Logo Spektakel

Home > Sorotan > Komunitas >

Tafsir Spiritual Festival Lima Gunung di Masa Pandemi

Tafsir Spiritual Festival Lima Gunung di Masa Pandemi

Teks & Foto oleh: Angga Haksoro Ardhi

Tafsir Spiritual Festival Lima Gunung di Masa Pandemi

Di saat banyak gelaran buyar dan berguguran saat pandemi melanda, Festival Lima Gunung justru tetap digelar. Segala keterbatasan yang ada justru melahirkan kreativitas baru bagi para pelakunya. Dari festival yang biasa digelar dengan perencanaan matang, ia bertransformasi menjadi sesuatu yang liar, penuh kejutan, dan segar. Bukan hanya bagi para penonton, tetapi juga penampil.

Hujan tiba-tiba berhenti saat Tanto Mendut mulai membaca bait pidato di lokasi penemuan candi baru di Dusun Windusabrang, Desa Wonolelo, lereng Merapi. Langit yang semula gelap berubah cerah. Padahal sebelumnya hujan begitu deras menghujam bumi. Rombongan wartawan yang datang meliput pementasan Festival Lima Gunung dipaksa buyar mencari tempat berteduh.

Hujan turun tepat saat dalang, Sih Agung Prasetyo memulai pertunjukan wayang serangga. Para seniman bergeming. Termasuk Presiden Lima Gunung, Tanto Mendut. “Kami bertahan tetap shooting. Saya melindungi telepon genggam dengan sarung karena tidak ada persiapan bawa payung,” kata Singgih Al Jawi, salah seorang manajer lapangan Festival Lima Gunung.

Dalam pidato, Tanto Mendut bicara soal harmonisasi alam dan lingkungan. Ajaib. Saat Tanto mengucap kata 'burung-burung' di tengah pidatonya, tiba-tiba terbang turun burung Jalak Suren dan Manuk Podang dari tebing di latar candi.

Momen Presiden Festival Lima Gunung Tanto Mendut membacakan pidatonya di salah satu gelaran Festival Lima Gunung. Sejak 2012, festival itu ia gelar bersama Komunitas Lima Gunung yang terdiri dari seniman-seniman di kawasan Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.

Jalak suren termasuk burung langka yang kian jarang ditemui di lereng Merapi dan Merbabu. Kemunculannya menyela pidato Tanto Mendut menjadi kebetulan yang ganjil. “Itu yang terkadang dianggap keanehan. Saya bukan orang spiritual. Saya hanya menyimpulkan. Tapi kalau ini bukan spiritual, lalu apa?”

Orang kemudian punya tafsir yang beragam atas kejadian itu. Sama seperti multitafsir penonton pada setiap pergelaran Festival Lima Gunung. Warga Muslim yang mendalami spiritual Islam akan menganggap hujan mendadak berhenti dan kemunculan Jalak Suren yang misterius, sebagai Tanto Mendut yang laduni atau kasyaf.

Para akademis yang berpegang teguh pada nalar, akan menganalisanya sebagai fenomena kebetulan yang sekadar ngepasi tanda alam. Sedangkan orang yang mendalami hal-hal spiritual atau Kejawen, bisa mengartikan hal itu sebagai kesaktian Pak Tanto.

Baca juga: Wayang Orang Padepokan Tjipta Boedaja, Sepenggal Doa dari Tutup Ngisor

“Jadi membaca Pak Tanto dan Lima Gunung itu tergantung siapa yang membaca. Tergantung style-nya. Kalau style-nya seni, [mereka] memandang Lima Gunung sebagai komunitas budaya dan seni. Kalau style-nya agama, [mereka] melihat Lima Gunung itu bagian dari kumpulan orang yang dilindungi alam dan lain-lain.”

Festival yang Liar

Tak salah jika kemudian orang menghubungkan insiden hujan mendadak berhenti di Dusun Windusabrang dengan teori spiritual. Apalagi lokasi penemuan candi baru tersebut merupakan daerah yang wingit (keramat.)

Temuan struktur candi di Windusabrang berada di tempuran Kali Juweh dan Sekutu yang berhulu masing-masing di Gunung Merapi dan Merbabu. Di Jawa, titik pertemuan sungai semacam ini sering dipandang sebagai tempat angker.

Festival Lima Gunung digelar sejak 2012 sebagai antitesis dari festival-festival seni dan budaya yang selama ini bersifat eksklusif.

Ditambah tak jauh dari situ, terdapat mata air keramat, Tuk Sanga, yang menjadi sumber air bersih warga. Di mata air ini sebelumnya para tokoh Lima Gunung sempat mengadakan ritual.

Tak ada yang tahu pasti mengapa Windusabrang dipilih menjadi tempat pergelaran ke-6 Festival Lima Gunung tahun 2020. Di tengah pandemi, Komunitas Lima Gunung berhasil menggelar sepuluh pementasan di 10 tempat berbeda. Seluruh rangkaian festival diadakan nyaris tanpa rapat perencanaan, jadwal acara, serta estimasi dana. 

