Bu Mujiem merencanakan masa tua mereka. Ia dan anak-cucu berencana terus menetap di Minggir, walau mungkin lelaku hidupnya sehari-hari tidak lagi mengolah sawah. “Kena gabah wae gatelen kok nek anak kulo. Dasare yo ora nduwe sawah mas. Sawahe wis didol, nggo sekolah, nggo kuliah ben dadi pegawe. (Anak saya terkena gabah saja gatal-gatal. Pun kami juga sudah tidak punya sawah. Sudah dijual untuk sekolah, agar bisa jadi pegawai.)”
Menurut mereka, tidak jarang tetangga kiri-kanan juga menjual sawah mereka untuk menyekolahkan anaknya agar jadi pegawai. Ada yang membayar 500, bahkan 700 juta agar anaknya jadi polisi atau tentara.
Seusai menerawang ke belakang, Bu Mujiem menutup, “Pokoke entuk bawon, ketemu kancane neng sawah, makan-makan bareng (pokoknya dapat bawon, bertemu teman di sawah, makan-makan bersama)” ia anggap cukup jadi hiburan sehari-hari. “Nyenengke angger dijalani, mung turut alur e, melu alur. Generasi penerus mesthi ada. Arep kerjo opo meneh neng desa? (Menyenangkan bila dijalani, ikut alurnya saja. Generasi penerus pasti ada. Mau kerja apa lagi di desa?)” sahut Pak Wagiyo.
Pertemuan dua hari itu saya tutup dengan mengamini ucapan Pak Wagiyo barusan. Rasanya sawah-sawah dan desa-desa yang segar dilewati itu juga masih cukup terbuka untuk menghidupi dan ditinggali. Beberapa aspek kesehariannya memang masih merdu seperti yang dinyanyikan Tasya. Walau ada sebuah pertanyaan menempel, seperti gatal bulu dari bulir-bulir padi yang sudah kering; namun tahukah kita sampai kapan desa bisa menjadi desa? Desa yang seperti apa, kalau yang mewakilkan untuk menjaganya hanya orang-orang seumuran para anggota Partai Derep Indonesia, sedangkan yang muda–termasuk saya–baru bisa ikut bernyanyi dari sudut pandang Tasya.