Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Kuliner >

Cerita Sunyi di Tenda Nasi Goreng Tirung

Cerita Sunyi di Tenda Nasi Goreng Tirung

Tenda nasi goreng di tengah malam sering menjadi pemadam kelaparan sekaligus muara cerita di akhir hari yang panjang. Ada yang menenangkan dari desingan suara spatula beradu dengan wajan nan lebar. Begitu pula aroma harum nasi bercampur bumbu yang menguar mengiringi percakapan. Setidaknya begitu rasanya bagi Primagung Dary Riliananda saat tengah mampir ke warung nasi goreng sederhana milik Pak Tirung di Pemalang.

Belakangan Prima sedang getol menonton serial Netflix tentang seorang pria yang memanfaatkan akhir pekannya untuk berkendara ke penjuru Jepang sembari mengunjungi warung-warung makan atau restoran enak, tapi “terancam tutup” karena bermacam alasan, The Road of Red Restaurant List judulnya.

Agaknya, Prima melihat hobi yang sama dengan karakter dalam serial itu. Ia juga senang berkeliling kota mencari cerita. Mampir ke tempat-tempat baru. Maka, tontonan ia ini memberinya misi baru untuk berkendara berkeliling kotanya, Pemalang. untuk sekedar mencicipi warung-warung makan kelas wahid yang tak banyak mendapat eksposur dan belum jelas kelanjutannya nanti. 

Perjalanannya dimulai tak jauh dari rumah, tepatnya di Komplek Stadion Mochtar Pemalang. Ada satu tenda nasi goreng yang sudah lebih dua dekade silam konsisten mangkal di sana. Tenda itu milik Pak Tirung, laki-laki paruh baya yang sudah melakoni pekerjaan ini sejak masa remaja.  

Tenda nasi goreng sederhana Pak Tirung yang ia buka sejak 20 tahun silam di Komplek Stadion Mekar.

Malam itu Prima mampir ke tenda gerobak Pak Tirung. Jika biasanya pelanggan Pak Tirung yang datang dengan cerita-cerita mereka sembari menutup hari. Kali ini, justru Prima datang untuk mendengar cerita sunyi Pak Tirung. 

***

Ketika orang-orang memanfaatkan malamnya untuk bersantai setelah pulang kerja, lain hal dengan Pak Tirung. Bersama adik iparnya, hari mereka baru dimulai saat senja menjelang. Sore hari, duo penjual nasi goreng ini mulai mendorong gerobaknya sore hari hingga 10 kilometer dari kediaman mereka. Biasanya saat bada Maghrib berkumandang, barulah Pak Tirung dan adik iparnya tiba di titik pangkalan. 

Sepanjang malam, keduanya dengan sabar akan menanti dan melayani pelanggan. Baik itu sekadar orang yang kebetulan lewat, atau warga sekitar yang sudah jadi langganan tetapnya. Baru saat subuh menjelang, keduanya pulang untuk beristirahat.

Radio klasik yang menjadi salah satu andalan Pak Tirung dan adik iparnya menghibur diri di malam-malam sepi.

Usianya kini sudah menginjak 63 tahun. Sebelum akhirnya memutuskan buka usaha nasi goreng sendiri. Pak Tirung di usia remaja sudah sering mengikuti rutinitas yang sama dengan mengikuti sanak saudaranya yang berjualan di sekitar kota.

Udara dingin Pemalang bukan lagi jadi soal baginya. Jaket dan cidung kepala jadi andalannya untuk menahan udara dingin. Radio antena klasik yang tergantung di atap gerobak cokelat menjadi sumber hiburannya kala bosan menunggu pelanggan di tengah malam. Sementara itu, gerobaknya yang sudah uzur dan kian sukar dikenali warnanya jadi saksi perjalanan panjang Pak Tirung menjajakan nasi goreng andalannya.

Sepanjang jalan menuju titik pangkalan, biasanya Tirung mengetuk kentungan dengan sendok. Suara nyaring memecah keheningan malam di kawasan Komplek Stadion Mochtar, memanggil siapa saja yang sekiranya sedang lapar di tengah malam.

Jaket tebal, cidung kepala, dan rokok kretek menjadi sahabatnya melawan dingin malam.

