Tulisan ini disusun berdasarkan riset awal dengan data sekunder—dari publikasi akademik, laporan lembaga budaya, hingga dokumentasi media. Fokusnya bukan pada uji medis, melainkan pembacaan kritis atas praktik pengobatan tradisional Nusantara, dalam perspektif global hari ini.
Di sebuah desa di Jawa Tengah, seorang nenek dengan cekatan meracik kunyit, jahe, dan temulawak. Aroma hangat menyelimuti rumah. “Ini untuk melancarkan darah,” katanya sambil menuang ramuan ke gelas kecil. Di pedalaman Kalimantan, seorang balian menumbuk daun sebelum meniupkannya ke luka seorang tetua. Bagi masyarakat lokal, penyembuhan menyatukan tubuh, jiwa, dan alam.
Warisan yang Terselip di Dapur dan Halaman Rumah
Mitos? Tidak. Data dari Kemenkes—melalui Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA)—menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 2.848 spesies tumbuhan obat dan lebih dari 32.000 ramuan tradisional yang masih dipraktikkan oleh pengobat lokal di 34 provinsi Indonesia, dari tahun 2012 hingga 2017¹².
Data ini menegaskan bahwa kekayaan kita nyata dan terdokumentasi. Namun, seberapa sering kita benar-benar menyadarinya?
Peta Data Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). RISTOJA mencatat lebih dari 30.000 spesies tanaman obat di Nusantara. Fakta ini menegaskan bahwa kekayaan alam Indonesia adalah apotek hidup terbesar dunia. (Sumber: Kemenkes)
Antara Pengetahuan dan Praktik yang Hidup
Pengobatan tradisional di Indonesia bukan sekadar bagian dari budaya yang dipajang dalam festival atau museum; ia adalah sistem kesehatan yang kompleks, menyatukan tubuh, pikiran, dan spiritualitas. Di Jawa, Madura, hingga Lombok, kita mengenal jamu—ramuan berbasis kunyit, jahe, dan temulawak. Dulu ia hadir lewat gendongan ibu-ibu jamu keliling, kini tampil pula dalam bentuk kapsul modern dan minuman siap saji di rak supermarket.
Di Bali, Usada masih terjaga sebagai kitab penyembuhan kuno. Isinya bukan hanya resep tanaman obat, tetapi juga doa, ritual, dan panduan untuk menjaga keseimbangan hidup. Sementara di Kalimantan, praktik balian Dayak menghadirkan penyembuhan sebagai perayaan bersama. Ramuan akar dan dedaunan diracik, lalu dipadukan dengan musik adat serta ritual syukur—membuat proses pengobatan terasa komunal, bukan individual.
Dari Papua, kita menemukan praktik ramuan akar yang diambil dari hutan tropis. Ia diselimuti ritual komunitas, di mana penyembuhan tidak hanya soal tubuh, tetapi juga hubungan manusia dengan alam dan leluhur. Semua ini menunjukkan bahwa tradisi penyembuhan Nusantara tidak bisa dipisahkan dari filosofi hidup masyarakatnya.
Namun, ada sisi rapuh yang tak bisa diabaikan. Banyak pengetahuan ini diwariskan secara lisan, dari mulut ke telinga, tanpa dokumentasi yang kuat. Generasi baru yang sibuk dengan gaya hidup urban sering kali tidak lagi tertarik mempelajarinya. Proses regenerasi berjalan lambat, dan risiko hilangnya warisan pun semakin nyata. Inilah mengapa riset seperti RISTOJA menjadi penting: ia berusaha merekam dan menyelamatkan pengetahuan lokal sebelum terlambat.¹
Pasar Rempah. Pasar tradisional Indonesia sejatinya adalah laboratorium terbuka: ribuan bahan herbal tersedia, dari jahe, kapulaga, hingga kayu manis. Semua menunggu untuk kembali dihargai sebagai bagian dari penyembuhan. (Sumber: Katadata)
Dari Hutan Tropis ke Laboratorium Barat
Di sisi lain, dunia modern justru tengah menjual ulang warisan yang berasal dari Timur. Yoga, misalnya, yang berakar dari India kini berkembang menjadi industri global bernilai miliaran dolar. Praktik meditasi Buddhis seperti mindfulness pun bertransformasi menjadi aplikasi berbayar dengan jutaan pengguna di seluruh dunia. Hal serupa terjadi pada berbagai bahan alami: minyak kelapa hingga kunyit dipromosikan sebagai superfood dan dipasarkan dengan harga tinggi di pasar Barat.
