Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Demonstrasi di Pabrik Goni Delanggu, Pergerakan Buruh Pertama di Awal Kemerdekaan Indonesia

Demonstrasi di Pabrik Goni Delanggu, Pergerakan Buruh Pertama di Awal Kemerdekaan Indonesia

Teks & Foto oleh: Risna Anggaresa

Demonstrasi di Pabrik Goni Delanggu, Pergerakan Buruh Pertama di Awal Kemerdekaan Indonesia

Hari ini Delanggu dikenal sebagai salah satu desa agraris penghasil Beras Rojolele yang tersohor itu. Namun, pernah ada masa Delanggu menjadi salah satu pusat manufaktur di Indonesia—serta menjadi saksi pergerakan buruh pertama di Indonesia pascakemerdekaan.

Babad Delanggu selalu erat kisahnya dengan dunia agraris dan roman-roman tentang beras rojolele. Simbol-simbol agraris banyak dipajang menjadi bentuk monumen identitas Delanggu sebagai daerah yang besar karena produktivitas berasnya yang massal. Tidak salah, Kabupaten Klaten yang termasuk di dalamnya Delanggu, masih menjadi lumbung padi yang mampu menyuplai beras nasional hingga 285.205 ton di tahun 2021 (detik.com). Padi dan beras adalah identitas yang kuat menempel. Namun, di awal abad ke-20, Delanggu pernah menjadi salah satu pusat manufaktur yang besar dan pernah terjadi peristiwa besar yang menjadi tonggak sejarah pergerakan buruh di awal-awal terbentuknya Indonesia.

Di awal abad ke-20, pernah berdiri sebuah pabrik karung goni di Delanggu yang bernama NV Vlasfabrieken De Langgoe. Pabrik ini adalah hasil peralihan dari Suikerfabriek Delanggoe yang merupakan pabrik gula bikinan Belanda. Keberadaan pabrik goni turut mendongkrak perekonomian Delanggu. Bahkan, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kemasan untuk mengekspor hasil bumi seperti beras dan gula ke luar negeri, pabrik goni Delanggu pernah menjadi pabrik karung goni terbesar di Asia Tenggara. Ketika pabrik karung goni ini masih beroperasi, mayoritas masyarakat Delanggu adalah buruh di sana. Namun, sistem kerja shift memungkinkan mereka untuk bertani terlebih dahulu di pagi hari, lalu kembali menggarap sawah di sore hari, atau sebaliknya. Tergantung mereka bekerja di shift berapa.

Gedung-gedung bekas pabrik goni yang terbengkalai (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa)

Di antara para pekerjanya ada seorang teknisi mesin yang bernama Mbah Dali, seorang petani Delanggu yang saat ini sudah berusia lebih dari 80 tahun yang juga menjadi saksi hidup masa jaya pabrik goni. Di usia produktifnya, Mbah Dali pernah menjadi teknisi yang bertugas merakit dan memperbaiki mesin-mesin yang ada di pabrik. Mesin-mesin dibawa dalam keadaan belum terpasang—berbekal gambar teknik dan panduan dari pengawasnya, Mbah Dali pun merangkainya. 

Jaman rumiyin niku krungu sirene nggih mangkat (zaman dulu kalau mendengar sirene ya berangkat),” ujar Mbah Dali sembari memutar-mutar telunjuknya di samping wajah beliau. “Isuk sore Mas (pagi dan sore, Mas),” tambahnya.

Keberadaan pabrik goni turut memanfaatkan peran lahan sekitar sekitar. Sawah-sawah disewa untuk ditanami Rosella. Ketika panen, pabrik akan membelinya dengan harga yang layak. Sistem sewa pun dirasa menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Rosella adalah bahan baku utama pembuatan karung goni. Kayunya (kayu rami) dikeringkan, setelah kering lalu dipintal menjadi benang goni yang selanjutnya akan proses menjadi karung goni.

Potret Mbah Dali, buruh tani sekaligus juga tukang gali kubur di Delanggu. Di masa produktifnya dulu ia adalah salah satu teknisi mesin di pabrik goni Delanggu. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa)

Produksi karung goni dari Pabrik Karung Delanggu tergolong masif, di masa perang dunia kedua, goni-goni ini digunakan untuk mengangkut logistik serta basis pertahanan. Selain masif, karung goni produksi Delanggu terkenal kuat karena melalui quality control yang ketat. Mbah Dali menuturkan, karung-karung yang selesai diproduksi harus diisi penuh dengan pasir dan dijatuhkan dari ketinggian sebelum didistribusikan. Jika setelah dijatuhkan karung tersebut tidak sobek atau pecah, maka karung itulah yang lolos pengecekan kualitas.

Seiring dengan perkembangan industri di sana, dinamika masyarakat Delanggu pun berubah menjadi tak lagi sederhana. Kesenjangan mulai muncul, hingga kejadian penting terjadi di pabrik goni Delanggu. Sekitar tahun 1948, pernah terjadi pemogokan kerja yang melibatkan buruh pabrik dan buruh perkebunan kapas yang menuntut perbaikan kualitas kerja dan peningkatan kesejahteraan hidup. Terutama bagi mereka yang berstatus buruh lepas. Pemogokan ini disebabkan oleh kesenjangan yang tinggi antara pekerja musiman dengan pekerja administratif.

Rumah di bekas area komplek pegawai administratif dan pejabat pabrik goni di Delanggu. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa)

Pekerja lepas hanya memperoleh gaji sepersepuluh dari gaji pekerja administratif. Timpangnya upah juga ditambah dengan timpangnya fasilitas dan sembako yang mereka terima. Pekerja administratif memperoleh sembako dan sandang setiap bulannya, sedangkan buruh lepas tidak memperoleh jatah dengan porsi yang sama.

