Pada suatu hari yang cerah di X—seperti biasa, tempat paling jujur kedua setelah mimbar pengajian—muncullah sebuah surat yang bocor (entah kenapa surat pejabat kita suka sekali bocor, mungkin karena kebanyakan lubang).
Surat itu, bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025, menyampaikan bahwa Istri Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah RI, yang bernama sangat anggun Agustina Hastarini, akan melakukan kunjungan budaya ke delapan kota di Eropa dalam kurun waktu 14 hari.
Destinasi beliau? Istanbul, Pomorie, Sofia, Amsterdam, Brussels, Paris, Lucerne, Milan. Tampaknya, inilah bentuk baru dari “misi kebudayaan”—semacam Eurotrip bersubsidi negara.
Cuplikan surat dengan kop Kemeterian Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah yang menyampaikan "misi kebudayaan" oleh istri menteri dan meminta dukungan penuh dari berbagai Kedutaan Besar RI.
Tak lupa, surat itu juga meminta dukungan penuh dari berbagai Kedutaan Besar RI untuk mendampingi sang ibu dan rombongannya dalam kunjungan suci sarat makna tersebut.
Diplomasi Budaya: Antara Realita dan Fantasi Tropis
Mari kita kembali ke definisi dasar. Diplomasi budaya adalah seni memperkuat pengaruh sebuah negara bukan dengan rudal atau tambang nikel, tetapi lewat seni, nilai, narasi, dan cita rasa. Negara seperti Prancis telah sukses besar dalam hal ini. Melalui Institut Français, mereka mengekspor bukan hanya lukisan dan puisi, tapi juga identitas—bahwa Prancis adalah pusat seni, romantisme, dan filsafat. Bahkan ketika ekonomi Prancis goyah, baguette tetap terasa revolusioner.
Penampilan wayang orang dari Padepokan Tjipta Boedaja dari dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Magelang. (Foto: Dok. Padepokan Tjipta Boedaja)
Fungsi utama diplomasi budaya adalah:
- Meningkatkan citra negara di mata dunia
- Mendukung para pencipta dan pemikir
- Membangun pemahaman antarbangsa
- Menyebarkan nilai demokrasi, pluralisme, dan kebebasan berekspresi
Diplomasi budaya adalah seni memengaruhi tanpa terlihat mendominasi. Ia bukan seminar batik di musim panas atau pertunjukan angklung di lorong-lorong UNESCO—melainkan strategi jangka panjang membentuk persepsi global tentang siapa kita.
Era Baru, Tantangan Lama
Saat ini dunia sedang mengalami pergeseran geopolitik yang serius. Kekuasaan bergeser ke Asia, teknologi mempercepat perubahan budaya, dan identitas nasional menjadi alat diplomasi yang paling lunak sekaligus paling tajam.
Negara-negara seperti Korea Selatan, dengan gelombang Hallyu-nya, atau Jepang dengan diplomasi kawaii-nya, menunjukkan bagaimana budaya bisa menjadi komoditas strategis.
Mendoan, penganan khas Banyumas yang layak dijadikan alat diplomasi budaya Indonesia ke ranah internasional. (Foto: Spektakel/Asep Triyatno)
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Dengan keberagaman budaya dari Sabang sampai Merauke, warisan seni tradisi yang tak ternilai, dan generasi muda yang meledak-ledak kreativitasnya di TikTok—Indonesia sebenarnya adalah raksasa budaya yang belum juga bangun dari tidur siangnya.
Namun sayangnya, upaya diplomasi budaya kita acapkali dilakukan oleh terlalu banyak kementerian dengan terlalu banyak ego dan terlalu sedikit koordinasi.
Akibatnya:
- Inisiatif saling tumpang tindih seperti motif batik yang salah cetak.
- Komunikasi antarinstansi berjalan seperti Wayang Orang yang kehilangan dalang.
- Branding budaya Indonesia di luar negeri kacau: satu hari kita tampil sebagai negeri spiritual-batik, esoknya sebagai raja kopi global, lusa sebagai surga influencer
Tak heran bila publik melihat diplomasi budaya bukan sebagai strategi negara, tapi alasan resmi untuk plesiran birokrat dan keluarganya.
Apa yang Harusnya Terjadi?
Agar diplomasi budaya bisa berjalan maksimal, syarat-syaratnya sederhana tapi berat—seperti lari pagi dengan batik formal:
- Satu koordinasi lintas kementerian dengan mandat yang jelas dan terukur.
- Adanya lembaga pelaksana independen (semacam “Indonesia Cultural Institute”) yang fokus hanya pada promosi budaya ke luar negeri, bukan jadi ajang rebutan program dan anggaran.
- Kurasi program berbasis kualitas dan relevansi, bukan kedekatan dengan pejabat.
- Keterlibatan komunitas budaya dan kreatif, bukan hanya birokrat yang belajar gamelan dari brosur.
- Evaluasi berkala dan transparansi dana—karena kita sudah kenyang makan janji dan akomodasi hotel bintang lima.
Tapi Kembali ke Ibu Menteri…
Kita tahu, surat perjalanan ini mungkin hanya satu dari banyak kisah yang selama ini hidup dalam bisik-bisik di lobi hotel dan ruang tunggu bandara: “Ah, sudah biasa, Bu Menteri lagi ‘misi budaya’, Pak Dubes siapin protokol deh.”
Ironisnya, saat para seniman muda Indonesia berjuang dengan dana crowdfunding untuk bisa tampil di festival seni di Berlin atau Biennale di Italia, rombongan yang tidak memiliki portofolio artistik apapun bisa terbang ke Milan demi "melihat-lihat potensi batik di butik Versace".
Festival Mbok Sri Mulih dari Delanggu yang secara konsisten diselenggarakan oleh warga desa dan kini kian berkembang, menjadi salah satu simbol identitas masyarakat di Delanggu. (Foto: Dok. Sanggar Rojolele)
Sementara negara lain mengekspor budaya mereka sebagai identitas nasional, kita justru mengekspor rasa malu lewat postingan Instagram dan surat tugas 'segera'.
Diplomasi, Bukan Diplomati
Diplomasi budaya seharusnya menjadi jalan mulia yang penuh makna dan masa depan—bukan alasan untuk shopping spree di Champs-Élysées sambil selfie dengan caption “Proudly representing Indonesia”.
Jika diplomasi budaya terus dijalankan sebagai bungkus untuk jalan-jalan para istri pejabat, jangan salahkan dunia bila suatu hari nanti yang dikenal dari Indonesia bukan gamelan, bukan wayang, bukan sastra atau filosofi maritim kita—melainkan kebiasaan menyalahgunakan kekuasaan dengan sangat elegan dan penuh senyuman.
Sebab dalam diplomasi budaya Indonesia hari ini, yang paling konsisten bukan strategi, tapi tiket pulang-pergi dan foto di bawah Menara Eiffel.
Selamat menjalankan Misi Budaya. Jangan lupa oleh-olehnya: laporan pertanggungjawaban.