Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Situs >

Bertemu Musatafa dari Jalan Jebres, Si Generasi Ketiga Cukur Madura di Surakarta

Bertemu Musatafa dari Jalan Jebres, Si Generasi Ketiga Cukur Madura di Surakarta

Warga Ibukota mungkin lebih familiar dengan tukang cukur asal Garut dan Tasikmalaya. Tapi ada pula satu mazhab percukuran dari Madura. Kontributor kami Primagung Dary Riliananda bertemu dengan salah seorang dari mereka di Jalan Jebres, Surakarta.

Memotret bagi Prima adalah perihal menangkap cerita alih-alih sekadar gambar yang bagus anan aesthetic. Maka baginya ide memotret bisa yang ringan-ringan saja, tak jarang malah impulsif. Di mana ia menemukan cerita, di situ ia akan memotret. Termasuk saat ia berjumpa dengan Mustofa, generasi ketiga Cukur Madura di Jalan Jebres, Surakarta.

Di sela-sela penugasan motret di daerah Surakarta, laki-laki asal Pemalang ini berkeliling kota dengan kamera yang selalu siap sedia di dalam genggaman, ia mulai memotret apa saja yang menarik perhatiannya. Sampai pandangannya tertumbuk ke kios cukur rambut sederhana saat berada di Jalan Jebres. 

Kios cukur rambut milik Mustofa di Jalan Jebres yang sudah bertahan dua generasi sejak zaman ayahnya dulu. Kini Mustofa beserta istri dan anaknya juga tinggal di bagian belakang kios.

Selain Garut dan Tasikmalaya, Madura juga jadi salah satu daerah penghasil banyak tukang cukur ciamik di Indonesia. Malah, sepertinya sejarah Cukur Madura sudah dimulai lebih awal, sekira lebih beberada abad silam silam. Konon, diaspora Orang Madura sebagai sebagai tukang cukur rambut bermula dari migrasi para penduduk saat periode konflik Trunojoyo dan Amangkurat II pada 1677. Bukti foto sejarah panjang Cukur Madura pun yang terlihat dari arsip foto yang diambil pada 1911 yang tersimpan di Leiden, Belanda.

Sementara Orang Garut banyak merantau saat periode Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pada awalnya, tukang cukur asal Garut banyak merambah ke Jakarta. Sementara tukang cukur asal Madura banyak berada di Surabaya. Soal pangkas rambut jalanan, biasanya orang-orang mengenal Garut dan Tasik. 

Toh kini semuanya sudah semakin menyebar dan bercampur baur. Tentang sejarah awal mula persebaran mereka di perantauan pun entah masih ada dalam ingatan atau tidak. Biasanya, kini perantauan ke kota-kota besar berjalan pada basis “ikut saudara” hingga kemudian membentuk ekonomi-ekonomi primodial di banyak kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

Antrian pelanggan di kios cukur Mustofa. Saat tiba gilirannya, tangan Mustofa cekatan memangkas rambut pelanggannya dengan ragam model yang berbeda.

Mustofa misalnya yang akhirnya menjadi tukang cukur madura karena ikut kakek dan ayahnya sedari remaja. Tak ada alasan yang rumit bagi Mustofa, yang ia tahu baginya kegiatan memangkas rambut dengan ragam gaya terlihat begitu menyenangkan dan memuaskan.

Menurut taksiran Prima, Mustofa berusia sekitar 30-an dan ia sudah mulai belajar mencukur rambut sejak dua dekade lalu. Dari niat membantu kakek dan ayahnya, ia justru menemukan kecintaan profesi baru. Sejak saat itulah ia berpikir untuk meneruskan saja usaha milik keluarganya itu.  

Sambil Mustofa larut dalam aktivitas kesukaannya, mata Prima dan lensa kameranya menangkap sudut kios yang dicat serba biru. Lapaknya sederhana, tidak luas dan cenderung memanjang. Tembok-tembok yang dicat dengan satu warna memberi kesan yang datar. Dan seperti banyak kios pangkas rambut jalanan pada umumnya, deretan poster dengan beragam model gaya rambut dari yang jadul hingga yang paling trendi menghiasi dinding-dinding kios.

Biarpun kiosnya sederhana, tapi kemampuan Mustofa boleh diadu. Referensinya pun terus terupdate. Mulai dari gaya rambut klasik hingga model-model terkini terpampang di dinding untuk dipilih pelanggan sebagai referensi.

Untuk menggunakan jasa cukur Mustofa, Anda cukup merogoh kocek Rp10.000 saja. Tarif itu ia pukul rata untuk anak-anak maupun orang dewasa. Tarif ini tentu berbeda jauh dengan tarif cukur jalanan di Jakarta yang mencapai Rp25.000. Apalagi jika dibandingkan dengan kios-kios yang melabeli diri dengan embel-embel ‘barbershop’.

Terkait dengan kios-kios modern yang terakhir disebut ini, Mustofa tak ambil pusing. Persaingan dari mereka, tak pernah ia persoalkan. Baginya, masing-masing sudah punya jalan rezekinya sendiri. Dirinya cukup mengusahakan jalan itu dengan caya yang baik. 

Alatnya boleh sederhana, tapi kepiawaiannya hasil latihan sejak remaja membuat Mustofa punya deretan pelanggan yang setia memakai jasanya.

Sebelum pindah ke Jalan Jebres, Mustofa dan sang ayah sempat melapak di sebuah kios di sekitaran Keraton Solo. Sayang punya sayang, biaya sewa terus meningkat dan jadi tidak bersahabat dengan pendapatan. Maka ia pun berpindah sedikit jauh ke kiosnya sekarang di Jalan Jebres.

Di kios ini pula, Mustofa hidup bersama istri dan satu anaknya yang masih balita. Tentu Mustofa belum sampai situ memikirkan apakah usahanya akan diturunkan pada anaknya atau tidak. Usianya masih muda, badannya masih gagah, perjalanannya masih panjang. Tapi seperti kakeknya yang menurunkan usaha itu pada ayahnya, begitu pula ayahnya pada Mustofa, ada juga sedikit harap kalau kiosnya akan diteruskan anak atau sanak keluarganya suatu kelak.