Logo Spektakel

Home > Sorotan > Tradisi >

Tutur Cerita Tembakau Srinthil

Tutur Cerita Tembakau Srinthil

Dalam obrolan tentang tembakau, di warung kopi, di pertemuan menjelang dan sesudah kenduri, di ruang tunggu kelurahan atau klinik kesehatan, atau bahkan pembicaraan di forum seminar, kerap terselip dan terdengar kata ‘srinthil’. Hampir semua orang tahu kalau kata ini merujuk pada suatu jenis tembakau yang tinggi mutunya dan karena itu juga mahal harganya.

Dalam obrolan tentang tembakau, di warung kopi, di pertemuan menjelang dan sesudah kenduri, di ruang tunggu kelurahan atau klinik kesehatan, atau bahkan pembicaraan di forum seminar, kerap terselip dan terdengar kata ‘srinthil’. Hampir semua orang tahu kalau kata ini merujuk pada suatu jenis tembakau yang tinggi mutunya dan karena itu juga mahal harganya. Meski demikian, karena jarak tertentu dengan dunia tembakau itu, jarang di antara kita yang tahu cukup mendalam bagaimana dan seperti apa sebenarnya srinthil tersebut, serta apa perbedaannya dengan jenis tembakau yang lain. Sedemikian rupa, sehingga di telinga kita, dan mungkin juga benak banyak orang, bukan tidak mungkin srinthil itu lebih merupakan fiksi daripada fakta. (Menguak ‘Ruang Dalam’ Tembakau, Hairus Salim HS)

Ada cerita rakyat yang tak bisa dipisahkan saat ingin mengenal tembakau srinthil lebih jauh. Cerita ini diwariskan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi. Menurut warga, cerita rakyat ini mengungkap asal-usul Dusun Lamuk Legok dan sejarah budidaya tembakau di tempat ini.

Cerita ini bermula dari masa berakhirnya kekuasaan Raja Brawijaya ke-5 Majapahit. Waktu itu, hiduplah seorang petinggi Majapahit bernama Tiknoyo Noto Yudho. Dia bersama abdi kinasih (pengawal) pergi mencari tempat untuk moksa(1) setelah lengser dari jabatannya. Sang panglima ingin moksa di Gunung Sumbing. Untuk menemukan tempat yang tepat di Gunung Sumbing, ia mengikuti pandangan matanya terarah. Saat itu, ia melihat tempat yang nglamat-lamat (samar), terlihat seperti diselimuti fatamorgana. Karenanya ia menyebut tempat ini sebagai Nglamuk (Lamuk). Di tempat inilah Sang Panglima moksa. Setelah Tiknoyo Noto Yudho moksa, perjuangan dalam membangun Nglamuk ini akhirnya diteruskan oleh abdinya. Lama kelamaan, Nglamuk menjadi sebuah pemukiman warga yang sekarang lebih dikenal dengan nama Desa Legoksari.

Desa Legoksari (Nglamuk) berhubungan erat dengan cerita mengenai Ki Ageng Makukuhan. Seseorang yang mengenalkan tanaman tembakau di desa ini. Alkisah, ada seorang murid Sunan Kudus berdarah Cina bernama Ma Kuw Kwan. Ia melarikan diri dari kejaran prajurit Capiturang. Dalam pelariannya, ia berguru pada Sunan Kalijaga. Selain mendalami ajaran Islam, Ma Kuw Kwan diajarkan juga cara bertani. Suatu saat, Sunan Kalijaga mengutus Ma Kuw Kwan untuk menyebarkan Islam di wilayah Kedu melalui pemberian contoh bertani.

Srinthil Nawon Madu.

Rupanya, usaha Ma Kuw Kwan ini berhasil, sehingga wilayah Kedu pun terkenal karena hasil pertaniannya. Keberhasilan ini terdengar sampai telinga Sunan Kudus. Lalu Sunan Kudus mengutus salah satu santrinya yang bernama Bramanthi untuk membawakan tiga macam bibit tanaman untuk diberikan kepada Ma Kuw Kwan, yaitu bibit padi raja lele, bibit padi cempa, dan bibit tanaman tak bernama (yang kelak dikenal sebagai tembakau). Dengan tambahan bibit-bibit ini, lahan pertanian pertanian yang dikelola Ma Kuw Kwan semakin berkembang. Wilayah Kedu pun semakin masyhur kesuburannya. Dengan lidah Jawa, nama Ma Kuw Kwan sendiri kemudian lebih dikenal masyarakat sekitarnya sebagai Ki Ageng Makukuhan.

