Logo Spektakel

Home > Sorotan > Komunitas >

Ke Pasar Mencari “Permata” yang Hilang

Ke Pasar Mencari “Permata” yang Hilang

Di zaman sekarang yang serba cepat dan nyaman, belanja online dan transaksi digital sudah menjadi kebiasaan. Pasar tradisional jadi semakin jarang ditemui. Padahal, di sana kita bisa merasakan keterhubungan dan pengalaman-pengalaman yang hanya bisa kita rasakan di pasar tradisional.

Meskipun supermarket dan e-commerce menawarkan kemudahan dan kecepatan, cara belanja yang serba praktis itu juga menghilangkan sesuatu yang sangat berharga, yaitu interaksi langsung antara penjual dan pembeli. Pasar tradisional bukan cuma tempat jual beli barang, tapi juga ruang di mana cerita, budaya, dan hubungan antarmanusia terjalin dan bertahan.

Tumbuh dalam keluarga berlatar belakang campuran Jawa dan Bali, saya selalu merasa memiliki ikatan yang kuat dengan pasar. Bagi kami, pasar lebih dari sekadar tempat transaksi. Waktu saya kecil, ayah yang asli Bali sering mengajak saya pergi ke pasar-pasar tradisional di Denpasar, pagi-pagi sekali. Perjalanan ini tidak hanya untuk membeli sayur, buah, atau bahan sembahyang, tetapi juga untuk berinteraksi dengan para penghuninya dan merasakan ritme kehidupan yang membentuk keseharian kami.

Suasana Pasar Kliwonan di Delanggu, rupa-rupa barang dagangan dijajakan di pinggir jalan sembari calon pembeli lalu-lalang, baik itu yang berjalan kaki maupun berkendara. (Foto: Spektakel/Anung Pamadya) 

Di pasar tradisional, interaksi antarmanusia menjadi awal dari setiap pertukaran. Saya mulai mengenal para pedagang dengan baik. Saya tahu di mana setiap lapak terletak, apa yang dijual, dan siapa yang selalu siap dengan lelucon atau cerita. Salah satu kenangan yang paling saya ingat adalah Pak Eli, seorang pedagang dari Lombok yang menjual tipat tahu dan janur (daun kelapa muda). Percakapan santai kami berlanjut menjadi persahabatan yang langgeng. Suatu hari, Pak Eli bahkan mengundang saya ke rumahnya di Lombok, di mana saya bertemu dengan keluarganya dan mendengar cerita tentang kehidupan di Pulau Lombok dan Gunung Rinjani. Keterhubungan seperti ini, di mana transaksi sederhana dapat membuka pintu menuju persahabatan sejati, adalah sesuatu yang hanya bisa ditemukan di pasar tradisional.

Ritel modern dan interaksi yang memudar

Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari adanya perubahan yang cukup jelas. Supermarket, mal, dan toko online mulai menggantikan pasar-pasar yang ramai dan berwarna-warni. Kenyamanan, kecepatan, dan efisiensi menjadi faktor pendorong dalam keputusan konsumen, dan perlahan-lahan, kehangatan pasar tradisional mulai memudar. Kehangatan interaksi dengan penjual, pertukaran cerita, dan tawar-menawar tergantikan efisiensi transaksi digital. Di supermarket, barang-barang sudah terbungkus rapi, harga sudah tetap, dan interaksi seringkali menjadi singkat tanpa sentuhan pribadi.

Pengalaman pribadi saya dengan pergeseran ini semakin terasa selama pandemi COVID-19. Seperti banyak orang lainnya, saya mulai berbelanja online, mengandalkan transaksi digital yang menghilangkan kebutuhan untuk berinteraksi fisik. Apa yang dulunya merupakan pengalaman yang penuh tawa, tawar-menawar, dan berbagi cerita kini menjadi pertukaran dingin antara uang dan barang. Pandemi mempercepat penurunan pamor pasar tradisional, dan dengannya, hilang pula pengalaman bersama yang dulu mewarnai kehidupan sehari-hari.

Suasana ramai di Pasar Sobayan, Pedan. Para penjual, pembeli, dan mereka yang sekadar lalu-lalang mengisi waktu berkumpul di pasar. (Foto: Spektakel/Anung Pamadya)

Pasar tradisional yang selalu menemukan jalannya

Namun, meskipun ritel modern terus mendominasi, pasar tradisional tidak sepenuhnya menghilang. Di beberapa daerah, terutama di kota-kota kecil dan pedesaan, pasar-pasar tradisional tetap hidup, terus menawarkan gambaran cara hidup yang seolah bertahan dari arus modernisasi. Di Klaten, kota yang saya tinggali sekarang, misalnya, masih ada pasar-pasar yang beroperasi mengikuti kalender Jawa seperti Pasar Pon, Pasar Wage, Pasar Kliwon, dan lainnya. Pasar-pasar itu masih berkembang, mengikuti ritme yang secara unik terikat dengan siklus pertanian dan tradisi lokal.

