Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >
Meramu dan Merangkum Gagrag Banyumas, Wayang Kulit Khas Banyumas
Meramu dan Merangkum Gagrag Banyumas, Wayang Kulit Khas Banyumas
Budayawan sekaligus dalang wayang kulit dari Banyumas, Sungging Suharto, berbagi ceritanya tentang Gagrag Banyumas. Gagrag Banyumas adalah sebuah gaya pedalangan hasil akulturasi budaya keraton yang hierarkis dengan kultur egaliter masyarakat Banyumas.
Sosok itu datang membawa sebuah buku, dengan wajah sumringah dia membuka lembar demi lembar sembari bercerita. Sesekali dia mendekatkan mata ke lembaran kertas yang tintanya sudah pudar dimakan usia. Buku itu terlihat layaknya buku tua yang sudah lama tidak dipindahkan dari tempatnya, berdebu dan sedikit rapuh. Berukuran besar dengan tebal sekitar 500 halaman dan semuanya ditulis menggunakan mesin ketik. Sosok tersebut adalah Sungging Suharto, budayawan sekaligus dalang wayang kulit dari Banyumas. Pak Sungging bercerita dengan detail apa saja isi buku tersebut, sebuah buku berisi berbagai gaya pagelaran wayang kulit Gagrag Banyumas. Baginya buku tersebut adalah mahakarya maestro-maestro dalang wayang kulit se-Banyumas Raya, sebuah harta karun yang harus dia jaga dan banggakan. Buku tersebut disusun atas masukan dari seluruh dalang di wilayah Banyumas Raya pada tahun 1979, tujuannya untuk mengumpulkan sekaligus membakukan pengetahuan seputar Gagrag Banyumas yang sebelumnya tercecer di antara para dalang.
Gagrag Banyumas adalah sebuah gaya pedalangan yang kemudian menjadi ciri khas pagelaran wayang di Banyumas. Menurut Pak Sungging, Gagrag Banyumas merupakan pengembangan dari Gagrag Solo dan Gagrag Mataram (Yogyakarta) atau sering disebut dengan Gagrag Wetan. Pada saat Geger Mataram terjadi, migrasi penduduk di wilayah Kesultanan Ngayogyakartohadiningrat ke berbagai penjuru, termasuk ke wilayah barat. Beberapa seniman yang berpindah pun membawa pengetahuan seni pedalangan ke wilayah yang disinggahinya, daerah Gombong di Kebumen menjadi embrio munculnya Gagrag Banyumas. Wayang yang tadinya berada di wilayah dekat keraton harus beradaptasi dengan masyarakat Banyumas yang wilayahnya ‘cedak watu, adoh ratu’ (jauh dari penguasa). Perpindahan dari masyarakat yang kental dengan hierarki ke masyarakat yang egaliter tentu saja berpengaruh besar dalam perkembangan wayang di Banyumas. Ki Dalang Menganti adalah salah satu dalang yang sukses mentransformasi wayang lebih diterima di wilayah Gombong, Kebumen, yang secara budaya lebih dekat dengan Banyumas. Banyak yang menyebut sosoknya adalah pionir munculnya Gagrag Banyumas dan membuat perkembangan Gagrag Banyumas semakin meluas.
Sungging Suharto, salah satu dalang Gagrag Banyumas. Ia masih aktif menampilkan Gagrag Banyumas hingga hari ini. Dalam menjalankan profesi sekaligus panggilannya ini, Pak Sungging memandang Gagrag Banyumas—sebagaimana produk budaya lainnya—sebagai kultur yang semestinya terus beradaptasi, tanpa kehilangan rohnya.
Setelah dari Gombong, salah satu keturunan Ki Dalang Menganti yaitu Ki Lebdo Jiwo kemudian mengembangkan Gagrag Banyumas meluas ke wilayah barat, sampai ke Cilacap, Sampang hingga Ajibarang. Perkembangan ini mengikuti wilayah pemukiman masyarakat di pesisir selatan dan juga lereng bagian selatan pegunungan Kendeng di wilayah Banyumas. Di wilayah ini, Ki Lebdo Jiwo mengembangkan cerita, penokohan, dan juga sulukan (re: tembang pengiring pertunjukan wayang kulit) agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat. Di kemudian hari, gaya yang dikembangkan Ki Lebdo Jiwo ini dinamai dengan Gagrag Banyumas Gaya Kidul Gunung karena wilayah perkembangannya berada di selatan Pegunungan Kendeng. Seiring berjalannya waktu, gaya Kidul Gunung kemudian bertemu dengan gaya yang sudah berkembang di bagian utara Pegunungan Kendeng. Sebelum bersinggungan dengan wilayah selatan, pagelaran wayang di bagian utara punya sejarah yang cukup panjang. Ceritanya dimulai dengan masuknya kesenian tersebut dari pelarian Majapahit yang kemudian berakulturasi dengan gaya yang dibawa oleh utusan Pajang. Saat itu Banyumas menjadi wilayah Kadipaten Wirasaba yang merupakah bawahan Kesultanan Pajang, sehingga gaya yang dipakai lebih dekat ke Gagrag Surakarta. Persinggungan dengan gaya Kidul Gunung membuat pagelaran di bagian utara menjadi lebih unik dan berwarna, gaya ini kemudian dikenal dengan Gagrag Banyumas Lor Gunung.