Mboten sedanten, tapi kathah (tidak semua, tetapi banyak),” jelasnya mengenai skala keterlibatan teman-teman buruhnya dalam aksi pemogokkan tersebut. 

Aksi mogok berlangsung bertahap dan berlangsung dalam dua periode. Periode pertama berlangsung pada 26 Mei 1948 yang berjalan selama dua jam. Tuntutan utama pada aksi ini adalah kesetaraan dan pemenuhan hak sembako dan sandang untuk pekerja lepas. Aksi mogok ini lalu dilanjut di hari berikutnya yang berlangsung selama setengah hari. Pada puncaknya, lebih dari 15 ribu pekerja melakukan pemogokan kerja. Di aksi kedua, para pekerja menuntut kenaikan upah dan perbaikan kualitas kondisi kerja. Pemerintah Indonesia melakukan mediasi antara pekerja dan pabrik, melalui perdana menteri Mohammad Hatta, pertemuan diadakan untuk menjadi ruang diskusi yang menghasilkan kesepakatan bahwa sebagian tuntutan dari buruh akan dipenuhi. Gaung kesepakatan ini diudarakan melalui Radio Yogyakarta, dan akhirnya pada tanggal 18 Juli 1948, para buruh kembali bekerja seperti biasanya.

Sejak pabrik goni ditutup pada 1992, kehidupan di Delanggu pelan tapi pasti juga melambat—kembali mengikuti ritme pertanian desa. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa)

Aksi mogok ini adalah salah satu kejadian besar dalam industri di Indonesia dan merupakan momen demonstrasi dan pemogokan kerja besar yang terjadi di periode awal kemerdekaan. Aksi ini memberikan dampak besar terhadap perekonomian lokal dan nasional karena terganggunya proses produksi karung, namun selain itu juga menjadi tonggak sejarah perjuangan kaum buruh untuk pemenuhan haknya. Dari segi politik, keterlibatan PKI melalui Sarbupri dalam pengerahan dan organisasi masa turut memperkuat PKI pengaruh politik mereka di Delanggu dan Klaten. Aksi mogok di Delanggu juga menjadi sebuah pengingat tentang kompleksitas hubungan isu ekonomi dan sosial, dinamika ketenagakerjaan, dan kesadaran kolektif para buruh tentang pentingnya solidaritas antar buruh untuk pemenuhan kesejahteraan bersama.

Kisah jaya yang menemui titik heningnya

Ditutupnya pabrik goni di tahun 1992 tidak mungkin tidak memberikan dampak signifikan kepada kondisi perekonomian dan sosial Delanggu. Penutupan ini menyebabkan tidak terserapnya ribuan tenaga kerja yang menyebabkan terjadinya gelombang pengangguran. Para eks buruh pabrik banyak yang kembali ke sektor informal. Termasuk juga Mbah Dali.

Mbah Dali dan tangannya yang telah mengambil banyak peran seiring dengan perubahan dinamika Delanggu dari masa ke masa. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa)

Sepanjang perjalanan hidup Mbah Dali, sejak bubarnya pabrik goni, beliau melakoni beragam peran dan profesi. Di samping kehidupannya sebagai petani, Mbah Dali pernah menjadi kusir delman, menyewakan maeso (kerbau) sebelum beliau jual dan menjadi traktor - yang kembali dijual oleh mbah Dali. Bahkan, Mbah Dali juga menjadi penggali kubur yang masih dilakoninya hingga saat ini. Sebagaimana kehidupan yang dilakoni mbah Dali, Delanggu memasuki babak baru di mana pertanian pelan kembali menjadi tumpuan. Para eks-buruh pabrik banyak yang masih memiliki minat dan keterampilan di bidang pertanian memutuskan kembali menjadi buruh tani seperti Mbah Dali.

Apa yang terjadi di Delanggu saat ini adalah riuh pudar yang menjadi sebuah ketenangan. Pergolakan buruh yang terjadi di masa lalu beralih bentuk menjadi pergerakan-pergerakan kecil yang bersuara lantang. Kesadaran kelas hadir melalui forum-forum kelompok tani. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan ritme pabrik dengan bunyi sirene sebagai metronom, perlahan melambatkan diri dan menjelma menjadi komunitas desa pertanian yang bertempo lebih tenang. Masyarakat pun masih mewarisi semangat kolektif dan perjuangan kelas dari sisa-sisa demonstrasi di masa lalu. Mereka berserikat dan menjalin jiwa solidaritas melalui kelompok-kelompok tadi atau organisasi seperti Sanggar Rojolele, maupun memupuk ingatan kolektif melalui aktivitas-aktivitas kolektif seperti Festival Mbok Sri yang diadakan setiap tahun di Hari Tani Nasional.

Puing-puing bekas pabrik yang ditumbuhi tanaman liar menjadi sisa-sisa sejarah manufaktur di Delanggu. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa)

Nggih manfaate nggih kulo dadi rumongso gadhah rencang (Ya manfaatnya bergabung dengan serikat itu membuat saya merasa punya teman),” ucapnya.

Mbah Dali adalah salah satu saksi hidup yang turut menyaksikan dinamika Delanggu. Beliau juga yang membuktikan bahwa di antara sisa-sisa kejayaan era industri Delanggu yang saat ini tinggal puing-puingnya, Delanggu akan tetap bisa bertahan dengan pertaniannya.