Suatu ketika, seseorang datang kepada Ki Ageng Makukuhan untuk meminta obat. Untuk mengobatinya, Ki Ageng Makukuhan memberikan kepada orang tersebut salah satu tumbuhan tak bernama yang ditanamnya. Si orang sakit itu akhirnya sembuh. Demi kesembuhannya, orang tersebut memegang tanaman tersebut sambil berkata: “Iki tambaku”, yang berarti “inilah obatku”. Oleh Ki Ageng Makukuhan, ucapan itu dijadikan nama bagi tanaman yang ditanamnya, yaitu ‘tambaku’. Nama ‘tambaku’ kemudian diucapkan dengan versi yang lebih singkat menjadi ‘mbako’. Hingga saat ini, ‘mbako’ adalah kata yang dipakai orang Jawa untuk menyebut tanaman tembakau.

Suatu saat, Sunan Kudus memanggil Ki Ageng Makukuhan, karena sudah lama ia tidak melaporkan perkembangan penyebaran Islam dan hasil panen bibit yang diberikannya. Kepada Sunan Kudus, Ki Ageng Makukuhan mengajukan alasan bahwa ketidakhadirannya yang lama karena ia sedang sibuk menanam dan merawat tanaman tembakau. Dalam laporannya, Ki Ageng Makukuhan mengatakan bahwa masyarakat lebih menyukai tanaman padi, sementara tembakau kurang diminati. Sunan Kudus kemudian menitahkan: “Nek kowe arep miara godhong tambaku sing piguna kanggo warga mu, tutna lakune idig kiye mengko tibane nang ngendi. Kui panggonan sing bakal metu tanduran godhong tambaku sing apik.” (2)

Ilustrasi oleh Agus Setiawan Astu Prastidya

Idig atau rigen yang dilemparkan Sunan Kudus ternyata jatuh di Lamuk, yang membuat sebagian tanah Lamuk amblas, melesak, menyerupai cekungan (legok). Wilayah yang cekung inilah yang sekarang disebut sebagai Dusun Lamuk Legok. Sesuai petunjuk Sunan Kudus, akhirnya Ki Ageng Makukuhan mengutus santrinya yang bernama Dewi Sri Manthili untuk menyebar dukut sewu (3) di wilayah tersebut.

Agar mendapatkan tempat yang terbaik, maka Ki Ageng Makukuhan memberikan pesan kepada Dewi Sri Manthili untuk mengikuti arah terbangnya kinjeng mas (capung emas) sampai ia hinggap di suatu tempat. Ternyata kinjeng mas hinggap di kaki Gunung Sumbing. Dewi Sri pun tetuko (berdiam) di tempat yang dihinggapi kinjeng mas tersebut. Di tempat inilah Dewi Sri Manthili menyebarkan benih tanaman. Saat ini tempat tersebut dikenal oleh warga sebagai Alas Si Kinjeng. Selang beberapa waktu, Dewi Sri Manthili disusul oleh ketiga adiknya, yaitu Dewi Sri Ijo, Dewi Sri Kuning,dan Dewi Sri Lulut.

Baca juga: Menelusuri Lamuk Legok

Ketiganya kemudian berbagi tugas. Dewi Sri Ijo bertugas menjaga dan memelihara tanaman tembakau di ladang. Dewi Sri Kuning bertugas menjaga tanaman tembakau di rumah petani. Petani tembakau di Dusun Lamuk Legok meyakini bahwa puthur (sejenis jamur) kuning yang muncul di daun tembakau pada saat pemeraman merupakan penjelmaan dari Dewi Sri Kuning. Sementara itu, Dewi Sri Lulut menjelma menjadi ulat lulut yang ada di daun tembakau. Bagi para petani tembakau di Dusun Lamuk Legok, keberadaan ulat lulut pada daun tembakau bisa dijadikan pertanda untuk memprediksi jenis tembakau srinthil. Misalnya, ketika petani menyaksikan kemunculan ulat lulut berwarna kuning keemasan, maka petani meyakini hal tersebut sebagai pertanda bahwa tembakau srinthil yang nantinya memiliki harga jual tinggi adalah tembakau srinthil enom (kuning muda).

Ilustrasi oleh Agus Setiawan Astu Prastidya

Keampuhan tanaman tembakau sebagai obat rupanya terdengar sampai telinga Mbok Rondho. Dirinya yang sudah lama terbaring lumpuh mengutus suaminya untuk mencari daun tembakau tersebut sampai ke lereng Gunung Sumbing. Setelah daun tembakau itu didapatkannya, Mbok Rondho merajang daun tersebut lalu membalurkan ke seluruh tubuhnya. Tak dinyana, beberapa waktu kemudian penyakitnya tersembuhkan. Tubuhnya pulih seperti sediakala. Setelah dipakai obat, daun tembakau milik Mbok Rondho ternyata masih tersisa. Setelah beberapa waktu disimpan, daun tembakau tersebut berubah menjadi benyek (lengket) dan muncul puthur berwarna kuning. Dari daun tersebut tercium aroma yang khas. Karena menganggapnya berharga, Mbok Rondho mencoba menyelamatkan daun tersebut dengan cara dirajang lalu dijemur, agar bisa disimpan dan dimanfaatkan lagi suatu saat nanti.

