Home > Ini Indonesia > Tradisi >
Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar di Pulau Masela
Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar di Pulau Masela
Di Pulau Masela, Maluku Barat Daya, ada sebuah tradisi yang sudah lama hidup di tengah masyarakatnya. Tari Seka Besar bukan sekadar pertunjukan seni. Bagi masyarakat yang menghidupinya, tarian ini adalah bagian dari sejarah dan identitas mereka. Melakoninya adalah sebuah cara untuk menjaga dan meneruskan nilai-nilai yang telah ada sejak lama agar tetap hidup di setiap generasi.
Ketika saya tiba di Pulau Masela, Tari Seka Besar digelar untuk menyambut tetamu. Namun, sepanjang saya di sana, kian hari kian jelas: tarian ini menyimpan esensi yang lebih besar daripada sekadar tarian sambutan.
Di masa lalu, Tari Seka Besar dibawakan untuk mengantar para ksatria menuju medan perang. Ia dipercaya memberi keberanian dan perlindungan spiritual. Kini, ia tampil dalam berbagai acara: penyambutan tamu, pernikahan adat, hingga festival budaya. Namun, meski panggungnya bergeser, semangatnya tetap, yaitu untuk menjaga warisan nilai-nilai kebersamaan.
Kisah penggembala kambing yang terpukau
Bagi masyarakat Masela, Tari Seka Besar bukanlah sekadar gerak. Ia adalah cerita dan seperti banyak cerita rakyat, ia bermula dari sosok sederhana: seorang penggembala kambing bernama Kowjer Penaonde.
Dikisahkan, suatu hari saat menggembala di hutan Amukryene, seekor kambing miliknya hilang. Kowjer menyusuri jejaknya hingga ke tempat yang kini dikenal sebagai Pipnukra. Di sana, di bawah pohon beringin yang lebat, ia menyaksikan pemandangan ganjil: kambingnya bergabung dengan sekawanan lainnya. Mereka bergerak seperti menari, saling mendorong sambil mengeluarkan suara seirama.
Terpukau, Kowjer pun ikut bergerak, seperti tarian mereka, sembari menyanyikan melodi yang mengalun dalam benaknya. Dalam perjalanan pulang, ia terus menyanyi dan menari. Orang-orang kampung menertawakannya, menyebutnya neploa atau gila. Tapi Kowjer tahu, ia telah menemukan sesuatu.
Tari Seka Besar yang dipertunjukkan sebagai tradisi penyambutan tamu saat saya dan teman-teman peneliti lain tiba di Pulau Masela.
Hari demi hari, gerak dan lagu itu ia ulang. Hingga akhirnya, masyarakat sadar, Kowjer tidak kerasukan. Ia tengah mencipta—menghidupkan sesuatu yang lebih besar. Lagu itu ia beri judul "Pipyo Mkyalimyese Wullyo" atau “Lihatlah Betapa Indahnya Buluh Kambing Itu”.
Kata-kata yang menghidupkan gerak
Menurut para tetua adat yang saya temui di Balai Desa Masela, istilah "Seka Besar" tidak hanya merujuk pada ukuran atau kemegahan sebuah tarian. Ada lapisan makna yang hidup dalam kata-kata lokal yang beragam. Ada "ehe lawn" di mana "ehe" berarti tari dan "lawn" berarti besar. Ada juga "nyilai lewna", yang memiliki arti serupa: “nyilai” berarti tari, dan “lewna” berarti besar.
Namun, yang paling kuat resonansinya adalah "wneyseka". Istilah ini mengandung makna yang lebih dari sekadar deskripsi gerak. Ia adalah pengalaman kolektif yang menyatukan nyanyian, kegembiraan, dan gerakan kaki yang serentak. Wneyseka adalah gambaran dari kebersamaan yang tidak hanya terlihat, tapi juga terdengar dan dirasakan.
Para penari perempuan yang menarikkan bagian "npeya" dalam pertunjukan Tari Seka Besar.
Kata-kata ini bukan sekadar penamaan, melainkan penjaga filosofi. Mereka merekam cara masyarakat Masela melihat dunia. Bahwa menari bukanlah aktivitas individu, melainkan tindakan sosial dan menyanyi tidak hanya untuk menghibur, tetapi menghubungkan. Bahwa setiap langkah yang diambil bersama adalah gambaran hidup dari semangat gotong royong.
