Home > Ini Indonesia >
Mbah Dali dan Sepenggal Potret Sejarah Delanggu
Mbah Dali dan Sepenggal Potret Sejarah Delanggu
Saya tidak mempunyai banyak pengalaman berbincang dengan tetua, terlebih mereka yang sudah melalui beragam zaman. Mbah Dali adalah tetua pertama yang saya kenal, yang lahir di masa penjajahan Jepang, mengalami era kemerdekaan, geger landhi (agresi militer Belanda), geger 65 (Gestapu), dan reformasi. Mbah Dali saat ini menekuni dunia pertanian sebagai petani. Sebelumnya, beliau pernah menjadi buruh pabrik karung goni Delanggu dan menjadi kusir di Pasar Delanggu.
Mbah Dali lahir dan tumbuh bersama Delanggu. Bertani sedari belia, sempat menjadi teknisi di pabrik karung goni; di usianya yang sudah lebih dari 80 tahun, Mbah Dali masih aktif dalam bertani dan kultur turunannya seperti berserikat dan menjalani ritualnya. Di kunjungan pertama sore itu, saya sama sekali tidak merencanakan perjumpaan dengan Mbah Dali—saya baru merencanakannya keesokan harinya.
Tidak disangka Mbah Dali justru turut berkunjung ke Sanggar Rojolele, sebuah entitas pelestari budaya tani di Delanggu yang saya hampiri. Saya langsung memperkenalkan diri lalu menjabat tangannya, setelahnya obrolan mengalir, membahas banyak hal termasuk apa yang sedang beliau lakukan sepagian tadi di sawah. Perangai beliau tampak sehat dan ceria, pendengaran beliau pun masih baik, malah sepertinya saya yang tidak bisa mendengar beliau dengan seksama lantaran suara serak lirihnya tersamar rintik hujan. Beliau tidak pandai berbahasa Indonesia, namun beliau lihai bercerita.
“Kulo dewe ora sekolah eh, nggih nek wawancara bahasa indonesia kurang luwes ngono lho. Nggratul-nggratul.” (Saya ngga sekolah, jadi kalau wawancara bahasa indonesia sedikit tidak lancar)
Mbah Dali di pintu air yang mengatur aliran air ke desanya. Dari cerita Mbah, pintu air ini dibuat atas jasa Pak Mantri. (Foto: Spektakel/Risna Anggaresa)
Dalam ingatan masa kecil Mbah Dali, bertani adalah sebuah warisan orang tua yang masih beliau pegang hingga kini. Perjalanan beliau menjadi petani hingga saat ini dimulai ketika remaja. Mbah Dali tidak tamat sekolah dasar yang pada waktu itu masih disebut Sekolah Rakyat. Yang beliau ingat, beliau diajak ayahnya ke sawah dan diajari teknik-teknik bertani dimulai dari nutu padi; sebuah proses pengolahan gabah menjadi beras dengan cara ditumbuk. Saat ini, di usia beliau sudah 84 tahun, Mbah Dali masih menghabiskan pagi dan petangnya di sawah untuk merawat apa yang beliau anggap warisan paling berharga dari orang tuanya.
Delanggu dari masa ke masa
Delanggu adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Satu jam perjalanan motor dari Kota Jogja, hampir satu jam perjalanan pula dari Kota Solo. Meskipun tergolong sebagai kecamatan, Delanggu memiliki wilayah yang cukup luas untuk disebut sebagai kota kecil. Terdapat alun-alun, pasar yang besar, jalanan Delanggu dihias dengan bangunan ruko dan rumah dengan ornamen gaya hindia-belanda. Menjelajahi kota ini punya kemiripan dengan daerah sekitar PG Madukismo di Yogyakarta, hanya saja aroma dan industri gula di kota ini sudah khatam sejak era pra-kemerdekaan.
Terletak di tengah jalur yang membelah Jogja dan Solo, Delanggu juga menjadi salah satu daerah yang oleh Belanda dimanfaatkan menjadi patok industri gula di Jawa Tengah. Delanggu sudah terkenal subur, berada di sebelah timur Gunung Merapi membuat tanah Delanggu mengandung banyak abu vulkanik. Kondisi perairan Delanggu melimpah, air tetap mengalir meskipun sedang di musim kemarau. Jalur distribusi barang juga mudah lantaran Delanggu dilalui jalur kereta Jogja - Solo.