Praktik ini di  luar kelaziman pelaksanaan festival pada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, festival digelar minimal dengan kelengkapan panitia lokal yang bertanggung jawab mendirikan panggung dan/atau menyediakan tempat menginap para tamu.

“Jadi [sekarang] selesai satu rangkaian, sekonyong-konyong, tiba-tiba saja selang berapa hari bisa [digelar] festival lagi. [Itu] yang kadang di luar dugaan. Kami menjelaskannya juga bingung. Liar sekali,” kata Singgih.

Seperti saat akan menggelar pementasan di Pati yang diadakan dadakan. “Di Pati kita hanya bilang, tolong sediakan panggung yang sangat luas. Pokoknya memenuhi protokol kesehatan,” kata Singgih. 

Dari Magelang hanya lima seniman Lima Gunung yang berangkat. Singgih, Tanto Mendut, Haris, serta dua penari: Lira dan Nabila. “Pak Tanto enggak ada target. Kalau nanti sampai Pati (ternyata) hanya kami berlima, Nabila dan Lira diminta menari sebisanya. Atau baca puisi. Pidato terserah, yang penting sudah sampai Pati.”

Penyelenggaraan Festival Lima Gunung dari taun ke tahun membuat para seniman di desa-desa sudah hafal langgamnya. Sehingga ketika rangkaian festival dilaksanakan secara spontan pada 2020 silam, mereka sudah bisa menjalankannya dengan luwes.

Di tengah jalan, Pak Tanto minta poster acara yang diunggah ke media sosial diubah menjadi pementasan di Kudus dan lereng Gunung Muria. Panitia festival di Pati sempat bertanya-tanya apakah mereka jadi ketempatan acara. Di Pati, mereka ternyata sudah ditunggu Gus Mahfud dan Habib Anis Sholeh Ba’asyin pemimpin kelompok Orkes Puisi GusUran.

Pelaksanaan festival tanpa target dan minus rencana itu menurut Riyadi, tokoh utama Komunitas Lima Gunung, punya kelebihan dan kekurangan. Situasi pandemi menyebabkan pementasan terpaksa digelar dengan personel terbatas. Publikasi juga tidak bisa jor-joran. Untuk menghindari kerumunan, disepakati publikasi acara melalui media sosial diunggah hanya 10 menit sebelum pementasan.

“Tapi di sisi lain kita melaksanakan festival tidak terlalu rumit. Tidak mikir penonton dan tamu yang mau hadir. Kita tidak terlalu bentoyong (terbebani),” kata Riyadi saat ditemui di rumahnya di lereng Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusudi, Pakis, Magelang.

Lokasi pementasan yang berpindah-pindah juga menjadi penyegaran bagi para seniman. Jika pada situasi normal pelaksanaan festival dalam tiga hari di satu tempat, sekarang bisa digelar 10 hari di 10 tempat yang berbeda.

Festival Ajang ‘Nggaya’ Seniman Gunung

Riyadi menjelaskan salah satu alasan mengapa Festival Lima Gunung kukuh diadakan meski kahanan (keadaan) sedang dikempit pandemi. Di saat pementasan seni lainnya gulung kelir, seniman Lima Gunung justru mblayang ke Pati, Wonosobo, dan Kadipiro, Bantul, Yogyakarta.

Riyadi, salah satu tokoh Komunitas Lima Gunung. Penyelenggaraan rangkaian Festival Lima Gunung 2020 yang spontan memberikan penyegaran suasana dan aliran kreativitas baru. Baik itu bagi para pemain, maupun penonton. 

Menurut Riyadi ada keterikatan kuat antara seniman Lima Gunung yang mayoritas petani di lereng Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh dengan pementasan. Pementasan seni menjadi hiburan bagi para petani, keluar dari rutinitas kerja sehari-hari. Pementasan mempertemukan kebutuhan seniman dan penonton dalam hubungan saling menguntungkan.

“Pemain ingin diperhatikan penonton. Penonton juga ada imbal baliknya, terhibur dengan apa yang disajikan pemain. Jadi tidak ada pemisahan. Ini [pementasan] sudah bagian dari kebutuhan.”

Pementasan jadi kebutuhan bagi para seniman gunung? “Ketika lapar, kita harus makan. Di situasi apapun. Cara untuk mencari makan di situasi apapun itu pasti punya [kreativitas] sendiri. Ini kan bagian dari panggung seniman rakyat. Seniman wong ndeso,” kata Riyadi.

Kata Riyadi, seniman rakyat dulu dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Seniman rakyat kemudian membuat media pementasan sendiri berupa Festival Lima Gunung. “Ini ruang kreativitas. Tembunge tempat nggo pamer. Nggo nggaya-nggaya seniman gunung. Dan itu menjadi kebanggan tersendiri ketika teman-teman bisa [tampil] di festival.”

Bertolak dari teori “lapar” itu maka seniman yang kemudian menghidupi panggung dan bukan sebaliknya: hidup dari panggung. Seniman bisa berkreasi dimanapun, tidak terbatas pada situasi apapun.

Baca juga: Kesahajaan Tutup Ngisor di Hadapan Corona dan Erupsi Gunung Merapi

Sembilan belas tahun jam terbang menggelar Festival Lima Gunung berturut-turut, membuat para tokoh Lima Gunung sudah khatam peran masing-masing.