Menariknya, pasar obat herbal di kawasan Asia Tenggara diproyeksikan mencapai US$30 miliar (2022), dengan Indonesia sebagai pasar terbesar. Namun ironinya, banyak dari produk yang beredar di pasaran global sebenarnya menggunakan bahan yang tumbuh subur di halaman rumah kita sendiri. Kita justru sering membeli “ramuan kita sendiri” dalam bentuk botol impor dengan label asing dan harga berlipat ganda.
Kenapa Kita Melupakan?
Fenomena ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa alasan yang membuat jamu dan ramuan tradisional perlahan tersingkir dari keseharian masyarakat. Salah satunya adalah warisan kolonial, ketika pengetahuan lokal dianggap lebih rendah dibandingkan ilmu pengobatan Barat. Akibatnya, jamu sering dipandang sekadar alternatif, bukan bagian dari sistem kesehatan yang sahih.
Yoga di Bali. Yoga dan meditasi kini menjadi wajah global dari wellness tourism di Bali. Ironinya, praktik penyembuhan lokal Nusantara seringkali masih dipandang sebelah mata di rumahnya sendiri. (Sumber: Nyuh Bali Resort)
Selain itu, riset mengenai tanaman obat masih sangat terbatas. Padahal, RISTOJA menyimpan kekayaan data luar biasa tentang ramuan tradisional. Hanya sedikit yang berhasil melewati uji klinis hingga akhirnya diakui sebagai fitofarmaka. Kondisi ini membuat jamu kurang memiliki legitimasi ilmiah di mata sebagian masyarakat.
Ada juga persoalan inferioritas budaya. Bayangan produk atau praktik dari luar negeri kerap dianggap lebih prestisius dibandingkan warisan sendiri. Akhirnya, komodifikasi global ikut mendorong pergeseran persepsi ini. Banyak layanan spa di Indonesia, misalnya, justru memasarkan boreh dengan sentuhan branding internasional agar terlihat lebih meyakinkan.
Namun, di balik itu semua, statistik menunjukkan bahwa kita sebenarnya memiliki harta karun luar biasa. Sayangnya, kekayaan tersebut sering kali tidak dimanfaatkan secara penuh, bahkan justru terabaikan.
Tanda-Tanda Kebangkitan
Meski sering terasa seolah pengetahuan tradisional kita hanya tersisa sebagai catatan arsip, kabar baik justru muncul dari berbagai arah. Di Jakarta, misalnya, hadir Acaraki—sebuah kafe yang menghidupkan jamu dengan wajah baru. Bukan lagi sekadar botol cokelat kusam di warung, jamu di sini disajikan dengan estetika modern, lengkap dengan ritual seduh layaknya barista kopi. Generasi muda yang dulu mungkin enggan menenggak jamu pahit kini menemukan pengalaman baru yang segar dan penuh gaya.
Di sisi lain, Javara Indonesia mengambil jalan berbeda. Mereka membawa jamu dan rempah Nusantara ke pasar global, sekaligus memastikan petani lokal tetap berdaya. Produk mereka bukan hanya sekadar komoditas, melainkan kisah tentang tanah, budaya, dan identitas yang ikut dipasarkan bersama rasa.
Bali pun tak ketinggalan. Spa-spa yang dulu sekadar menjadikan boreh sebagai pelengkap kini mulai menempatkannya sebagai ciri khas. Boreh, ramuan rempah tradisional untuk menghangatkan tubuh, diposisikan kembali sebagai warisan bernilai tinggi, sesuatu yang membedakan spa Bali dari destinasi wellness lain di dunia.
Tradisi Balian. Balian oleh suku Dayak menggabungkan doa, ramuan, dan ritual sebagai jalan penyembuhan. Praktik yang menempatkan tubuh, jiwa, dan alam dalam satu kesatuan—sesuatu yang justru dicari dunia modern hari ini. (Sumber: Kompas)
Sementara itu, di ruang akademik, universitas seperti UGM dan ITB mulai meneliti tanaman obat dengan pendekatan ilmiah berbasis data RISTOJA. Upaya ini membuka kemungkinan bahwa ramuan yang diwariskan turun-temurun bisa mendapatkan legitimasi baru di mata sains modern, tanpa kehilangan konteks kearifan lokalnya.
