Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Tradisi >

“Panggilan Hati” Para Pengantar Arwah

“Panggilan Hati” Para Pengantar Arwah

Teks & Foto oleh: Shuliya Ratanavara

“Panggilan Hati” Para Pengantar Arwah

Hidup adalah serangkaian hajatan. Sejak hari kelahiran sampai saat kita pulang ke haribaan-Nya. Dipandu oleh mereka yang memilih mendalami ritual tradisi sebagai jalan hidup. Entah karena himpitan situasi, atau murni panggilan hati. Tokong, misalnya. Para pengurus jenazah dan persembahyangan kematian etnis Cina. Merekalah para pengantar arwah almarhum agar bisa berpulang dalam keadaan selayak-layaknya.

Mengurus kematian tidak pernah mudah. Duka tidak boleh sampai membuat seluruh keluarga abai dengan hal-hal yang mesti disiapkan untuk mengantarkan almarhum yang berpulang dengan layak. Ada banyak urusannya. Peti mati, rumah duka, rumah-rumahan, foto serta pakaian bekas almarhum, lokasi pemakaman atau kremasi, hingga camilan dan konsumsi untuk sanak famili yang datang melayat. Khusus dalam tradisi etnis Cina di Indonesia, ada satu elemen lain yang cukup krusial: Tokong. Khususnya bagi para Cina Benteng di kawasan Cikarang, Bekasi, dan Tangerang.

Sosok inilah yang akan menjadi pemandu keluarga dalam mengurus jenazah hingga menyusun persembahyangan dan segala ritualnya. Sepanjang prosesi kematian, sampai kemudian jenazah dimakamkan atau kremasi, Tokong adalah sosok yang tidak kalah repotnya dengan tuan rumah. Biarpun upah mereka sering kali tak seberapa.

Kehadirannya mudah dikenali. Tokong biasanya merupakan laki-laki setengah baya dengan penampilan sederhana. Kaos polo atau oblong berpadu celana kain biasa terlihat melekat di badan mereka. Saat dinas, posisi mereka selalu stand by di samping meja sembahyang. Bangku plastik, kopi panas, dan rokok jadi teman setia di sela kesibukan mengatur giliran sembahyang tamu-tamu yang melayat. 

Ko Alay beserta istri dan ketiga anaknya. Bersama sang istri, ia mencari tambahan pendapatan dengan berjualan kue-kue basah. Sementara anaknya yang tertua, Andre (paling kiri), kini aktif di kelompok Barongsai Tepekong Tek Seng Bio.

Ko Alay salah satunya. Kulitnya gesang, selayaknya kebanyakan Cina Benteng. Usianya sudah menginjak 52 tahun. Selama itu pula ia tinggal menetap di Cikarang. Hampir separuhnya ia habiskan mengurusi persembahyangan. Baik untuk urusan mereka yang hidup maupun yang sudah mati. Sampai saat tulisan ini dibuat, ia adalah Tokong paling muda di Cikarang. Belum ada pula tanda-tanda generasi baru penerusnya.

Saya menemuinya di Cikarang, saat matahari sedang terik-teriknya. Rasanya seperti disorot enam matahari sekaligus. Rumah Ko Alay terletak di permukiman padat di bantaran rel kereta. Jemuran emping jengkol di atas rel mengiringi jalan kami menuju kediamannya. Tak jauh dari situ, berdiri Stasiun Cikarang baru. Penanda dibukanya akses lintasan KRL ke kota kecil ini sejak 2017 lalu. 

Baca Juga: Melepas Tubuh ke Tanah Bonokeling

Setelah melewati sisian rel saya sampai di kediamannya. Sambil lesehan di samping dipan Ko Alay bercerita tentang awal mula ia memilih jalan hidupnya itu. “Ya mungkin kalau udah panggilan mah, udah panggilan,” katanya.

Panggilan pula yang membuatnya menjadi pengurus Tepekong Tek Seng Bio selama 15 tahun. Sebelum akhirnya berpraktik sebagai Tokong secara serius pada 2010 lalu. Musababnya ia mengibaratkan, “Kalau kata makan mah udah kerasa dah, pahit-getirnya, manis-asemnya. Jadi koko pengin jelajahi usaha lain. Makanya jadi Tokong.” Kerja sebagai Tokong jadi pilihan. Toh ilmunya sudah ia timba sejak tahun 1980-an silam dari banyak pendahulunya.

Rel kereta yang jadi perbatasan area permukiman Ko Alay. Sejak 2017, jalur ini dilintasi KRL. Dampaknya membuat sebagian ruas rel tidak—atau jarang digunakan. Sehingga dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menjemur pakaian sampai emping jengkol.

Syarat utama seorang Tokong pastilah mesti memahami runut prosesi kematian dalam adat Cina. Termasuk jadwal mengganti hau pui atau suguhan makanan untuk almarhum. Pun makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh disuguhkan di meja sembahyang almarhum, atau dikonsumsi keluarga yang tengah berduka. Misalnya, makanan yang panjang seperti mi, bihun, atau kwetiau. Begitu pula dengan sayur atau buah yang tumbuhnya merambat. Konon, “Menurut petuah dulu—katanya—takut nanti baru selesai ngurus meninggal yang satu, udah ada lagi.”

Seorang Tokong juga harus sigap terhadap panggilan tugas. Dialah yang bertanggung jawab mengurus segala tetek bengek prosesi kematian. Jika almarhum meninggal di rumah, misalnya, maka tugas Tokong dimulai dari memandikan jenazah menggunakan arak putih. Setelahnya Tokong lah yang mesti sigap mengakomodasi tamu-tamu yang datang melayat dan hendak bersembahyang. Jangan sampai mereka kebingungan apalagi sembarangan melakukan adat. 