Kota ini begitu banyak mengalami perubahan beserta dinamikanya. Pada eranya, ada belasan pabrik gula didirikan di Jawa Tengah termasuk di Delanggu. Kehadiran industri gula di Delanggu sudah ada jauh sebelum Suikerfabriek Delanggoe pada tahun 1917 ini turut mempengaruhi lanskap Delanggu. Belanda membangun infrastruktur, jalur irigasi, petak perkebunan tebu, hingga jalur-jalur kereta lori pengangkut tebu untuk mempermudah distribusi hasil bumi; yang saat ini turut mengubah tata ruang terutama jalan-jalan kecil di Delanggu.
Foto-foto keluarga Mbah Dali yang dipajang di atas pintu kamar. (Foto: Spektakel/Risna Anggaresa)
Gedung Societet pernah dibangun di Delanggu, meskipun peninggalan sisa gedung tersebut masih belum ditemukan bekasnya. Hanya saja, krisis yang dialami dunia pada era 1920-an turut mempengaruhi perekonomian Belanda pada masa itu. Pabrik gula ditutup, dan akhirnya diganti menjadi pabrik goni yang menjadi salah satu pabrik goni yang memproduksi goni terbesar di Indonesia pada masa itu — yang pada akhirnya tutup juga. Akhirnya Delanggu hingga kini kembali menjadi salah satu lumbung padi di area Jawa Tengah.
Mbah Dali adalah salah satu dari sedikit sepuh yang menjadi bagian dari hampir setiap fase-fase Delanggu. Menyaksikan perubahan wajah Delanggu yang ceritanya juga tersimpan dalam kerut-kerut wajah si mbah yang lincah ini.
Salah satu babak dalam cerita Delanggu yang dituturkan oleh Mbah Dali (yang diceritakan cukup berulang oleh beliau), ialah Tragedi Kentong Gobyok—babak yang cukup mencekam dalam sejarah Delanggu.
“Lanang-lanang niku do dibedhili, ono sing dibeleh nggih-an.” (para laki-laki ditembak, ada yang digorok)
Mbah Dali tidak secara eksplisit menyebutkan tragedi yang beliau rasakan pada waktu itu dengan sebutan tragedi kentong gobyok. Sebagaimana penyintas tragedi, beliau hanya merekam apa yang mereka lihat dan rasakan versi mereka, tanpa mempedulikan penamaan.
“Pithik kalih nyowo menungso larangan pithik. Pithik dikawin, menungso kok dijupuk dipateni.” (Nyawa ayam sama nyawa orang lebih mahal ayam. Ayam dibudidayakan, manusia kok diambil (diculik), lalu dibunuh)
"Iki ki lawas ning landep yo mas_" (Ini sudah lama, tapi tajam ya, Mas), ujar Mbah Dali ketika menunjukkan perkakasnya. (Foto: Spektakel/Risna Anggaresa)
Tragedi ini merupakan salah satu rangkaian peristiwa Gestapu, yang terjadi di wilayah Klaten. Tragedi Kentong Gobyok adalah sebuah tragedi kekerasan yang terjadi di wilayah Klaten dan Delanggu pada akhir Oktober 1965. Peristiwa ini dinamai demikian lantaran bunyi kentongan yang dipukul terus-menerus sebagai tanda adanya kegemparan atau bahaya berkumandang di sepanjang jalan Jogja-Solo, mulai dari wilayah barat Klaten (Prambanan) hingga wilayah timur Klaten (Delanggu). Salah satu penyebab utamanya adalah ketegangan politik pasca Gestapu yang menjadikan rivalitas PKI dan PNI memuncak di Klaten dan sekitarnya.
Pada waktu itu, Mbah Dali masih tergabung dalam Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia yang merupakan salah satu organisasi bentukan PKI) memiliki risiko tinggi untuk menjadi korban penculikan. Untung saja beliau bersama mayoritas laki-laki di desanya mencari aman di rumah Pak Mantri — orang yang pada waktu itu memiliki pengaruh sehingga tentara dan orang-orang yang anti dengan PKI menyeganinya. Setiap malam selama tragedi ini, laki-laki di desanya bersuaka di rumah Pak Mantri. Mereka datang membawa makanan ringan dan minuman, berjaga-jaga ataupun merehatkan diri, dan baru kembali ke rumah masing-masing ketika fajar sudah tiba.
