Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Masa Keemasan Tembakau di Purbalingga: Kisah Para Peladen (Bagian II)

Masa Keemasan Tembakau di Purbalingga: Kisah Para Peladen (Bagian II)

Tembakau kelas wahid yang dihasilkan PT Gading Mas Indonesian Tobaco (GMIT) merupakan hasil kerja ratusan kuli mbako yang mengampu beragam tugas. Sentuhan nenek moyang pun tak luput dari prosesnya. Terutama untuk menjamin datangnya hujan di bulan Agustus demi menghasilkan tembakau jawara.

Saat panen raya, GMIT menjadi ramai akan kehadiran ratusan kuli mbako. Mereka memang sengaja diundang melalui rekrutmen terbuka untuk mengolah daun-daun ini menjadi bahan cerutu. Beragam tugas yang mereka ampu, mulai dari menjadi Pemilih, Peladen, Stapel (Tukang Tumpuk), Mandor, Tukang Timbang, Tukang Prea hingga Juru Tulis. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi biasanya diserahkan pada perempuan. Utamanya para Pemilih, Peladen, dan Juru Tulis.

Sejak pukul 06.00, para perempuan berkain mulai berkutat di hadapan rak-rak kayu dengan tinggi sekira 20 cm. Masing-masing menghadap satu rak. Sembari bersimpuh ditempatkannya daun berwarna cokelat muda, kekuningan, kehijauan, daun terlalu tua dan daun yang memiliki cacat atau sobek (daun gombal) dalam sekat yang telah dibuat.

Mereka dibantu Peladen yang berperan mengambilkan daun tembakau untuk disortir. Uniknya Peladen ini biasanya terdiri dari bocah-bocah usia putus sekolah. Biasanya mereka mengekor ibunya yang juga menjadi pemilih daun tembakau. Bagi perusahaan ini cukup menguntungkan, karena dapat memangkas pengeluaran untuk upah. Seperti halnya pemilih, sebagian besar peladen berasal dari Kajongam, Karang Bolong, Patemon, Kejobong, Kaligondang hingga Padamara. Setiap harinya mereka bekerja hingga pukul 15.00. Jam kepulangan mereka akan menimbulkan kemacetan padat di sepanjang jalur Kandang Gampang sampai Kalimanah.

Kepadatan di jalan pada waktu-waktu kepulangan para kuli mbako PT. GMIT.

Keberadaan Peladen anak-anak sudah menjadi tradisi di dunia pertembakauan tanah air. Jurnal yang ditulis H. van Kol berjudul "Uit Onze Kolonien" di tahun 1903 bahkan menyebutkan "banyak anak-anak di Deli yang hidup terlantar." Anak-anak dikisahkan juga oleh Jan Breman dalam tulisan "Menjinakkan Sang Kulu: Politik Kolonial" yang ditulis pada awal abad ke-20. Ia menyebutkan banyak pekerja anak-anak yang mulai bekerja pada usia 7 tahun. Selain di pabrik, di perkebunan tembakau anak-anak terbiasa membantu perempuan menyiram, memetik, hingga menyiangi tanaman tembakau dari hama.  

Ritual Tradisi untuk Tembakau Kelas Dunia

Tembakau yang diolah GMIT memang diperuntukkan bagi pasar luar negeri. Namun tak berarti tak ada sentuhan tradisi nenek moyang di dalamnya. Berbeda dengan petani Kutabawa yang memanfaatkan papan pentungan dan hitungan Kapujangga untuk menentukan waktu terbaik panen, petinggi GMIT memilih melakoni tradisi khusus minta hujan. Ya, hujan di bulan Agustus berpengaruh pada kualitas tembakau yang super dan bernilai jual tinggi. "Jika saat pawai Agustusan (tanggal 18 Agustus) tidak hujan, sebagian pegawai akan ke Gunung Beser," kenang mantan beheerder gudang afpak GMIT, Bambang Sarwono (68).

Gunung Beser bertempat di deretan pegunungan sebelah Utara Kabupaten Purbalingga. Tepatnya di Grumbul Kaliori, Desa Jingkang, kecamatan Karangjambu. Meski dinamai gunung, pada dasarnya tempat ini hanyalah bukit semata.

Baca juga: Masa Keemasan Tembakau di Purbalingga (Bagian I)

Pamor Gunung Beser sebagai wilayah yang kaya sumber air memang diyakini sebagian besar penduduk di wilayah pegunungan utara Purbalingga. Tak heran jika kemudian GMIT pun mengunjungi sebuah petilasan di lereng bukit ini untuk melaksanakan ritual meminta hujan. Setelah sebelumnya perjalanan mereka tempuh dengan jalan kaki dari arah Bojongsari-Bobotsari-Karanganyar-Kertanegara-Karangjambu. Rute jalan kaki ini berlaku pulang pergi sebagai bagian dari persyaratannya. 