Di kota-kota besar, komunitas muda pun bergerak. Mereka merayakan mandi rempah sebagai bagian dari gaya hidup sehat, bukan sekadar ritual tradisional. Apa yang dulu identik dengan desa kini tampil di feed Instagram sebagai bentuk wellness baru.
Kecil memang, tetapi nyata. Semangat ini menandai kebangkitan—upaya untuk menjahit kembali benang-benang warisan agar bisa hidup di zaman sekarang, bukan hanya sebagai romantisme masa lalu.
Dari Konsumen ke Produsen
Tapi bayangkan sejenak, apa jadinya jika Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dari tren global, melainkan juga produsen dengan jati diri yang kuat? Bagaimana jika jamu kunyit asam dijual di Whole Foods, bukan sekadar sebagai turmeric tonic, tapi dengan label “Indonesian heritage drink” lengkap dengan kisah keseimbangan tubuh-jiwa yang diwariskan nenek moyang?
Atau, bagaimana jika praktik sasi di Maluku—sebuah kearifan lokal yang melarang pemanfaatan sumber daya alam pada waktu tertentu demi keseimbangan ekologi—diangkat sebagai model eco-healing yang diakui dunia? Bukankah itu bisa menjadi inspirasi dalam menghadapi krisis iklim global?
Lalu ada hattra dari Madura, tradisi perawatan pasca melahirkan yang menyatukan ramuan, pijat, dan pantangan makanan. Bayangkan bila praktik ini diteliti, dibakukan, lalu dijadikan model postpartum care yang diakui WHO. Sebuah kontribusi nyata dari Nusantara untuk kesehatan ibu di seluruh dunia.
Produk Jamu Modern. Di Barat, jamu dikemas ulang menjadi minuman trendi dengan label organik dan harga premium. Sebuah ironi: apa yang dulu dianggap kuno di sini, menjadi gaya hidup modern di sana. (Sumber: The Busy Woman Project)
Modernisasi, dalam konteks ini, seharusnya bukan berarti menghapus akar budaya. Ia justru bisa menjadi cara untuk meracik ulang pengetahuan lama agar relevan di masa kini—tetap menghormati akarnya, sambil membuka ruang baru untuk berkembang.
Penyembuhan Jati Diri dan Kedaulatan
Lebih dari sekadar estetika atau tren sesaat, penyembuhan tradisional Nusantara menyimpan potensi besar yang sering kali luput kita lihat. Di ranah ekonomi, misalnya, pasar jamu Indonesia pada tahun 2022 telah mencapai nilai sekitar Rp20 triliun, dengan pertumbuhan tahunan konsisten di kisaran enam hingga tujuh persen³⁴. Angka ini menunjukkan bahwa ramuan warisan nenek moyang bukan sekadar cerita dapur, melainkan juga kekuatan industri yang nyata.
Namun, jamu dan pengobatan tradisional tidak hanya berhenti pada hitungan rupiah. Ia adalah identitas budaya. Cara kita meramu kunyit, jahe, atau temulawak merefleksikan cara pandang khas Nusantara terhadap kesehatan: bahwa tubuh, jiwa, dan alam adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Setiap tegukan jamu bukan hanya untuk menyehatkan badan, tapi juga menjaga harmoni dengan semesta.
Lebih jauh lagi, penyembuhan tradisional bisa menjadi instrumen diplomasi budaya. India berhasil menjadikan yoga sebagai wajah globalnya. Mengapa Indonesia tidak bisa menjadikan jamu sebagai simbol serupa? Bayangkan bila ramuan sederhana itu dikenal dunia bukan hanya sebagai herbal drink, tetapi sebagai pintu masuk untuk memahami kebijaksanaan Nusantara.
Dapur Tradisional. Di dapur sederhana seperti ini, ramuan jamu lahir. Pengetahuan turun-temurun tentang kunyit, jahe, temulawak, dan puluhan rempah lain diwariskan tanpa buku teks, hanya lewat ingatan dan rasa. (Sumber: Pinterest)
Sementara dunia sibuk menawarkan retret mewah, spa berharga fantastis, atau jus detoks dalam botol elegan, penyembuhan Nusantara tetap sederhana. Ia hadir di dapur sehari-hari, di kebun belakang rumah, dalam ritual harian, dan dalam hubungan kita dengan alam sekitar.
