Logo Spektakel

Home > Folklor >

Malam Bu Maryam

Malam Bu Maryam

Jalanan Jakarta lengang, terasa mencekam. Angin malam berhembus, mengisi jalanan yang sepi. Tidak seperti biasanya, kota ini tak mengenal sepi - tapi kini tampak tak lagi bernyawa. Sesekali motor dan mobil melintas, lajunya tidak kencang. Tampak hendak menikmati jalan yang lengang.

Dari Menteng menuju Tanjung Barat, melintasi Saharjo terus lurus sampai Pasar Minggu. Mobil yang aku bawa lajunya pun tak seberapa. Pukul dua lewat lima puluh lima menit, ketika melintas underpass Pasar Minggu.

Kutoleh muka ke seberang jalan, ketika aku lihat sosok perempuan renta duduk di trotoar underpass, hanya ditemani tas warna biru tua. Sudah kesekian ribu kali underpass ini aku lewati, tak pernah aku lihat ada orang duduk di situ, gelandangan sekali pun.

Agak ragu, tapi akhirnya aku putuskan untuk putar balik - menghampiri sosok itu. Benar, perempuan tua duduk sendiri hanya ditemani tas biru

"Ibu, sedang apa? Kenapa duduk sendiri di sini?", tanyaku pelan.

Terlihat takut di wajahnya, matanya terlihat putus asa.

"Saya sedang tunggu mobil bak pisang", jawabnya.

Jelas, alis mata aku terangkat. Jawabannya tidak kuduga.

"Kenapa tunggu mobil bak pisang? Ibu mau ke mana?".

"Saya mau ke Lampung".

"Naik mobil bak pisang?".

"Iya, mau numpang. Kata orang biasanya pagi ada mobil bak yang angkut pisang balik ke Lampung. Saya mau numpang".

Aku terdiam sebentar.

"Ibu saya orang Lampung, dari Talangpadang. Saya tahu kalau ke sana biasanya naik bis Damri dari Gambir. Ibu mau saya antar ke Gambir?".

"Iya, biasanya saya naik Damri sampai (Tanjung) Karang, tapi...", tak lanjut ia berucap.

"Kalau ibu tidak punya ongkos, jangan khawatir. Saya bantu. Kalau ibu mau, mari saya antar ke Gambir".

"Anak sungguh mau antar?", ujarnya tak percaya.

"Iya bu, saya antar. Ibu tidak usah ragu".

Maka kami berdua melaju ke arah Gambir. Si ibu tampak lebih tenang, keraguannya terasa pupus. Di perjalanan, ia pun bercerita. Namanya Ibu Maryam, 54 tahun. Lahir di Lumajang, transmigrasi ke Metro, Lampung. "Ikut programnya Pak Harto", begitu kata dia.

Rupanya Bu Maryam baru pulang kampung, setelah bertahun-tahun tak mengunjungi famili. Kemarin dini hari tiba di stasiun Senen. Niatnya memang mau naik Damri dari Gambir di pagi hari. Malam itu hujan, maka Bu Maryam memutuskan istirahat dulu di mushola stasiun Senen.

Petaka tak bisa dihindari, dompetnya hilang dicuri ketika ia sedang lelap. Semua uangnya amblas. Bu Maryam tak punya hape atau kartu ATM. Termangu ia di mushola, tak tahu harus bagaimana.

Satpam stasiun Senen membawa Bu Maryam ke pos, singkat cerita Bu Maryam dibawa ke panti sosial dan menginap semalam di sana. Tampaknya tak ada yang bisa memberikan jawaban, bagaimana caranya Bu Maryam bisa kembali ke Lampung.

Hingga seseorang punya informasi bila di Pasar Minggu ada mobil-mobil bak yang membawa pisang dari Lampung dan Bu Maryam bisa menumpang. Maka, Bu Maryam malam ini diantar ke Pasar Minggu, diturunkannya di terminal dengan harapan akan ada mobil bak pisang dari Lampung yang berkenan memberinya tumpangan.

Nasib belum berpihak, tidak ada mobil bak yang hendak berangkat. "Biasanya nanti pagi, jam 7an", begitu kata seseorang. Bu Maryam memutuskan untuk menunggu di terminal, tetapi lama kelamaan jadi tidak enak sendiri. Semakin malam, semakin ramai pedagang menata jualan. Mata orang-orang serta celoteh yang bertanya ini-itu kepadanya, membuat Bu Maryam memutuskan untuk pergi.

Maka, bertemulah kami di underpass itu.

Jalanan Jakarta yang lengang membuat perjalanan Pasar Minggu - Gambir terasa cepat, ditambah perbincangan kami. Tiba kami di halte Damri, bergegas cari informasi bis yang berangkat paling pagi. Semua terkendali.

Bu Maryam tampak lega, aku juga. Kami bertukar sepatah dua kata, sebelum aku pamit. "Hati-hati ya bu, uangnya disimpan baik-baik", pesanku.

Bu Maryam mengangguk. Kami berjabat tangan. Jalanan Jakarta lengang, malam terasa mencekam.