Menurut Pak Sungging perbedaan mendasar dari kedua gaya Gagrag Banyumas tersebut adalah tingkat adaptasi dengan penontonnya. Gaya Kidul Gunung lebih komplet dan cenderung klasik sehingga segmen penontonnya terbatas pada wilayah asli di mana gaya tersebut berkembang. Sedangkan gaya Lor Gunung karena menerima banyak sekali pengaruh, membuatnya lebih terbuka dengan perubahan, bahkan perbedaan tersebut terjadi antar dalang di wilayah Lor Gunung. Perbedaan ini mengakibatkan sulitnya gaya Kidul Gunung untuk masuk ke wilayah Lor Gunung, sebaliknya gaya Lor Gunung bertransformasi menjadi pagelaran wayang yang digemari hampir oleh semua lapisan masyarakat sampai sekarang.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Ki Citut Purbocarito, dalang kawakan Kidul Gunung, menurutnya Gagrag Banyumas ada tiga gaya, yaitu Kidul Gunung, Lor Gunung, dan Senawangi. Yang banyak dipakai dalang sekarang adalah gaya Senawangi yang merupakan akronim dari Sekretarian Nasional Pewayangan Indonesia, sedangkan gaya Lor Gunung sudah punah. Gaya Senawangi merujuk pada gaya yang tertulis dalam buku panduan Gagrag Banyumas, dibuat tahun 1979 di Pendopo Duplikat Si Panji, Banyumas. Sehingga gaya yang sekarang dipakai adalah buah pikiran para dalang yang ikut menyusun buku dan berbeda dengan gaya Lor Gunung.
Ki Citut Purbocarito, salah satu dalang Gagrag Banyumas Kidul Gunung. Salah satu dari tiga aliran Gagrag Banyumas.
Dalam kesempatan lain, Pak Sungging menganggap bahwa keunikan Lor Gunung adalah setiap dalang punya identitas masing-masing, sehingga kita tidak akan bisa membuat satu aturan yang utuh bagaimana gaya Lor Gunung dijalankan. Pembuatan buku panduan Gagrag Banyumas bukan berarti semua dalang harus mengikuti apa yang ada di dalamnya, buku tersebut tidak mengikat dan lebih banyak digunakan untuk kepentingan pendidikan. Sehingga ada atau tidaknya buku tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap gaya bermain masing-masing dalang di Lor Gunung, tetapi buku itu menjadi penting untuk media edukasi bagi masyarakat yang ingin belajar Gagrag Banyumas.
Modifikasi Penokohan dan Lakon Gragag Banyumas
Penokohan dan lakon menjadi salah satu keunikan Gagrag Banyumas, beberapa dalang generasi awal menciptakan tokoh dan cerita yang dekat dengan masyarakat Banyumas dan tidak dimiliki oleh Gagrag lain. Tokoh yang paling menonjol adalah Bawor, salah satu punakawan selain Semar, Petruk dan Gareng. Tokoh Bawor hanya ada di Banyumas, sedangkan di daerah lain biasanya menggunakan tokoh Bagong. Kedua tokoh tersebut bukan tokoh yang sama, baik dari bentuk wayangnya mapun karakternya., Bagong adalah anak bungsu Semar, sedangkan Bawor adalah anak sulung. Bawor berwatak jujur (cablaka/blakasuta), memiliki tutur bahasa yang khas (bahasa panginyongan/ngapak), apa adanya seperti tak pernah serius namun suka membela kebenaran. Sosok Bawor dianggap sebagai personifikasi karakter masyarakat Banyumas, maka tidak heran jika karakter ini sangat popular di Banyumas. Kita bisa menemukan berbagai produk kesenian yang menggunakan figur Bawor, seperti patung, logo, kartun, wayang orang, komik, maskot dan yang lainnya. Tokoh lain misalnya Jaewana dan Sontoloyo, dua raksasa kecil yang menjadi abdi dalem bagi raksasa. Kedua tokoh ini sangat popular di Kidul Gunung, bahkan melebihi kepopuleran Togog dan Sarawita. Selain tokoh, lakon juga menjadi media kreatif dalang Gagrag Banyumas, beberapa cerita digubah disesuaikan dengan karakter dan selera orang Banyumas. Beberapa contoh judul lakon misalnya Bawor Dadi Ratu, Petruk Krama, Srikandi Mbarang Lengger dan Srenggini Takon Rama.