Nenek kita tidak pernah berbicara soal industri wellness atau pasar global. Ia hanya ingin cucunya sehat—dengan segelas kunyit asam di pagi hari, atau pijatan minyak hangat ketika badan terasa letih. Dari situ kita belajar, bahwa penyembuhan sejati bukan sekadar tren dunia, melainkan cara merawat kehidupan itu sendiri.
Detail Lokal RISTOJA: Menguatkan Narasi
Warisan penyembuhan Nusantara bukan sekadar cerita turun-temurun; ia tercatat, terpetakan, dan teruji lewat riset. Salah satunya melalui RISTOJA (Riset Tumbuhan Obat dan Jamu) yang digelar Kementerian Kesehatan sejak 2012.
Beberapa temuan menarik dari lapangan memperlihatkan betapa kaya dan beragam pengetahuan lokal kita:
- Nusa Tenggara Barat: (NTB) RISTOJA 2017 mendokumentasikan 231 ramuan tradisional dan 290 jenis tanaman obat, lengkap dengan sampel herbarium serta analisis fitokimia⁵.
- Kalimantan Timur: Pada 2015, RISTOJA memetakan 520 ramuan tradisional yang digunakan untuk mengatasi sekitar 70 jenis penyakit dari lima etnis lokal⁶.
- Maluku: Riset tahun 2017 mewawancarai 51 hattra (pengobat tradisional) dari 10 etnis berbeda. Menariknya, mayoritas pengetahuan mereka masih diwariskan langsung dari orang tua⁷.
Data ini mengingatkan kita bahwa pengetahuan lokal bukanlah sesuatu yang samar atau rapuh. Ia nyata, terstruktur, dan terus hidup di berbagai provinsi. Tidak berlebihan bila disebut bahwa kita memiliki “perpustakaan hidup” yang tersebar di seluruh Nusantara.
Seluruh data RISTOJA dapat diakses secara terbuka melalui dashboard resmi Kementerian Kesehatan.
Grafik Khasiat dan Informan. Data RISTOJA juga memetakan ribuan ramuan untuk berbagai penyakit: dari batuk hingga kanker. Pengetahuan ini dihimpun dari ratusan etnis, menjadikannya mosaik kesehatan Nusantara. (Sumber: Kemenkes)
Jalan Menuju Optimisme
Kita hidup di ironi besar. Dunia memuja ramuan kita—sementara kita meremehkannya. Dunia menjual postpartum care, namun kita lupa hattra Madura. Dunia membicarakan eco-healing, sementara sasi sudah lama menjadi nadi lokal.
Tapi ironi ini juga jadi pintu masuk. Kalau dunia saja menghargai warisan kita, mengapa kita sebaliknya?
Mungkin sudah saatnya berhenti kejar kapsul kunyit impor. Sudah waktunya kembali meramu rempah di dapur sendiri. Karena penyembuhan sejati bukan soal label mahal, melainkan cara kita menghormati kehidupan.
Nusantara sudah punya resepnya. Tinggal kita mau meraciknya kembali, atau terus menunggu hingga dunia menjualnya dengan harga lebih mahal.
***
Daftar Pustaka
- Kementerian Kesehatan RI. RISTOJA Ungkap Tumbuhan Obat Kanker. 2019. Diakses dari kemkes.go.id.
- Kementerian Kesehatan RI. RISTOJA Ungkap Tumbuhan Obat Kanker. Sehat Negeriku, 2019. Diakses dari sehatnegeriku.kemkes.go.id.
- Antara News. Kemenkes dorong pengembangan obat herbal dan fitofarmaka di Indonesia. 2023. Diakses dari antaranews.com.
- Farmasi Universitas Gadjah Mada. Menelisik Produk Jamu Indonesia untuk Mendunia. 2022. Diakses dari farmasi.ugm.ac.id.
- Dinas Kesehatan Provinsi NTB. Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). 2017. Diakses dari dinkes.ntbprov.go.id.
- Kalimantan Journal of International and Fundamental (KJIF). Inventarisasi Ramuan Obat Tradisional Etnis Lokal di Kalimantan Timur. 2015. Diakses dari kjif.unjani.ac.id.
- Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (Kemenkes RI). Laporan RISTOJA Maluku 2017. 2018. Diakses dari repository.badankebijakan.kemkes.go.id.