Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Komunitas >

Wayang Orang Padepokan Tjipta Boedaja, Sepenggal Doa dari Tutup Ngisor

Wayang Orang Padepokan Tjipta Boedaja, Sepenggal Doa dari Tutup Ngisor

Di Tutup Ngisor, tembang, wayang, dan gamelan bukan cuma warisan kebudayaan. Melainkan juga warisan keluarga, di mana ada sepenggal doa yang mereka titipkan dari generasi ke generasi untuk menghalau marabahaya.

Dahulu kala, di lereng Merapi ada sebuah dusun yang tidak bisa dihuni lebih dari tujuh keluarga. Entah apa sebabnya. Maka di sana hanya berdiri tujuh rumah. Setiap kali dibangun rumah ke-8, senantiasa wabah penyakit melanda. Dusun itu ialah Tutup Ngisor. 

Sampai suatu hari, salah satu tokoh dusun, Eyang Yoso Seodarmo mempersembahkan pementasan wayang wong untuk memohon keselamatan dibantu ketujuh putranya. Dewa-dewi penjaga Gunung Merapi rasanya cocok dengan apa yang dipentaskan Eyang Yoso Soedarmo sekeluarga. Sebab semenjak itu tak ada lagi penyakit yang menjangkit saat dibangun rumah ke-delapan, sembilan, dan seterusnya. Persembahan itu terus berjalan, menjadi bagian dari kebudayaan Tutup Ngisor. Dalam proses itulah terbentuk sanggar seni Padepokan Tjipta Boedaja pada 1937. 

Delapan puluh tahun berlalu, dan sanggar seni itu masih aktif hingga hari ini. Jangan bayangkan kondisi sanggar yang serba prihatin dengan anggota-anggota yang sudah uzur. Di sini, para pemuda dan anak-anak yang mana masih merupakan cucu dan cicit trah Eyang Yoso Soedarmo masih menggeluti kegiatan sanggar dengan aktif. 

Lanskap desa Tutup Ngisor, tanah berdirinya Padepokan Tjipta Boedaja.

“Ada semangat ingin melestarikan [sanggar dan kesenian] ini, karena ini merupakan peninggalan eyang. Ada spirit itu,” jelas Novarini Roh Hanardey, salah satu penari Padepokan Tjipta Boedaja sekaligus cucu menantu dari Eyang Yoso Soedarmo. 

Warisan dan doa itu mewujud setiap tahunnya dalam pementasan wayang wong setiap Suronan, atau perayaan malam Satu Suro. Prosesi selamatan selama tiga sampai lima hari yang dimulai Eyang Yoso Soedarmo berpuluh tahun lalu. Rangkaian dimulai dengan prosesi kenduri, pasang sajen, dan uyon-uyon candi—atau kegiatan menabuh gamelan di makam Eyang Yoso Soedarmo, di belakang bangunan padepokan. Kemudian dilanjutkan dengan Tari Kembang Mayang. “Menurut cerita, itu termasuk [ritual] tolak bala atau doa kesuburan,” ujar Mbak Nova. Penarinya terdiri dari sembilan perempuan dalam keadaan suci alias sedang tidak datang bulan dan bersih luar, maupun dalam. Sebelum menari pun kesembilan dara belia itu diharuskan berdoa terlebih dulu di candi.

Para cicit Eyang Yoso Soedarmo yang masih aktif menggeluti kesenian tradisional di Padepokan Tjipta Boedaja, di Tutup Ngisor. 

Setelah semua ritual pembuka dilakukan, mereka kemudian menggelar pertunjukan wayang orang bertajuk Lumbung Tugu Mas. Ini adalah naskah buatan Eyang Yoso Soedarmo dan khusus dimainkan oleh trah keluarganya. Ceritanya konon untuk memuliakan Dewi Sri yang dilambangkan karakter Sri Kembang. Sepintas, lakon itu tidak jauh berbeda dengan lakon wayang wong yang lain. Namun di antara adegan-adegan yang ditampilkan diselipkan doa-doa maupun petuah untuk direnungi warga dusun. Pentas bisa berlangsung hingga pukul 02.00 atau 02.30 dini hari. Belum tuntas badan beristirahat, para penari sudah mesti kembali berias sebelum talu dibunyikan pada pukul 06.00 dan ritual berlanjut. Ritual berikutnya ialah ritual mengelilingi desa sebanyak 3-4-7 kali yang ditutup dengan tari sekaligus menjadi penanda pesta rakyat dimulai. 

