Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia >

Perjalanan Megie Prawiro Keliling Indonesia: Datang, Lihat, Buktikan

Perjalanan Megie Prawiro Keliling Indonesia: Datang, Lihat, Buktikan

Dunia tidak selebar daun kelor, maka Megie Prawiro memutuskan untuk memanaskan motor Astrea Grand miliknya dan memulai perjalanan keliling Indonesia. Misinya satu: membuktikan Indonesia yang katanya beragam, dan menilik seberapa beragamnya kita.

Sudah lewat 20 menit dari jadwal kami bertemu di jaringan internet. Selama itu desktop laptop menampilkan tampilan Zoom dengan saya sebagai satu-satunya partisipan. Hingga penanda peserta lain muncul. “Halo Bang Megie,” sapa saya kepada Megie Prawiro. Ia adalah teman berbincang saya malam itu. Tidak ada balasan. Dari kualitas video yang pecah-pecah saya melihat mulut Bang Megie bergerak—tanpa suara. Aduh!

Keputusan untuk berbincang lewat video call dengan beliau memang sebuah perjudian. Saat percakapan kami terjadi, laki-laki berusia 29 tahun itu sedang berada di Padua Mendalam, Kapuas Hulu. Di sana, signal timbul tenggelam. Oleh karenanya, suara video call kami tidak tersambung sempurna. Rencana rekaman video call malam itu akhirnya batal.

Dari sambungan video call kami yang cuma sebentar, terlihat sosok Megie yang kurus sekaligus berotot. Lean, kalau kata orang-orang kelas menengah Ibu Kota. Bentuk tubuh yang akrab kita lihat dimiliki para pekerja kasar; entah itu kuli panggul atau kuli bangunan. Rambutnya kini dipotong cepak pendek, kontras dengan rambut gondrong nan mengembang yang menghiasi kepalanya saat memulai perjalanan ini.

Motor Astrea Grand yang menemani perjalanan Megie Prawiro keliling Indonesia sejak Januari 2018. Kendaraan yang satu ini menjadi andalan karena kepraktisan dan kelincahannya. Meskipun sering ngadat di tengah jalan.

Percakapan kami lantas tetap berlanjut via sambungan telepon WhatsApp. Untung saja. Saya tidak tahu apakah tarif interlokal masih berlaku saat ini, tetapi saya punya trauma cukup dalam tentang itu. Dulu, saya pernah menghabiskan pulsa 200.000 saat asyik berbincang dengan sahabat lama di Pontianak lewat sambungan telepon genggam. Tentu saja berujung omelan panjang dari kedua orangtua. 

Kembali lagi ke cerita Bang Megie. Saya mendengar cerita tentangnya dari kolega saya lewat unggahan Instagram Info Karawang (@infokrw). Sudah sejak 1 Januari 2018 ia berkeliling Indonesia mengendarai motor bebek Astrea Grand miliknya. Tujuannya ia ingin membuktikan apa yang ditulis di buku-buku sejarah tentang bangsanya ini.

“Saya kepo dengan sejarah Indonesia. Jadi saya ingin belajar lagi, kalau dari buku saya kurang yakin,” kata Megie di teras kediamannya saat itu. Suaranya beradu dengan percakapan rekan satu rumahnya di sana. 

“Saya kurang [update] dengan teknologi, untuk bisa baca-baca begitu. Lebih baik saya buktikan dengan mata kepala saya sendiri,” tegasnya.

Baca Juga: Menjadi Nusantara

Sebagai seorang Buddhis, mendengar itu saya teringat dengan terma ‘ehipassiko’. Artinya datang, lihat, dan buktikan. Prinsipnya adalah supaya kita mengalami segala sesuatu sendiri sebelum membuat simpulan atau menjadikannya pegangan hidup. Bahwa iman datang dari pemikiran, pengalaman, dan pembuktian—bukan sekadar dari katanya, apalagi pokoknya.

Bhinekka Tunggal Ika adalah bagian iman kita sebagai orang Indonesia: Indonesia yang beragam rupa, tetapi tetap satu jua. Akan tetapi ada pertanyaan yang terus menggelayut di kepala Megie. Pertama, “Apa iya?” Kedua, “Seberagam apa?”

Perjalanannya berkeliling Nusantara ia mulai dari Pulau Sumatera. Pendapatannya dari kerja sebagai buruh pabrik, tukang cuci mobil, dan segala pekerjaan kasar lainnya ia kumpulkan sebagai modal. Sekira Rp1 juta di tangan uang miliknya, ditambah tambahan dana dari sanak keluarga, serta doa yang tak putus dari orangtua jadi modalnya berangkat memulai perjalanan. Pesan ibunya satu: solat jangan ditinggal.