Saya ingat ketika mengunjungi Pasar Legen di Bonyokan, Jatinom. Pasar yang luas dan penuh sesak ini terasa seperti gudang permata yang terlupakan. Di sini, kita bisa menemukan berbagai macam barang, mulai dari pakaian bekas hingga onderdil motor langka. Pengalaman ini bukan hanya tentang barang yang dijual, tapi juga tentang rasa, petualangan, dan penemuan. Di pasar ini, saya merasa seperti kembali ke masa lalu: mengingatkan saya pada masa-masa ketika pasar seperti ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Salah satu lapak penjual pakaian di Pasar Legen di Bonyokan, Jatinom yang ramai pengunjung. (Foto: Spektakel/Anung Pamadya)

Pasar Pahingan di Juwiring juga tetap ramai, meskipun ritel modern kian marak. Saya mendapati diri saya berjalan di antara deretan pedagang tembakau lokal; pedagang ayam, bebek, entok, dan burung hidup; bahkan layanan unik seperti perbaikan payung dan isi ulang gas. Suasana pasar ini penuh dengan energi, di mana pedagang dan pembeli terlibat dalam tawar-menawar yang bersemangat, bahkan sampai membuat jalanan macet. Yang menarik adalah pasar ini tidak hanya tentang perdagangan. Lebih dari itu, pasar ini adalah tempat untuk membangun hubungan dan merayakan budaya yang masih hidup.

Dari Pedan ke Delanggu, dari pakaian besar hingga arti tani

Di perjalanan saya ke Pasar Sobayan di Pedan, Klaten, saya juga menemukan contoh lain bagaimana pasar tradisional terus berkembang. Setiap hari Wage, pasar ini menjadi surga bagi para pencari pakaian thrift (bekas). Anak-anak muda datang berdesakan mencari pakaian branded bekas, sementara orang tua berburu peralatan rumah tangga. Lebih dari sekadar tempat berbelanja, Pasar Sobayan adalah ruang sosial di mana orang-orang muda bisa jatuh cinta pada barang-barang “lama”. Pasar ini membuktikan bahwa bahkan di era digital, nilai tradisi masih bisa ditemukan dalam kebiasaan berbelanja yang penuh interaksi.

Para pandai besi di Pasar Kliwonan di Delanggu yang siap menggarap pesanan ragam alat tani. (Foto: Spektakel/Anung Pamadya)

Saya juga mengingat ketika mengunjungi Pasar Kliwonan di Delanggu yang hanya hidup pada hari Kliwon dalam kalender Jawa. Pasar ini mengisi jalan-jalan tidak jauh dari Stasiun Delanggu dengan pedagang makanan, burung, ikan hias, dan berbagai komoditas lainnya. Yang paling khas adalah los-los para pandai besi. Berjalan di pasar ini memberi saya sensasi waktu yang lebih lambat, seolah saya melangkah ke dunia lain yang menggabungkan elemen kuno dan modern. Pasar ini membuktikan bahwa pasar tradisional bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi juga alternatif gaya hidup yang penuh dengan kejutan dan kehangatan.

Mencari Keterhubungan Antarkita

Yang membedakan pasar tradisional bukan hanya barang yang dijual, tetapi hubungan yang terjalin di dalamnya. Setiap transaksi memiliki cerita yang terkandung di dalamnya. Baik itu jaket bekas dengan kisah masa lalu atau pedagang yang berbagi cerita tentang kehidupan mereka, pasar adalah tempat di mana kenangan tercipta. Saya sering kali merenungkan betapa banyak yang saya pelajari dari cerita-cerita yang dibagikan di pasar-pasar. Di pasar tradisional, kita bukan sekadar konsumen; kita adalah bagian dari komunitas, tetangga, dan teman.

Suasana jual-beli ternak di Pasar Legen di Bonyokan. (Foto: Spektakel/Anung Pamadya)

Di pasar-pasar ini, nilai sejati tidak hanya terletak pada barang yang dijual, tetapi pada hubungan yang terjalin, cerita yang dibagikan, dan tradisi budaya yang terus dipertahankan. Pasar tradisional mengingatkan kita bahwa nilai tidak selalu bisa diukur dengan label harga atau efisiensi. Nilai sesungguhnya terletak pada koneksi manusia, pada kisah yang dibagikan, dan pada budaya yang tetap hidup.

Perjalanan menemukan permata yang hilang

Saat kita terus bergegas menuju masa depan yang serba otomatis dan digital, mungkin saatnya untuk berhenti sejenak dan merenungkan apa yang telah kita hilangkan di sepanjang jalan. Permata sejati dari pasar tradisional bukanlah barang yang kita beli, tetapi koneksi yang kita buat dan budaya yang kita pelihara. Seni berbincang, kehangatan interaksi manusia, dan rasa kebersamaan adalah hal-hal yang tidak bisa digantikan lewat belanja online atau transaksi otomatis.

Lapak penjual di Pasar Legen di Bonyokan yang menjajakan berbagai jenis sepatu bekas.

Saya percaya kita perlu kembali ke pasar-pasar ini, untuk menghubungkan kembali diri kita dengan elemen manusiawi dalam berbelanja, dan untuk menemukan kembali nilai sejati dari koneksi manusia. Pasar-pasar tradisional menawarkan kita gambaran tentang cara hidup yang lebih lambat, lebih bermakna—di mana hubungan dibangun seiring waktu, di mana tradisi budaya dipertahankan, dan di mana rasa kebersamaan masih hidup.

Pada akhirnya, ini bukan tentang apa yang kita beli. Ini tentang cerita yang kita ungkapkan, hubungan yang kita bangun, dan pengalaman budaya yang kita bagi. Dan mungkin, dengan mengunjungi pasar-pasar tradisional ini, kita bisa menemukan kembali nilai-nilai yang membuat kita manusia.