Baca Juga:

Kesahajaan Tutup Ngisor di Hadapan Corona dan Erupsi Gunung Merapi

Wayang Orang Bharata, Bertahan Bertarung Melawan Zaman

Dalam gelaran pesta rakyat, suasana sakral berubah meriah. Banyak warga desa tetangga ataupun kelompok seni tradisi dari luar kota datang berkumpul. Bersama-sama mereka terlibat dalam panggung pertunjukan lapangan. Orang dari daerah manapun diperbolehkan mengisi acara. Gelaran terus berlangsung sampai malam dan ditutup dengan pertunjukan wayang gabungan. Penarinya berasal dari mana saja. Entah itu Bandung, Jakarta, Semarang, atau pun Solo. Yang seru, cerita dan lakonnya dibuat secara spontan. Termasuk penunjukkan sutradara. “Sebelum mulai, akan dibagi ayo siapa malam ini yang akan ndapuk (dapat peran),” papar Nova yang juga seorang guru pengajar seni budaya, khususnya tari. Kurang lebih 10 menit waktu mereka berlatih dialog dan koreografi dari cerita dan peran yang sudah disepakati dan pertunjukan pun dimulai.

Perayaan Suronan adalah warisan turun-temurun masyarakat Tutup Ngisor untuk memohon keselamatan dari marahabaya yang mengintai di Lereng Merapi. 

Suronan, boleh jadi adalah pementasan wajib mereka yang paling meriah dan tidak boleh terlewat. Di luar itu, ada tiga selametan lain yang juga wajib mereka gelar. Namun, dengan tatanan yang lebih longgar. Ketiganya adalah selamatan untuk merayakan Idul Fitri, 17-an, dan Maulid Nabi Muhammad. Tidak jarang, gelaran selametan ini justru menjadi panggung bagi kelompok-kelompok seni tradisi di desa lain. “Lek Muludan tibane tanggal pira ya, Pakde? Nek sing ngisi ketopraknya ngan kuwi pie?” begitu kata Nova menceritakan interaksi padepokan dan kelompok-kelompok seni tradisi di sekitar mereka. 

Baca Juga: Darman, Pengrajin Wayang VS Pandemi

Dinamika yang demikian membuat Padepokan Tjipta Boedaja dan Tutup Ngisor sering menjadi tuan rumah dari berbagai kelompok dan pelaku seni tradisi. Tidak hanya dari desa sekitar, tetapi juga luar kota. “Mungkin itu yang membuat anak-anak termotivasi untuk ke sekolah formal juga. Karena mereka melihat kesempatan bisa bertemu lebih banyak orang sembari turut melestarikan kebudayaan mereka,” lanjut Nova di sela camilan gorengan dan kopi hitam manis kami. 

Melestarikan Doa

Melestarikan bagi mereka bukan sekadar terus mempertahankan yang mereka punya apa adanya. Melainkan juga bagaimana cara mengembangkan warisan mereka agar tetap relevan dengan situasi hari ini. Dengan begitu, sepenggal doa keselamatan mereka pun bisa lestari melintas zaman. 

Kehadiran seni tradisi yang begitu baur dengan kehidupan sehari-hari Tutup Ngisor memberikan pengalaman langsung bagi para generasi mudanya tentang makna bentuk-bentuk kesenian tersebut dalam semesta mereka. 

Itu dilakukan misalnya dengan mempelajari bentuk-bentuk seni dalam kebudayaan Tutup Ngisor di institusi formal seperti perguruan tinggi adalah salah satunya. Gunanya untuk terus menemukan konteks baru, mengasah kemampuan teknis, sekaligus mengisi kekosongan talenta. Misal, ada salah satu cucu atau cicit yang merasa jumlah pengrawit mulai berkurang, maka kemudian beberapa dari mereka akan menimba ilmu tersebut untuk kemudian mengajarkannya ke generasi-generasi di bawah mereka.

Tentu tidak secara kaku, sering kali anak-anak belajar gerak tari atau karawitan dari pengalaman melihat. Dari situ baru kemudian mereka diajarkan dengan lebih serius dan diarahkan sesuai dengan minat masing-masing. 

Upaya untuk terus melestarikan warisan Eyang terus dilakukan hingga kini Padepokan Tjipta Boedaja memiliki sanggar satelit di Dusun Sumber, yaitu Sanggar Bangun Budaya. Letaknya sekira 800 m dari padepokan dan didirikan oleh Untung Pribadi yang juga cucu Eyang Yoso Soedarmo. Dalam prosesnya kini mereka juga terkoneksi dengan Komunitas Lima Gunung yang menghubungkan kelompok-kelompok seni tradisi di Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Menoreh, dan Andong.