Logo Spektakel

Home > Folklor >

Dia Yang Tak Bernama

Dia Yang Tak Bernama

Dia tidak bernama buatku, tetapi kami punya sejarah singkat, singkat sekali. Bertahun lampau, dalam perjalanan pulang, setengah mabuk, sosok ini melambai menghentikan laju mobilku yang memang tidak kencang. Aku berhenti.

Dari jendela dia bilang ingin menumpang pulang, ke arah Lenteng Agung. Maka kupersilahkan naik.

Mobil baru jalan sesaat, sosok ini menawarkan jasa sedot titit. Aku tersenyum dan bilang tidak, tapi terima kasih sudah ditawari. Dia memaksa.

"Saya butuh uang! Saya belum makan 2 hari!", ujarnya.

Aku berikan ke dia selembar 20 dan 10 ribu.

"Hanya itu yang saya punya saat ini, silahkan ambil".

Wajahnya terlihat amarah, tepatnya putus asa. Dia minta turun. Kami berpisah. Benarkah?

Ternyata tidak. Selalu ada pertemuan.

Sekali waktu, aku lihat dia di pinggir jalan remang, seberang rel kereta Pasar Minggu. Mengangkat sebongkah batu besar sekali dan dilemparnya sembari teriak; "anjing!".

Semua itu tampak seperti adegan slow motion. Tukang ojek yang aku tumpangi celetuk; "wah udah gila dia".

"Tidak, dia hanya lapar. Sudah lebih dari dua hari belum makan", balasku.

Pertemuan tetap kami adalah di jembatan penyeberangan stasiun kereta Tanjung Barat. Di situ, seperti yang kamu bisa lihat di foto, duduk dia dengan tatapan kosong, kadang nanar.

Aku pernah berdiri di jembatan itu satu jam lamanya, hanya untuk lihat kapan dia akan beranjak. Dia bergeming sampai aku meninggalkannya.

"Lapar", ucap dia lirih namun bisa terdengar - ketika aku melewatinya. Dalam hati aku hanya bisa berjanji, kapan waktu akan berbagi rezeki.

Kurogoh kantong, rupanya kosong.

Sial.