Seka adalah kebersamaan yang dilagukan, dijalani, dan ditarikan. Dalam kata-kata itu, terkandung semangat yang diwariskan dari generasi ke generasi, seperti gema yang tak henti beresonansi di kedalaman hutan dan laut Masela.
Dentum praya dalam setiap langkah
Tarian ini dibawakan oleh puluhan penari dalam balutan kain basta merah. Warna yang bukan sekadar pemanis visual; ia adalah pernyataan tentang keberanian, tentang kekompakan, dan tentang tekad yang diwariskan. Ketika para penari membentuk lingkaran, tidak ada satu pun kaki yang melangkah sendirian. Semua serempak, semua satu irama. Di dalam lingkaran itu, setiap gerak punya makna yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Masela.
Kali pertama kaki-kaki para penari bergerak, itu disebut "newtala". Gerakannya mencerminkan penyatuan manusia dengan alam. Newtala bukan sekadar gerak pembuka, melainkan cerminan dari keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya. Alam bukan hanya latar, tapi mitra. Dalam setiap tarikan nafas dan hentakan kaki, masyarakat Masela mengingatkan diri bahwa hidup harus dijalani mengikuti ritme alam.
Sekelompok laki-laki yang akan mempertunjukkan Tari Seka Besar.
Lalu, ada gerakan lembut yang ditarikan oleh para perempuan, disebut "npeya". Bukan hiasan ataupun pelengkap, kelembutan perempuan bagi masyarakat Masela dianggap lahir dari kekuatan emosional, semangat yang tidak begitu gamblang namun terasa. Npeya adalah bentuk kasih dan dukungan yang mengiringi para penempuh jalan di garis depan, semacam doa yang dilantunkan dalam bentuk gerakan.
Setelahnya, ada "nweuk", gerakan hentakan kaki yang penuh ketegasan. Simbol perlawanan terhadap tantangan hidup, keberanian untuk tetap berdiri meskipun diterpa angin kencang. Dalam setiap hentakan itu, tersimpan keteguhan hati orang Masela, bahwa hidup tidak dijalani dengan keraguan, tetapi dengan keyakinan yang ditarikan.
Di tengah lingkaran itu, penari utama, ayowane, berdiri sebagai penentu arah. Bukan hanya dalam komposisi tarian, tapi dalam filosofi yang dibawa. Seorang ayowane adalah haluan perahu dalam imajinasi masyarakat pesisir yang mengarungi gelombang kehidupan tanpa kehilangan arah. Ia adalah figur yang menegaskan bahwa dalam setiap kelompok, selalu ada pemimpin yang tak hanya berjalan di depan, tetapi juga membawa keyakinan bersama.
Semua ini bergerak dalam irama yang dipandu oleh dentuman praya—tifa besar yang menyerupai tabung panjang. Bunyi yang dihasilkannya menghentak dan dalam, menyerupai kokok ayam jantan pagi hari. Ia adalah tanda kesiapan, tanda awal hari, dan dalam tarian ini: tanda untuk mulai bergerak bersama. Praya bukan sekadar alat musik, ia adalah jantung tarian. Praya menentukan ritme, mengatur napas, dan menghidupkan energi kolektif penari.
Alat musik Tifa yang menjadi pengiring Tari Seka Besar.
Dalam hentakan praya, terkandung semangat baru—seperti fajar yang membelah malam dan membangkitkan kehidupan. Tidak ada Seka tanpa dentuman praya—tifa besar yang menyerupai tabung panjang. Bunyi yang dihasilkannya menghentak dan dalam, menyerupai kokok ayam jantan pagi hari. Tanda kesiapan, tanda awal hari, dan di sini: tanda untuk mulai menari.
Jejak yang tak habis ditapaki
Tari Seka Besar adalah ingatan kolektif yang terus dituturkan lewat sebuah koreografi yang kaya. Ia bukan sekadar tarian, tapi sejarah yang bernafas. Tentang alam yang mengilhami, tentang manusia yang menangkap dan menyuarakan, tentang komunitas yang terus menjaga.
Setiap langkah yang serempak bukan hanya bentuk artistik. Kesatuan gerak dan kekompakan para penari Seka Besar adalah pengingat bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri.
Selama praya masih berdentum, selama kaki masih saling menyambut dalam lingkaran, Tari Seka Besar akan tetap hidup… di Masela dan dalam setiap hati yang percaya pada kekuatan tradisi.