Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Situs >

Cerita dari Toko Tembakau Tertua di Purbalingga

Cerita dari Toko Tembakau Tertua di Purbalingga

Tembakau asal Purbalingga memang tersohor sebagai bahan pembuatan cerutu kualitet tinggi. Di luar itu, industri tembakau yang moncer juga menumbuhkan budaya ngudud yang khas di kalangan masyarakat umum. Kegiatan ini bukan sekadar untuk mengisap tembakau di waktu luang, tetapi menjadi wadah interaksi sosial masyarakat.

Gunawan (70) masih ingat betul suasana di tokonya sekira 5 dasawarsa silam. Toko Tembakau Kumpul miliknya yang berada tepat di seberang pasar utama di Kabupaten Purbalingga selalu dipadati pengunjung. Lokasi tokonya memang strategis, selain berada di depan pasar juga berada di jalur utama menuju pabrik, salah satunya GMIT yang memiliki ribuan karyawan.

Aneka tembakau tersedia untuk dipilih pengunjung, kadang diracik, dilinting dan dihisap di tempat. Tokonya ibarat pusat informasi. Orang-orang pabrik, para pedagang pasar atau para buruh pasar acap memenuhi meja-meja di ruang tokonya. Toko Kumpul menyediakan aneka tembakau sembari menjual teh dan kopi. Sembari melinting, mereka duduk mengitari meja, bercerita perkembangan baru sambil menghisap rokok racikannya sendiri. Cerita mereka mengalir, dari soal kehidupan sehari-hari, pekerjaan, hingga remeh temeh kehidupan. "Ngudud mbako istilahnya," kata Gunawan berkisah. 

Toko Tembakau Kumpul yang sudah berdiri sekira 71 tahun. Pada masa kejayaannya, toko ini berfungsi serupa kedai kopi sebagai tempat berkumpul dan berantai bersama.

Kini, Toko Tembakau Kumpul masih bertahan meski jauh dari suasana ramai dan riuh rendah orang ngudud mbako seperti dulu. Pasar sekarang sudah berubah menjadi Usman Janatin City Park dan pabrik tembakau GMIT sudah bersalin menjadi pabrik rambut palsu. Kebiasaan ngudud mbako yang membutuhkan kepiawaian melinting sudah jarang ditemui. Budaya itu kini sudah memasuki masa senjakala. "Sudah enggak ada lagi pembeli yang berkumpul seperti dulu sembari melinting. Beberapa pembeli memang datang, membungkus 1/2 ons sampai 1 ons tembakau. Situasinya memang sudah tak seperti dulu," ucap Gunawan.

Sekarang, toko yang didirikan oleh Nyonya Kumpul pada tahun 1950 silam itu masih bertahan. Toko ini sudah turun temurun dua generasi. Menurut Gunawan, ruang toko ini pun masih nyaris sama dengan dulu saat pertama kali berdiri, hanya cat dan pernak-perniknya yang berubah. Sepetak ruang yang hanya terisi meja panjang seukuran 3x1 meter, bangku kayu panjang, sementara di etalase depan berjajar kotak-kotak tembakau aneka jenis.

Baca juga: Petualangan Tembakau Garangan

"Saya sudah tua. Tapi masih punya mimpi, warung ini ramai seperti dulu. Tetap berjualan tembakau, saya ingin mengembangkan kedai kopi, boleh nanti mereka mencoba beberapa tembakau gratis untuk dilinting," ujar Gunawan. 

Gunawan berkisah, toko tembakaunya mulai meredup sejak akhir tahun 1980-an. Salah satu penyebabnya, kata dia, bangkrutnya pabrik tembakau GMIT dan berpindahnya pasar kota Purbalingga. Kemudian, kegiatan melinting atau memilih tembakau sembari menaburi cengkih dan kemenyan secara berkelompok, dinilai Gunawan tak lagi praktis. Orang-orang mulai beralih ke produk industri rokok pabrikan.

Di area Kabupaten Purbalingga, kebiasan ngudud mbako masih hidup. Beberapa penjaja mbako masih membuka lapaknya. Baik itu yang menetap atau pun berkeliling. Sama seperti dulu, lapak-lapak mbako ini menjadi tempat interaksi sosial masyarakat.

Memang, tak mudah membuktikan apakah masuknya produk industri rokok pabrikan mengubah perubahan sosial masyarakat yang semula organik lantas menjadi mekanik. Menurut Gunawan, nilai praktis rokok pabrikan membuat beberapa orang mulai menanggalkan kebiasaan mbako.

"Nilai kepraktisan itu mungkin salah satunya. Harga rokok pabrikan juga saya kira terjangkau, meski jauh lebih murah mbako, mungkin kepraktisan itu yang menarik pembeli dalam jumlah besar," nilai Gunawan, yang juga pensiunan guru dan berlatar pendidikan guru lulusan Universitas Sanata Dharma ini.

Cerita Gunawan dibenarkan Kaman (73). Lelaki tua yang sudah bungkuk asal Kutasari Purbalingga itu dulunya berdagang di Pasar Kota Purbalingga. Semasa muda, Ia acap mampir di warung Kumpul. Usai berdagang, Kaman kerap singgah. Tembakau berbentuk kotak yang proses pemanasannya dengan kayu itu, kata Kaman, mesti ditonjolkan terlebih dulu sebelum menaburkannya ke atas daung kawung (pelepah jagung – red). Di warung itu, kisah Kaman, selalu ramai orang berkumpul dari berbagai latar belakang dengan obrolan ringan khas kehangatan desa. "Tokonya yang di pojok, ya saya masih ingat. Dulu sering ngudud di sana," cerita Kaman.

Baca juga: Tembakau dan Tradisi Warga Lamuk Legok

Kaman menikmati bagaimana ngudud di warung Kumpul, bertemu dengan teman-teman sesama pedagang. Sembari berjualan sayur, ia meluangkan waktu untuk menghilangkan bosan dan penat. Asap mengepul pekat di sela obrolan ringan sehari-hari. Kebiasaan Kaman di warung Kumpul sempat terhenti saat ia ikut saudara berjualan kasur di Jakarta. Terlebih pada tahun 1980-an, transportasi dari daerah menuju ibukota lebih mudah. Di ibukota, Kaman mengaku tak ngudud lagi karena sungkan dengan orang-orang sekitarnya. Sebab bau tembakau yang dicampur dengan kemenyan dan cengkeh terlalu menyengat. "Berhenti ngudud susah, saya pindah ke rokok batangan," kenang Kaman.

Namun, sejak berganti dengan rokok pabrikan itu ada sesuatu yang terasa hilang. Tembakau warung Kumpul masih saja terlintas, meski puluhan tahun berselang. Kaman hanya tersenyum jika mengingat bagaimana masa mudanya yang energik berkumpul dan ngudud bareng di warung Kumpul.

 

Tulisan ini adalah cukilan dari buku Tembakau di Purbalingga yang diterbitkan penulis bekerja sama dengan Sekretariat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2019.