Kelincahan motor Astrea Grand miliknya terbukti ketika ia mesti meneruskan perjalanan ke area-area di pelosok Kalimantan.

Tujuan pertamanya adalah rumah Sang Kakek di Medan. “Saya satu-satunya cucu yang pulang ke sana,” katanya. Tidak heran, logat Batak Bang Megie di telepon memang terdengar kental. Kontras dengan kebanyakan pemuda Karawang yang biasa berlogat Sunda kasar. “Hahaha, ya kalau dibilang Batak mungkin ada Batak-nya. Tapi kami sekeluarga enggak pernah tahu marganya apa. Katanya Batubara, tapi enggak tahu juga. Karena kakek masih ada Minangnya,” jelasnya.

Ketika melancong ke rumah kakeknya pun ia tak sempat bertanya macam-macam soal asal-usul leluhur. Waktu yang ia punya dimanfaatkan sebanyak-banyaknya bersilaturahmi dan berbincang dengan keluarga di Medan. 

Setelah menyusuri Sumatera, perjalanannya berlanjut mengitari Jawa-Bali, sebelum akhirnya ke Kalimantan. Dua tahun berlalu, 18 provinsi ia jamah sudah. Sepanjang itu, ia membuktikan bahwa apa yang selama ini ia baca dan ia dengar tentang Indonesia tidak sepenuhnya benar. Keberagaman Suku Dayak, misalnya. “Dulu, sebelumnya saya hanya tahu Dayak, ya Dayak saja. Namun setelah keluar dari Karawang, ternyata [Dayak] ada berbagai macam,” katanya.

Megie bersama Veronica Buaa, perempuan suku Dayak Kayan, yang bercerita tentang makna tato bagi sukunya. Bahwa itu adalah sumber cahaya bagi jiwa mereka saat meninggal nanti.

Pengetahuan-pengetahuan barunya mengenai keberagaman Indonesia lantas menjadi obrolannya dengan sanak keluarga di Karawang. Sebagai putra bungsu, ia masih rajin berbagi kabar dan cerita kepada orang rumah. Di saat-saat itulah, ia lantas becermin kembali pada asal-usul leluhurnya. “Bahkan ketika saya belajar suku Dayak, saya juga jadi belajar tentang suku saya sendiri. Sama juga ternyata, kan Batak juga ada banyak,” jelasnya.

Dua Modal yang Niscaya

Dalam melakukan perjalanan keliling Nusantara ini, ada dua modal yang niscaya dibutuhkan di seantero negeri: uang dan adat kesopanan. Pengalaman Bang Megie membuktikan, bahwa terutama yang belakangan akan berpengaruh terhadap yang pertama. 

Dengan modal seada-adanya, bukan sekali dua pemuda Karawang kelahiran 1992 ini kehabisan uang di tengah jalan. “Kayak di Bali [saya] kehabisan duit, atau di Pontianak kehabisan duit,” katanya mengenang salah dua pengalamannya mesti menunda perjalanan lantaran habis modal. Saat itu terjadi, maka Megie akan senantiasa mencari pekerjaan di kota manapun ia berada.

Baca Juga: Potong Telinga, Putusnya Identitas Suku Dayak

Apalagi uang Megie bukan hanya habis untuk biaya makan dan tempat tinggal. Melainkan juga untuk bensin dan perawatan motornya. Di saat-saat kepepet, apa yang bisa ia jual akan dijual terlebih dulu. Paling tidak dua kali ponselnya dijual jadi dana darurat untuk memperbaiki motornya yang ngadat di tengah jalan—kian mengempiskan dompetnya yang sudah tipis.

Sepanjang perjalanan, semua barang yang ia punya diangkut di motor Astrea Grand miliknya. Saat barang yang dibawa dirasa terlalu banyak, satu per satu barang tersebut dikirim balik ke rumah di Karawang.

Saat kehabisan modal, insting pertamanya adalah mencari tempat pembangunan untuk melamar sebagai kulinya. Terjebak di kota asing ditambah himpitan kebutuhan bertahan hidup membuat adat sopan santun jadi ujung tombaknya. Kalau katanya, sopan dalam berucap, santun dalam berperilaku, maka niscaya ia akan selamat. Terbukti, pembawaan dirinya tidak pernah gagal mempertemukan ia dengan keluarga, sahabat, hingga sambungan hidup yang satu ke yang lain. 

“Saya datang baik-baik. Ya, alhamdulillah. Setelah diniatkan baik, saya jelasin niat saya, datang dari mana, mau ke mana, bahwa saya sekarang sedang kehabisan uang. Ya diterima juga,” katanya bercerita tentang bagaimana mencari nafkah di tanah yang asing.