Dalang Gino merupakan salah satu tokoh Gagrag Banyumas yang berpengaruh signifikan dalam perkembangan gaya serta tata kelola pertunjukan Gagrag Banyumas.
Masyarakat Banyumas tentu akrab dengan nama Ki Sugino Siswocarito atau lebih dikenal dengan Dalang Gino. Dalang Gino lahir pada tahun 1937 di desa Sawangan, Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dan meninggal pada 2013. Perannya mereformasi pertunjukan wayang Gagrag Banyumas memunculkan sebuah tren yang lebih dikenal dengan istilah Ginoan. Pada masanya, Ginoan menjadi tolok ukur pertunjukan wayang yang disenangi masyarakat Banyumas sampai kemudian muncul istilah ‘Nek kepengin payu ya main Ginoan’ (Kalau ingin laku ya main seperti Dalang Gino). Popularitasnya di tlatah eks Karesidenan Banyumas bisa disejajarkan dengan Ki Mantep Sudarsono dan Ki Enthus Susmono.
Menurut Ki Sigit Aji Sabdo Priyono, salah satu dalang Gagrag Banyumas, Dalang Gino punya cara bertutur yang merakyat, bahasa yang sederhana sehingga bisa dimengerti oleh banyak masyarakat dan membawakan lakon yang terinspirasi dari kehidupan akar rumput masyarakat. Hal tersebut membuat Dalang Gino sering membawakan lakon yang tidak terikat dengan cerita epos Mahabarata maupun Ramayana. Pertunjukkan Ginoan yang terasa dekat dengan kehidupan masyarakat langsung memikat hati penontonnya, bahkan sampai sekarang dokumentasi pertunjukan Ginoan masih sering diputar di radio.
Sinden merupakan salah satu unsur yang tak terpisahkan dalam pertunjukan Gagrag Banyumas. Dalam perkembangannya, terutama sejak gaya Ginoan kian marak, keberadaan sinden juga dianggap sebagai magnet penarik penonton.
Tata Kelola Gragag Banyumas
Selain daya ungkap, Dalang Gino juga maju selangkah dalam hal manajemen pertunjukan, beliau mulai menjalankan manajemen pertunjukan yang modern. Sebagai seorang dalang, beliau memilih untuk fokus dalam menjalankan perannya, sehingga peran karawitan ataupun komposer gamelan diserahkan ke orang lain, salah satunya Pak Sungging. Fenomena Ginoan makin marak ketika beliau mulai memasukkan unsur-unsur modern ke dalam pertunjukkan wayang, seperti campur sari, tata lampu, penggunaan piano dan juga drum untuk mendukung gamelan. Dalang Gino punya kesadaran bahawa pertunjukkan wayang bukan hanya ‘momong roso tapi juga momong netro’ (memanjakan perasaan tapi juga memanjakan mata). Hal ini beliau sikapi dengan membawa perempuan-perempuan berparas cantik untuk menjadi sinden, perempuan tersebut biasanya beliau temukan di salon-salon kecantikan. Baginya kehadiran perempuan berparas cantik menjadi magnet tersendiri bagi penonton, sering kali perempuan tersebut hanya ditugaskan duduk dan tidak perlu bernyayi dengan keras. Hal ini membuat kebutuhan sinden perempuan yang normalnya 3-4 orang dalan satu pertunjukan bertambah menjadi 9 orang. Tren Ginoan kemudian diikuti oleh hampir semua dalang muda di Banyumas, pertunjukan yang tadinya klasik dipadukan dengan unsur-unsur modern, bertransformasi menjadi sebuah pertunjukan kontemporer yang menjadi klangenan masyarakat Banyumas hingga kini.
Melihat fenomena tersebut, Pak Sungging memberikan pemakluman terhadap modernisasi pertunjukan wayang. Baginya, mau tidak mau dalang harus melihat penampilan Gragag Banyumas sebagai sebuah pertunjukan yang semestinya bisa beradaptasi dengan unsur-unsur baru yang relevan dengan penontonnya. Justru modernisasi wayang diperlukan untuk memacu daya kreatifitas dalang untuk terus mengeksplorasi ide demi menghasilkan pertunjukan wayang yang menghibur tanpa kehilangan tujuan wayang itu sendiri. Hanya saja pondasi wayang klasik harus tetap kuat sehingga nantinya tetap ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar dengan melihat kepatutan. Itu menjadi salah satu tantangan bagi dalang sepuh untuk meregenerasi kesenian wayang ke dalang muda sehingga Gagrag Banyumas akan tetap menjadi klangenan tanpa kehilangan rohnya.