Saat Tanto Mendut mendadak menginstruksikan menggelar pentas, otomatis mereka bergerak sesuai keahliannya. Soal dana, sering diselesaikan secara “adat” dengan cara bantingan dari kocek pribadi. Seperti saat akan mengadakan pentas Lima Gunung di Studio Mendut. Singgih bertemu dengan seorang penopeng bernama Irul; perwakilan pemuda Krandengan, Danang; dan Muh, penjaga malam rumah Tanto Mendut.

Iki acarane piyeMeh iuran piro-piro sing nggawe konsumsi? Nah ini kita bicara uang saat ini, tok! Terkumpulah uang Rp80.000,” kata Singgih.   

Uang Rp80.000 itu kemudian dipakai untuk modal menyajikan tumpeng sego putih tanpa lauk selain kerupuk. “Saat itu juga kita membuat acara nari di pinggir kali. Malah yang diliput temen-temen media nasi putihnya, karena di situ ada Gus Yusuf dan Pak Yan Ketua DPRD.”

Para seniman yang terlibat dalam gelaran Festival Lima Gunung di Windusabrang. Tanpa target yang muluk-muluk mereka menampilkan apa yang dimiliki, memanfaatkan festival ini sebagai ruang kreativitas.

Tumpeng nasi putih tanpa ingkung dan perlengkapan lain sebagaimana tradisi tumpengan pada umumnya itu rupanya diartikan dengan cara berbeda oleh Gus Yusuf Chudlori. Baginya, itu adalah simbol masyarakat yang tangguh menghadapi pandemi.

Penyelenggaraan festival bisa lancar sampai selesai juga antara lain lantaran para seniman rakyat ini sudah kulino (terbiasa) menggelar secara rutin pementasan seni di kampung masing-masing.

Kegiatan tradisi seperti Merti Dusun, Selapanan, atau Nyadran sering disisipi pementasan kesenian rakyat Jathilan, Kubro Siswo, atau Gedruk. Pentas digelar sederhana, mengalir apa adanya tanpa perlu mengada-adakan kepentingan yang tidak perlu.  

Baca juga: Grup Lodama: Menari Bersama, Melestarikan Budaya Suku Dani

Untuk penyelenggaraan Festival Lima Gunung tahun 2021, Riyadi memperkirakan salah satunya akan dilakukan secara virtual. Para seniman Lima Gunung bisa pentas di tempat masing-masing kemudian disiarkan sesuai jadwal yang disepakati.

“Gambaran sementara, kita sudah tidak bisa mengingkari kemajuan teknologi. Tetap bisa ditonton orang banyak tapi di lokasi tidak terjadi kerumunan sesuai [protokol kesehatan]. Salah satunya menggunakan metode virtual,” kata Riyadi.

Pentas virtual sempat dicoba pada rangkaian Festival Lima Gunung tahun 2020. Universitas Mulawarman di Samarinda bertindak sebagai tuan rumah. Namun, saat itu pementasan disiarkan lewat Zoom dari Studio Mendut.

Turun Tahta Presiden Lima Gunung

Festival Lima Gunung tahun 2020 ditutup di kompleks Candi Pendem di kaki Merapi dengan pertunjukan seni, pembacaan Guritan dan Suluk. Digelar berbarengan dengan pra-peluncuran novel anyar Bre Redana, Dia Gayatri.

Penyelenggaraan rangkaian Festival Lima Gunung 2020 yang spontan juga merupakan respons terhadap situasi pandemi. Segala keterbatasan yang ada justru membuat mereka bersiasat mencari cara-cara sederhana nan esensial untuk tetap menghidupi panggung festival.

Pada penutupan festival itu juga, Tanto Mendut memutuskan mundur sebagai Presiden Lima Gunung. Konon Tanto terinspirasi cerita Dia Gayatri yang berkisah tentang Gayatri Rajapatni, ibu suri Kerajaan Majapahit.

Cerita Gayatri Rajapatni menemukan jalannya menjadi gagasan bagi Gajah Mada untuk mewujudkan Sumpah Palapa. Gayatri Rajapatni juga yang akhirnya menjadi ilham bagi sang patih pemersatu Nusantara itu untuk mundur dari hiruk pikuk politik Majapahit.  

“Nah Pak Tanto terinspirasi itulah. Untuk mundurnya, [sudah] cerita ke saya [sejak] jauh hari, tapi kapan dan di mananya belum jelas. Seketika malam itu, ‘Wis aku arep mundur sesuk karo Pak Bre.’” kata Singgih.    

Kepada Riyadi saya menanyakan alasan pasti Tanto Mendut mundur. Jawabnya berputar di persoalan mengurus Komunitas Lima Gunung yang anggotanya semakin lama semakin banyak. Tapi tidak ada jawaban final. Sama seperti bagaimana kisah ini dibuka, alasan Tanto mundur sebagai Presiden Lima Gunung juga multitafsir. Saya memutuskan sang seniman laduni berutang cerita kepada saya soal itu.