Jurus Selamat di Tanah Bertuah

Jalanan selalu menyimpan keabsurdan. Setelah mengarungi belasan provinsi Indonesia lewat jalur darat, seorang Megie Prawiro tentu sudah khatam dengan ragam rupa cerita jalanan. Tapi ada serangkaian peristiwa yang sampai kini masih meninggalkan kesan baginya.

Kejadiannya ketika ia berada di Saparan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Saat itu ia sedang bekerja di proyek pembangunan sekolah dasar. Tidak ada listrik, tidak ada signal, dan tidak ada akses yang memadai. Bahkan mes untuk para kuli pun berada jauh sekali dari permukiman warga. “Saya kerja itu [berangkatnya] bisa 2 jam. Kalau hujan juga tidak bisa ke situ. Di situ saya menemukan banyak hal-hal aneh hahaha,” kenangnya. 

Megie punya kesan khusus saat tiba di pos-pos batas lintas negara Indonesia. Selama perjalanannya, ia sudah mengunjungi lima pos tersebut. Setiap kali, ia selalu mengabadikan momen tersebut.

Tidak hanya melihat, Megie juga pernah diganggu. Motornya dibikin mati oleh lelembut yang usil. “Saya kencingin, terus nyala lagi hahaha,” ujarnya bangga. Itu memang bukan kali pertama ia “diganggu” di tengah jalan. Sebelumnya ia pernah mengalami hal serupa kala melewati Alas Purwo, Banyuwangi. 

Untungnya, waktu itu di sana ada signal seluler sehingga ia bisa menelepon kawan untuk meminta solusi. Kawan itulah yang memberitahukan metode mengencingi motor mogok di daerah angker. “Makanya di motor saya enggak ada lafal Al-Qur’an, supaya bisa dikencingi,” lanjutnya.

Baca Juga: Konon Katanya Seni Budaya Itu Penting

Jangan salah, bukan berarti Megie tidak percaya kepada lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seperti pesan sang ibu, ibadahnya tidak pernah putus. Baginya menjaga wudu adalah salah satu caranya mencari keselamatan di jalan yang serba tidak pasti. “Makanya saya selalu berpesan di [kanal] YouTube saya untuk memperbanyak selawat,” ujar Megie.

Kini Megie masih tertahan di Padua Mendalam. Sejak pandemi tahun lalu, perjalanannya jadi tertunda. Pengetatan di mana-mana, menyulitkan pergerakan. Target terdekatnya adalah menyambangi area hulu Sungai Kapuas. Baru setelahnya ia melanjutkan perjalanan ke provinsi lain di Kalimantan. Setelah selesai menjelajah Kalimantan, Megie berencana memanaskan motornya untuk berkeliling Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, dan terus ke Papua sebelum pulang ke rumah.

Perjalanan berkeliling Indonesia membawanya menjumpai orang-orang dan cerita baru. Banyak di antaranya ia bagikan lewat kanal-kanal media sosial di Instagram dan YouTube. 

Selama melakukan perjalanan ini, kekayaan Indonesia bukan lagi sekadar pengetahuan, melainkan pemahaman. Ia melihat dan mengalami sendiri betapa banyak suku, bahasa, dan etnis yang ada di Nusantara. “Tetapi itu tidak ditimbulkan. Kayak Dayak ini adatnya banyak, budayanya banyak. Tapi kebanyakan kita enggak tahu. Contoh lain ya Karawang, ini adalah kabupaten yang menjadi saksi kemerdekaan RI. Tetapi banyak anak muda itu tidak mengetahui kemerdekaan Indonesia itu di mana,” kata Megie tegas.

Jalan tahun ketiga penjelajahan Megie keliling Indonesia, belum separuhnya pun ia sambangi. Tapi tak mengapa untuk pemuda ini. Fokusnya bukan untuk menyelesaikan perjalanan, tetapi menghidupinya. Kota demi kota, kecamatan demi kecamatan ia datangi. Keterbatasannya membuat setiap kedatangan melampaui sekadar kunjungan. Ada kewajiban baginya untuk turut menjajal hidup di sana.

“Panutan saya itu Om Lilik [Gunawan] yang ke Mekkah naik motor,” jelasnya. Suatu hari, ketika ia sudah tuntas menjelajah Indonesia, Mekkah adalah perjalanan berikutnya. Dari kota ke kota, negara ke negara, hari demi hari akan ia jalani hingga sampai di Tanah nan Suci. 

 
Ikuti perjalanan Megie Prawiro di kanal YouTube pribadinya Bg Megie.