Tradisi lain yang cukup lazim ditemukan sehubungan dengan tembakau adalah sesaji. Ini hampir dilakukan merata. Baik petani yang bekerja untuk pabrik atau pun pribadi. Usai panen, terutama jika hasil melimpah ruah maka tradisi pesta panen akan diisi dengan kehadiran ronggeng. Kehadiran ronggeng atau tayub dipercaya sama tuanya dengan kehidupan agraris. Ronggeng bukan semata hiburan pelepas penat setelah berjuang berbulan-bulan agar panennya berhasil. Namun semua kesenian rakyat ini merupakan perwujudan ungkapan rasa syukur kepada Dewi Sri (pemberi kesuburan) sekaligus tolak bala. 

Gunung Beser merupakan salah satu lokasi sumber air di bagian Utara Kabupaten Purbalingga, sekira 37 km dari Kandang Gampang. Untuk menjamin kelangsungan hujan di bulan Agustus, biasanya para pegawai PT. GMIT melakukan petilasan di lereng gunung ini.

Selain ronggeng, GMIT mengundang beragam kesenian untuk meramaikan pesta panennya. Termasuk komedian kenamaan saat itu, D2S (Djunaedi, Djadi dan Sardju) pun datang ke GMIT. Panen raya dialami GMIT pada tahun 1975. Pada saat itulah harga 1 bal setara mobil Mercedez Benz terbaru.

Meredupnya GMIT

Sayangnya regulasi yang mengatur mengenai keberadaan tenaga kerja asing kemudian menjadi penghambat bagi GMIT. Seperti di antaranya Kepres RI nomor 23 tahun 1974 tentang Pembatasan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang. Produk hukum ini merupakan kelanjutan dari program Nasionalisasi yang dicanangkan Presiden Soekarno.

Pasca kemerdekaan, Pemerintah RI mengambil alih perkebunan dari tangan Belanda. Salah satunya tembakau. Namun langkah Belanda mengklaim produk tembakau yang tengah dalam proses produksi sebagai miliknya berbuntut panjang. Klaim tersebut berlanjut ke jalur hukum internasional. Putusan menyatakan Indonesia sebagai pihak yang menang. Tak disangka, Belanda merespons kemenangan Indonesia ini dengan menutup Pasar Rotterdam, tempat di mana tembakau olahan Indonesia dipasarkan. Penjualan yang telah berjalan dengan sistem lelang di Rotterdam dan Amsterdam kemudian dialihkan ke Bremen. Jumlah pengiriman pertama ke Pasar Bremen, Jerman mencapai 5000 bal tembakau hasil panen tahun 1958. Dengan melihat tahun berdirinya, maka GMIT di Kandang Gampang memang jauh lebih akrab dengan Pasar Bremen.

Seiring meredupnya bisnis PT. GMIT, kini gedungnya digunakan oleh pabrik rambut palsu PT Indokores Sahabat.

Awalnya proses ekspor berjalan lancar. Bahkan pada 1975, GMIT untung besar dengan panen raya tembakau H8 yang melimpah ruah. Namun dengan mulai berlakunya aturan pembatasan tenaga asing menjadikan kegiatan tersendat. Belum mampunya SDM pengganti melakukan pekerjaan dengan kualitas yang mumpuni, menjadikan perusahaan semakin terseok. Terhitung 1977, ekspor mulai berkurang sementara hasil panen masih tetap banyak. Tumpukan keranjang gerot di gudang afpak mulai terlihat menumpuk seiring waktu.

Gerot adalah standar penghitungan jumlah produksi daun tembakau atau krisok yang hendak diekspor. Keranjang gerot ini mampu memuat 80 kilogram tembakau siap eskpor per satuannya. Bayangkan jika 10 keranjang gerot ini tersisa di gudang afpak. Artinya 800 kilogram daun tembakau ini tak laku dan akan turun kelas. Menjelang akhir beroperasinya, tumpukan keranjang gerot memenuhi gudang. Mau tidak mau, produk kelas ekspor itupun dijual sebagai barang afkir pada salah satu perusahaan rokok besar di tanah air. Karyawan GMIT mulai dibebastugaskan pada kisaran 1979 dengan tetap menerima gaji. Beberapa memilih mendaftar menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sementara lainnya memilih jalan sendiri sampai perusahaan resmi ditutup pada 1981. Cerita GMIT berakhir, namun semua kisah harum kejayaan tembakau di tanah perwira ini masih terendus hidung.

 

Tulisan ini adalah cukilan dari buku Tembakau di Purbalingga yang diterbitkan penulis bekerja sama dengan Sekretariat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2019.