Saat dijemur, ternyata daun tembakau ini menggumpal. Akhirnya gumpalan daun tembakau ini ia simpan dengan dibungkus debog (pelepah pisang kering). Rupanya, pelepah pisang ini menjadikan daun tembakau yang kering menjadi lemes. Tembakau yang disimpannya itu oleh Mbok Rondho ditambahkannya ketika nginang. Tak disangka, susurnya terasa lebih nikmat. Melihat istrinya selalu menikmati daun tambaku itu, suaminya pun jadi ingin mencobanya. Untuk menikmati daun tembakau, suami Mbok Rondho tidak ikut nyusur, namun melintingnya dengan klaras (daun pisang kering). Ia biasa menghisap lintingannya disela kerjanya. Dari kebiasaan ini ia mendapati bahwa lintingan ini ndayani, artinya membuatnya tetap enerjik walaupun tidak makan.

Tidak cukup jelas siapa Mbok Rondho dan suaminya itu. Tetapi masyarakat Dusun Lamuk Legok meyakini bahwa Mbok Rondho dan suaminya ini adalah penduduk pertama Lamuk. Warga menyebut mereka sebagai Nyai Glidhig dan Kyai Glidhig. Cara mereka dalam mengolah dan memanfaatkan tembakau ini yang akhirnya ditiru masyarakat Desa Legoksari. Cara tersebut masih bisa dijumpai sampai sekarang, yaitu daun tembakau diperam, diiris (dirajang), dijemur, baru kemudian dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Proses merajang daun tembakau inilah yang merupakan asal-usul mengapa tembakau ini disebut dengan tembakau rajangan.

Jika dikaitkan dengan kerata basa (asal-usul bahasa), penamaan tembakau srinthil berasal dari kalimat “Sri-ne nginthil”. ‘Sri’ dalam kata ini merujuk kepada Dewi Sri, yang bagi masyarakat Jawa dipercaya sebagai dewi yang mengendalikan kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran. Sedangkan kata ‘nginthil’ berarti mengikuti. Karena itu, jika tembakau miliknya menjadi tembakau srinthil, petani tembakau Dusun Lamuk Legok meyakini bahwa keberkahan Dewi Sri akan mengikutinya. Keberkahan ini dikaitkan dengan tingginya nilai ekonomis tembakau srinthil.

Tingginya nilai ekonomis ini dipengaruhi, salah satunya, oleh tingginya permintaan pasar, sementara persediannya tidak banyak. Pada tahun 2009 harga tembakau srinthil mencapai Rp. 500 ribu−Rp. 700 ribu/kg. Bandingkan dengan harga tembakau rajangan bukan srinthil yang hanya Rp. 125 ribu/kg. Bahkan, pada tahun 2015, tembakau srinthil bisa mencapai Rp. 1,25 juta/kg ketika harga tembakau rajangan bukan srinthil pada tahun sama hanya seharga Rp. 55 ribu/kg. Karena harga srinthil yang fantastis ini, setiap kali mbakon (musim panen tembakau) petani di lereng Gunung Sumbing selalu berharap tembakau panenannya menjadi tembakau srinthil, agar kemakmuran dan kekayaan selalu mengikutinya (nginthil).[]

 

(1) Moksa (Sansekerta) atau mokswa (Jawa) adalah sebuah konsep agama Hindu dan Buddha yang berarti pelepasan atau pembebasan dari ikatan duniawi dan pelepasan dari putaran reinkarnasi kehidupan. Moksa merupakan tujuan tertinggi dari kehidupan.

(2) Artinya: “Kalau kamu mau memelihara daun tambaku yang berguna untuk wargamu, ikuti rigen ini sampai jatuh di suatu tempat. Di tempat (jatuhnya rigen) itulah akan tumbuh tanaman daun tambaku yang bagus.”

(3) Dukut sewu adalah sebutan untuk bermacam benih tanaman yang salah satu benihnya merupakan benih tembakau. Karena banyaknya macam dari bibit tanaman tersebut kemudian disebut dengan nama dukut sewu. Dukut sewu ini merupakan simbol kesejahteraan bagi masyarakat karena benih-benih tersebut akan tumbuh menjadi tanaman yang memenuhi kebutuhan manusia.


Tulisan ini adalah cukilan dari buku berujudul Srinthil; Pusaka Saujana Lereng Sumbing karya Elva Laily yang diterbitkan oleh Pustaka Indonesia (ISBN: 978-602-1318-28-7). Bila Anda berminat untuk membeli buku ini, silahkan email kami di kontak@spektakel.id.