Sekian menit berlalu, denting spatula dengan wajan seraya harum aroma khas tumisan bawang, telur, dan bumbu lainnya pun terdengar. Suaranya menyatu menghambur ke udara dan menggelitik lidah. 

Menu yang ditawarkan Pak Tirung tidak neko-neko: nasi goreng, mie rebus, dan mie goreng. Ia bisa saja menambah menunya seperti banyak kedai nasi goreng lain yang awam menawarkan capcay, kwetiau, nasi gila, atau lainnya, tapi ia memilih untuk tidak melakukannya. "Saya nggak mau mereka yang sudah lapar disuruh nunggu lebih lama karena pesanannya beda-beda," jawabnya santai.

Di tenda Pak Tirung malam itu, Prima memesan seporsi mie goreng. Porsinya cukup banyak, dengan irisan timun, kerupuk di atasnya, dan aroma khas ebi yang benar-benar menggoda, bahkan sejak masih dimasak di wajan. Aroma ebi inilah yang membuat nasi goreng Pak Tirung kian gurih nan istimewa!

Saat disantap, rasa pedas-manis langsung membungkus lidah. Acarnya yang cenderung asam menambah kesegaran dan menyempurnakannya. Puas! Satu porsinya murah saja, seperti seporsi pedagang lainnya, hanya Rp13.000.

Sepiring mie goreng bikinan Pak Tirung. Resepnya mirip dengan sajian nasi gorengnya, dengan tambahan taburan ebi yang membuat rasanya semakin istimewa.

Di Pemalang sendiri ada dua mazhab nasi goreng. Ada nasi goreng Pemalang yang hanya sedikit menggunakan sedikit kecap. Ada pula nasi goreng Jrakah, diambil dari nama desa yang melahirkan banyak pembuat nasi goreng khas itu. Nasi goreng Jrakah punya sentuhan kecap nan kuat. Saking tersohornya nasi goreng ini, desa yang terletak 15 km dari rumah Prima itu pun mendapat cap sebagai desa penghasil tukang nasi goreng kelas wahid di Pemalang. Bahkan sampai didirikan patung nasi goreng beserta gerobaknya di depan gapura desa.

Namun, apapun nasi goreng yang Anda santap di Pemalang, kedua mazhab ini punya ciri khas yang sama: nasi pera sebagai bahan wajib. Sama halnya dengana nasi goreng dari Tegal yang rasanya mungkin lebih familiar bagi banyak warga Ibukota (red: kebanyakan penjual nasi goreng di Jakarta berasal dari berbagai penjuru Tegal), dengan sentuhan kecap manis yang kuat. Nasi pera yang keras membuat nasi goreng yang disajikan tidak menggumpal dan membuat pengalaman makannya menjadi lebih nikmat. 

Di sektiar tempat mangkalnya, nama Tirung sudah cukup dikenal. Bagaimana lagi, sudah dua dekade ia setia, siap, sedia memadamkan rasa lapar warga di Komplek Stadion Mochtar kala tengah malam. Campuran ebi dalam resep Pak Tirung memang sering membuat banyak yang rindu untuk mencobanya lagi dan lagi.

Tangan Pak Tirung masih begitu lincah mengolah menu-menu sederhana yang sudah ia sajikan dan sempurnakan selama 20 tahun lebih perjalanannya menjadi tukang nasi goreng.

Namun, entah sampai berapa lama lagi Pak Tirung akan berjualan dan mengisi malam di Komplek Stadion Mochtar. Ia masih belum tahu apakah bisnisnya ini akan terus berlanjut saat ia sudah tak kuat lagi berjualan. 

Hampir semua anaknya sudah bekerja dan berkeluarga, bahkan hingga jauh ke Jakarta. Termasuk juga anak bungsunya yang masih ragu untuk melanjutkan. Ia juga tak tahu apakah iparnya bisa dan mampu meneruskan usaha sederhananya ini. Lantas prima kembali menginat serial Netflix yang menjadi alasan ia menulis cerita Pak Tirung seraya membatin, “Semoga kelak ia tahu bagaimana Bapaknya memanusiakan pelanggannya dengan kesederhanaan dan konsistensi rasa makanannya.”