Selama lebih dari 10 tahun, Ko Alay bekerja sebagai pengurus Tepekong Tek Seng Bio. Dari sekadar bantu-bantu, hingga menjadi pengurus tetap dengan upah terakhir Rp600.000/bulan. 

Semua itu Tokong lakukan sampai jenazah almarhum dimakamkan atau kremasi. Paling tidak tiga hari lamanya. Termasuk mengurusi prosesi sembahyang di makam atau rumah penyimpanan abu. Setelah semua prosesi usai dan tamu-tamu berangsur pulang, barulah tuan rumah memberikan imbalan bagi Tokong yang bertugas. Jumlahnya tak pasti. Tergantung latar ekonomi keluarga yang berduka, hingga pertimbangan-pertimbangan lainnya. “Kalau Koko biasanya enggak mau nargetin. Oweh, enggak mau dianggap ini komersil. Soalnya mau sekaya apapun, namanya lagi duka mah tetep lagi duka, Neng,” kata Ko Alay.

Himpitan Situasi

Ia sendiri dalam sekali panggil biasa mendapat antara Rp300.000 - Rp800.000. Namun, plafon atas pendapatannya itu amat jarang dicapai. Upah yang tak seberapa, ditambah panggilan yang tak menentu, membuat Ko Alay memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Termasuk untuk membayar hutang-hutang. “Apan begini, orang kalau hidup enggak pake hutang mah kan bohong,” selorohnya seraya tertawa getir. Mendengar cerita Ko Alay, tebersit pemandangan area pertokoan dan rumah-rumah di kawasan Pasar Lama Cikarang yang kini banyak berhias spanduk tanda penyitaan. 

Baca Juga: Renungan Imlek: Semoga Kamu Jadi Kaya!

Maka di hari-hari sepi panggilan, bersama istri ia membuat kue-kue basah untuk diedarkan oleh penjual kue keliling. Jika sedang moncer, dalam sehari mereka bisa menjual hingga 300 mika kue dengan keuntungan Rp2.000 per mika. Namun penghasilan itu pun mesti diputar sebagian untuk memodali produksi kue di hari berikutnya. 

Mpek Kimcun di kediamannya. Seperti Ko Alay, kakek ini pun pernah menjajal bekerja sebagai pengurus kelenteng. Bedanya, ia tidak sampai menjadi pengurus tetap. Melainkan sebagai tenaga tambahan di saat-saat sembahyang besar.

Pekerjaan sampingan juga dijabani Mpek Kimcun, kakek berusia 64 tahun yang sudah menerima panggilan sebagai Tokong sejak 1980-an. Alih-alih kue, Mpek Kimcun membuka usaha membuat rumah-rumahan kertas yang kerap dibutuhkan untuk prosesi sembahyang besar. Utamanya sembahyang peringatan satu tahun kematian. Satu rumah-rumahan bisa dibanderol sekira Rp2,5 juta hingga Rp3,5 juta. Angka yang kedengarannya lumayan, tapi sebetulnya tetap tidak menjamin kecukupan hidup sehari-hari. 

Selain permintaan yang juga tak menentu, Mpek Kimcun juga hidup menanggung istri, cucu, anak, dan menantunya. Anak gadis semata wayangnya sudah tidak bekerja semenjak menikah. 

Saat sepi panggilan Tokong dan langka pesanan rumah-rumahan kertas, tak banyak yang dilakukan kakek itu. Kadang ia meraut bambu untuk bahan rumah-rumahan. Seringnya hari-hari ia habiskan dengan rebahan dan kongkow bersama keluarga, kerabat, sekaligus tetangganya.

Mau bagaimana lagi. Cikarang sejak dulu tak menawarkan banyak kesempatan. Di kota ini, khususnya di area tempat tinggal keduanya di sekitar Pasar Lama Cikarang—pilihan kerja bagi banyak orang terbatas pada: membuka toko, menjadi pegawai toko, atau mengurusi adat persembahyangan. Pilihan pertama menjadi sulit sebab kebanyakan masyarakat di area ini tak punya aliran kapital yang cukup untuk itu. Alhasil menjadi pegawai toko adalah pilihan yang banyak diambil. Termasuk oleh Ko Alay dan Mpek Kimcun di masa mudanya.

“Tapi kalau di toko pun kita dikasihnya [upah] harian. Kalau enggak dateng enggak dapet duit, kan. Kalau sehari kita enggak mencukupi keluarga kita, ya kita mendingan dagang kan. Sambil dagang kita sambil nunggu kesempatan yang lain. Siapa tahu ada panggilan [tugas Tokong] lain yang datang,” jelas Ko Alay enteng. 

Hal yang sama juga disampaikan Mpek Kimcun. Semasa muda, ia pernah menjabani berbagai pekerjaan. Dari membuat gelas dan piring di pabrik, sampai bekerja di percetakan di Bandung. Semua itu tak bertahan lama, karena lelah yang dirasa seperti tak setara dengan upah. Akhirnya ia memutusan menjadi Tokong. Setidaknya pekerjaan itu seperti sebuah “panggilan” seumur hidup untuk menjalankan adat tradisi yang merupakan identitas mereka. “Tokong pensiunnya nanti kalau udah Jit Bok (re: tutup peti) hahaha,” seloroh Mpek Kimcun enteng menanggapi segala ketidakpastian situasi dan komitmennya bekerja seumur hidup.