“Setunggal RW niku nglindunge ting mas kulo. Maghrib niku ngumpul. Coro dene ndelikke nyowo, wonten tiyang ngarah badhe mundhut sinten, adepan kalih mas kulo.” (satu RW berlindung di Pak Mantri, maghrib berkumpul. Begitulah caranya menyelamatkan nyawa, ada yang mau mencari - untuk diculik - orang, harus berhadapan dengan Pak Mantri)
Pak Mantri yang Mbah Dali ceritakan bukanlah mantri dalam artian dokter, namun Pak Mantri ini adalah pekerja di dinas pengairan yang bertugas menjaga keberlangsungan aliran air di kawasan Delanggu. Mbah Dali lebih sering memanggilnya “mas kulo”. Kehadiran peran Pak Mantri yang masih bisa dirasakan masyarakat hingga saat ini adalah beberapa gejlig atau pintu air yang berfungsi mengalirkan air dari sungai-sungai utama di Delanggu ke persawahan melalui parit-parit berukuran lebih kecil.
Mbah Dali menunjukkan foto beliau dan rekannya, bersama anggota DPR. (Foto: Spektakel/Risna Anggaresa)
“Daerah mriki pengairane sae sedoyo. Lajengan niku alur pengairan saking inggil niku sekeco, sakniki sampun kangge bangunan. Nanging nggih tau pengairan e kurang.”(Daerah ini pengairannya bagus semua. Alur pengairan dari atas bagus, (meskipun) sekarang sudah jadi bangunan. Tetapi juga pernah (kejadian) alirannya kurang)
Sawah-sawah yang ada di desa Mbah Dali memperoleh debit air dari sungai besar di sebelah Barat. Aliran air ini dialirkan melalui terowongan yang cukup dalam yang dibangun sejak zaman Belanda. Terowongan ini sempat ambrol dikarenakan sumbatan sampah di dalam terowongan, yang menyebabkan debit air menjadi sangat kecil. Mbah Dali dan Mas Eksan dari Sanggar Rojolele-lah yang mengusahakan revitalisasi ke pemerintah Jawa Tengah dan berhasil. Ketika berkunjung, saya diajak Mbah Dali ke terowongan ini. Berboncengan sepeda motor, saya pun berkesempatan untuk melihat salah satu legacy yang diwariskan oleh Pak Mantri.
“Riyin niku mbah Mantri le mbangun.” (Dulu ini yang membangun Pak Mantri), tutur Mbah Dali sambil menunjuk terowongan sedalam 3 meteran di bawah saya.
Diberkahinya usia panjang kepada sesepuh desa saat ini adalah berkat perlindungan dari Pak Mantri. Namun bukan berarti bilangan masyarakat tetap utuh, tragedi itu menyebabkan desa tempat Mbah Dali tinggal harus melanjutkan kehidupan sehari-hari tanpa perangkat desa. Di akhir usianya, Mbah Dali adalah salah satu orang yang turut merawat Pak Mantri sampai akhirnya Pak Mantri menutup usia.
“Wetan niki, nganti sakniki. Punggowone telas, dipejahi ting Klaten.” (Sebelah timur ini (timur Sanggar), sampai sekarang (tidak ketemu mayatnya). Perangkat desa habis, dibunuhi di Klaten). “Geger gestapu niki, jan ngeri tenan.” (Geger gestapu ini, benar-benar ngeri), tambahnya.
Babak-babak Kehidupan Mbah Dali
Mbah Dali lahir dan hidup hanya di Delanggu. Rumah yang Mbah Dali tempati saat ini adalah rumah yang beliau bangun dengan tangannya sendiri dengan bantuan istrinya. Mbah Dali menikah dengan gadis desa tempat beliau tinggal di usia 25 tahun, beberapa bulan sebelum peristiwa Gestapu.
Mbah Dali di ruang tamu rumahnya. (Foto: Spektakel/Risna Anggaresa)
“Rumiyin ting ler, nggene tiyang sepuh kulo. Terus kulo sampun rabi, terus bapak kulo ken milih ning kene opo lor, Man, kidul no pak, pinggir dalan.” (Dulu di sebelah utara, di rumah orang tua. Lalu setelah menikah, bapak saya menawarkan mau di sini atau di utara, Man (Mbah Dali). Selatan dong pak, di pinggir jalan)
Setiap hari, Mbah Dali merangkai batu bata yang beliau cetak sendiri yang perlahan membentuk rumahnya. Kegiatan itu beliau lakukan selepas bekerja di pabrik goni yang mana karirnya terpaksa berhenti lantaran ketegangan politik antara PKI dan PNI pada waktu itu menyebabkan seluruh pegawai pabrik untuk mendapat cap dari ormas/orpol yang menjadi bukti ketidakterlibatannya dengan PKI. Mbah Dali yang tergabung dalam Sarbupri secara otomatis tidak memperoleh cap dari PNI, sehingga Mbah Dali pun mengalami pemutusan hubungan kerja.
