Logo Spektakel

Home > Folklor > Komunitas >

Di Dalam Layar Telepon Seluler Cerdas

Di Dalam Layar Telepon Seluler Cerdas

Babak I Dan Bandung bagiku bukan cuma urusan wilayah belaka. Baiq, Pidi dan Danilla. “Dan Bandung”. Dilan 1990-1991 (Original Motion Picture Soundtrack), Warner Music Indonesia, 2019

Notifikasi panggilan video dengan nama Istriku muncul di layar ponselku. Segera saya mengeklik tombol spasi di papan ketik laptop, untuk menjeda film yang sebelumnya sedang ditonton, dan mengangkat panggilan.

“Dokter Bapak, ada yang sedang sakit,” kata Ibu.

Saya menarik napas dan membuangnya perlahan. Sekali tarikan lagi,

“Anak Anaïs, silakan masuk!”

Seketika kernyitan bagian atas wajah Anaïs mengisi layar ponselku, perlahan Ibu menggerakkan ponsel untuk memperkecil tangkapan kamera ponselnya hingga Anais terlihat utuh di layarku.

“Dokter Bapak, Anaïs demam,” tampak Anaïs sedang tiduran dengan raut wajah serius dan mata setengah tertutup.

“Apakah kamu sudah periksa suhu tubuh?” tanyaku

Dia segera menempelkan termometer ke ketiaknya, lalu mulutnya mengeluarkan suara,

Biipbiippp biipbiiiippp

“Berapa suhumu?” tanyaku

“Tujuh delapan koma derajat,” jawabnya berusaha tanpa gairah, kemudian Ia jatuhkan kepalanya ke bantal. Kelopak matanya tampak bergerak-gerak sambil masih dalam keadaan terpejam.

“Wah, gawat!” jawabku, “Saya rasa kamu harus segera makan es krim untuk meredakan panasmu.” Dia menghela napas dalam, “Uh, baiklah...”

Melalui kamera ponsel Ibu, saya mengintip Anaïs menyunggingkan kedua sisi bibirnya.

*

Babak II

"Kuberanikan diri untuk memulainya, tapi mengapa bibirku tak dapat bergerak, terasa berat..."

Panduwinata, Vina. “Dia”. Citra Ceria, Jackson Records, 1984.

Kugeser logo gagang telepon berwarna hijau dan mendadak layar ponsel sudah dipenuhi wajah Huma yang genap berusia tiga bulan.

“Halooo!” sapaku.

Dia memandangku.

“Huma-humaaa! Sedang apa?”

Dia tetap memandangku. Dari sebelahnya, terdengar Anais berseru lantang, meskipun tak jelas apa yang dikatakannya.

“Huma sedang main dengan Anaïs, ya?” Dia masih memandangku. “Attaataataaa taattaaa taaa,” cobaku.

Huma masih saja memandangku tanpa mengeluarkan suara. Dari arah samping kirinya suara Anais semakin keras masuk mikrofon ponsel Ibu. Saya hampir kehabisan ide cara menyapa bayi sampai diselamatkan oleh Ibu yang mengalihkan pandangan kamera ke arah Anaïs.

“Wah, ada yang sedang bermain puzzle!” kumulai obrolan. Anais hening membelakangi kamera.

“Wow, keretanya sudah hampir jadi, tuh!” lanjutku.

Anais tetap membelakangi kamera sambil pelan-pelan tangannya mengambil potongan puzzle. Gerakannya benar-benar sangat pelan, sampai kuharus sesekali melirik jumlah batang indikator koneksi jaringan seluler.

“Ada kungkang sedang bermain puzzle, Bu,” kataku.

“Bukan, Anaïs hanya sedang serius,” jawab Anais.

“Anaïs sedang serius, Pak,” ulang Ibu.

Layar ponsel masih memperlihatkan punggung, rambut ikal dan tangan Anaïs yang bergerak semakin pelan mengambil potongan puzzle. Dari sampingnya terdengar Huma berteriak-teriak keras.

“Baiklah, saya juga mau ikut serius,”gabungku.

Tinggal tersisa satu bagian puzzle yang belum ditempelkan. Anaïs masih membelakangi kamera. Dengan hati-hati tangan kirinya mencoba meraih satu bagian terakhir. Di tengah perjalanan, tangan tersebut berhenti dan mundur teratur.

“Apa yang akan kamu lakukan, Noise?” tanyaku.

Anaïs tak berusaha mengubah posisi duduknya, kamera masih berada di belakangnya. Sedangkan dari sebelahnya terdengar suara bibir Huma sedang menyembur-sembur ludah dengan seru.

Kamera beralih menangkap Huma yang terlihat sedang menyelesaikan satu semburan, sebelum kemudian diam memandangku dengan wajah bulatnya yang tak mungkin tidak membuatku tersenyum lebar.

Dari sebelahnya terdengar Anaïs berkata, “Ini hampir berhasil! Lihat, lihat!”

Kamera beralih lagi, memperlihatkan Anaïs yang hendak menempelkan bagian akhir puzzle dalam gerak lambat.

Tap!

Gambar utuh kereta di papan puzzle setengah terlihat dari layar ponsel.

“Selesai,” Anaïs berkata datar sambil tetap tidak mengubah posisi duduknya.

“Sepertinya sekarang saya harus mengatakan selamat kepadamu,” ujarku tersaingi oleh teriakan Huma yang kembali terdengar.

Kamera Ibu menjauhi Anaïs dan Huma sampai keduanya muat ke dalam layar. Dalam seketika keduanya menoleh ke arah kamera dan kembali terdiam saat tahu saya sedang memandangi mereka.

“Kita tutup, ya, teleponnya,” ajak Ibu. “Jangan,” sayup suara Anaïs menyusul. 

*

Babak III

Oh, Kasihku, Kau izinkanku berlaga mengarungi dunia di sisimu s’lamanya. Laleilmanino.“Rapsodi”. Laleilmanino Version, LALEILMANINO. 2022.

Tiga jam berlalu sejak pesawat yang aku tumpangi didorong mundur menjauh dari garbarata yang menjulur dari salah satu pintu keberangkatan bandar udara Sultan Babullah. Dua waktu makan, satu buah buku, satu album Neil Young dan satu album Sting, tiga kali tanda kenakan sabuk pengaman diaktifkan, dua menu yang berbeda dan satu pramugari yang sama yang menyajikannya. Selama itu, tiga kali sudah suara awak penerbang bernada ringan terdengar dari pengeras suara kabin: dari getaran suaranya dapat dipastikan bahwa belum genap empat garis bar ada di masing-masing pundaknya. Begitulah cara dugaan berubah menjadi kepastian.

Ada dua nada yang mendahului setiap pengumuman yang disampaikan oleh awak ruang kemudi. Saya menyukai musik, sempat bergabung di sebuah kelompok musik, tapi tak terlalu becus ketika harus berurusan dengan tangga nada. Teman-temanku takkan memercayai hal ini. Semua yang pernah menyaksikanku memetik dawai di atas undakan panggung takkan memakan pengakuan ini. Tapi itu adanya. Ada masanya di mana kepercayaan itu mengecewakan, bukan sebuah hal yang besar.

Saya ingat-ingat nada harmoni yang dihasilkan petikan senar-senar gitar. Asal saja: Mi-Do. Saya pikir itulah dua nada yang selalu terdengar pra-sebuah pengumuman. Seyakin orang-orang di bawah panggung percaya terhadap keterampilan para pementas, seyakin itulah aku terhadap respon otak bahwa dua nada tersebut adalah Mi dan Do. Dan begitulah sebuah pemikiran berubah menjadi keyakinan.

Tak banyak yang bisa dilakukan dengan posisi duduk kursi apitan di pesawat Boeing 738 atau jenis pesawat lain yang seukurannya. Cukup susah untuk menengokkan kepala ke arah jendela tanpa terdeteksi periferal penumpang yang duduk di sisi terluar pesawat, karena lemparan pandang secara tiba-tiba ke arahmu itu adalah hal yang cukup mengganggu. Juga cukup merepotkan untuk harus memermisikan diri kepada penumpang yang duduk di sisi lorong setiap kali hendak keluar dari baris duduk, belum lagi kalau harus membangunkannya. Pukul 09:00 WIB, ketinggian jelajah mulai berkurang. Alunan tembang Fragile di penyuara jemala mendadak berhenti, disusul dengan nada suara berat mengikuti berikutnya. Suara yang mantap, yakin dan tanpa ada getar keraguan, bahkan ketika dia melewatkan beberapa preposisi saat menerjemahkan pengumumannya ke dalam bahasa Inggris. Asumsiku, itu pasti suara si Pilot pemimpin penerbangan. Kuyakini itu suara yang datang dari orang yang duduk di bagian dek penerbangan sebelah kiri, bukan lagi suara si Perwira Pertama seperti tiga pengumuman sebelumnya. Dan begitulah cara asumsi menjadi keyakinan.

Pesawat akan mendarat di bandar udara Soekarno-Hatta pukul 09:30 WIB, begitu penuturannya. Artinya lima belas menit lebih cepat dari yang dijadwalkan. Halaman 141. Kututup buku Slaughterhouse-five. Satu tarikan dalam napas, kupalingkan kepala ke kanan untuk sekedar melihat pemandangan melalui jendela. Cepat gerak satu pasang mata tertuju ke arahku, kusadari itu sama seperti pemilik sepasang mata itu menyadari tolehan tiba-tibaku: periferal. Kuhembuskan perlahan napasku, lirik orang yang duduk di sebelah kananku itu dan sunggingkan satu sudut bibirku padanya. Bapak itu kembali menolehkan mukanya ke arah pemandangan di luar. Berdasarkan pengalamanku, pastinya dia merasa terganggu. Semudah itulah sebuah kejadian empiris personal menjadi pengalaman umat. Saya ceritakan kejadian ini kepada Anaïs, anak sulungku yang belum genap lima tahun, melalui panggilan video, sepanjang lintasan Tol Purbaleunyi dalam perjalanan ke Bandung kemudian. Dia tampak sepaham denganku. Meski hanya dengan anggukan dan kernyitan dahi, kuyakin dia turut merasakan apa yang kualami. Semudah itulah sebuah kejadian empiris personal menjadi pengalaman universal.

Panjang kubercerita hingga tak sadar mobil sudah berhenti dengan sempurna. Suara gemercik hujan perlahan terdengar semakin jelas, paralel dengan paripurnanya bukaan pintu geser mobil yang kutumpangi. Kuawasi layar ponsel yang sedari tadi kugenggam, latar kuning kini tampak di belakang wajah Anaïs. Kumerunduk menuruni undak pijakan mobil. Sejurus kemudian kudongakkan kepala, di depanku gadis kecil berbusana tutu tampak menunduk memperhatikan gawai yang dipegang salah satu tangannya, sembari satu tangan lainnya berusaha dengan keras menstabilkan gagang payung kuning yang tergenggam erat.

“Anaïs, sepertinya saya sudah tiba di Bandung,” ujarku pada layar gawai.

“Bapak, tetapi Bandung sedang hujan. Ah sudahlah, nanti payung saya untuk Bapak saja,” monolognya pada layar telepon seluler cerdas.

***