“Lha rumiyin kulo gabung Sarbupri, mboten entuk cap saking PNI, dadose nggih ditokke saking pabrik.” (Dulu saya gabung Sarbupri, tidak dapat cap dari PNI, jadinya dikeluarkan dari pabrik)
Setelah berakhir karirnya di pabrik goni, Mbah Dali menjalani beragam profesi selain bertani. Salah satu profesi yang pernah beliau tekuni adalah menjadi kusir yang biasa ngetem di perempatan Pasar Delanggu. Ada salah satu kisah dari Mbah Dali yang mana beliau pernah turut menghadiri acara perkumpulan kusir yang diadakan di Wonogiri, bersama rekannya yang sama-sama pecatan pabrik goni. Selain itu Mbah Dali juga menjadi pemberi sewa traktor dan penggali kubur hingga saat ini.
Motor Supra lama dan sabit yang terawat. Pusaka yang selalu Mbah Dali bawa ketika mengurus sawah. (Foto: Spektakel/Risna Anggaresa)
Menyaksikan Pasang-Surut Beras Rojolele
Salah satu momen di masa lalu yang membahagiakan Mbah Dali adalah menonton klonengan (sebutan lainnya : klenengan). Klenengan adalah kesenian rakyat berbasis gamelan, hanya saja disajikan dengan format yang lebih luwes dan informal, yang mana tidak menjadikan gamelan itu sebagai backsound pengiring wayang, namun justru musik itulah yang menjadi pertunjukannya. Pagelaran ini adalah salah satu hiburan rakyat favorit Mbah Dali, biasa diadakan di Lapangan Merdeka, sebuah alun-alun kecil di area depan pabrik gula Delanggu. Klenengan ini adalah salah satu acara hiburan yang sering diadakan oleh Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat).
“Pinten mbah panggunge? Gangsal?”, berapa mbah jumlah panggungnya? Lima? tanyaku
“Walah kok gangsal, riyin panggung niku sak lapangan kebak, Mas.” (Walah kok cuma lima, dulu satu lapangan penuh panggung) tutur beliau.
Pecahnya Gestapu adalah akhir cerita dari hiburan rakyat yang dinikmati Mbah Dali itu, namun bukan hanya seni yang menghilang, beras Rojolele yang dulu menjadi primadona tanah Delanggu juga turut sirna dari sawah-sawah dan lumbung warga. Di balik keheningan yang ditinggalkan oleh represi politik, panca usaha tani menggusur identitas pangan lokal demi efisiensi yang mengatasnamakan swasembada pangan. Mbah Dali menyaksikan bagaimana beras yang dulu beliau tanam dengan penuh rasa bangga diganti oleh benih-benih baru. Rojolele pun hanya menjadi roman yang diceritakan ketika nama Delanggu disebutkan.
Salah satu bangunan bekas peninggalan pabrik karung goni yang ikonik di Delanggu. (Foto: Spektakel/Risna Anggaresa)
Memang, sejarah tak selalu bergerak linier. Di 2019, Mbah Dali bersama anak-anak muda dari Sanggar Rojolele berinisiasi untuk membangkitkan kembali si putih harum kebanggaan Delanggu itu. Melalui banyak cara yang melibatkan banyak hal termasuk menarik peran pemerintah terkait, akhirnya Rojolele kembali ditanam di sawah-sawah Delanggu. Bagi saya sendiri, kembalinya beras ini sama artinya dengan mendekatkan diri ke perjumpaan dengan tokoh dalam cerita rakyat. Bagi Mbah Dali tentu lebih dari itu, kembalinya beras Rojolele sama saja dengan mengembalikan barang berharga yang dulu sempat dirampas. Sebuah warisan yang kini kembali ke pangkuan.
“Coro dene Rojolele niku warisan mbah bapak kulo.” (Rojolele itu warisan leluhur saya)
Dunia bagi Mbah Dali mungkin hanya sekecil Delanggu, namun Mbah Dali mengenal baik buruk yang pernah terjadi di dunianya. Di rumah Mbah Dali, saya ditunjukkan banyak foto Mbah Dali, keluarganya, serta Mbah Dali dalam beragam kesempatan bersama orang-orang yang Mbah Dali ingat. Mbah Dali bahkan mengingat betul anggota DPR yang berfoto bersamanya yang kemudian dijadikan inset foto di dalam kalender. Ingatan beliau mungkin tidak banyak tertuang dalam buku sejarah, namun apa yang beliau ceritakan tidak pernah benar-benar meninggalkan Delanggu