Logo Spektakel

Home > Folklor >

Si Kancil dan Pencurian Mentimun

Si Kancil dan Pencurian Mentimun

Teks: Buteng
Foto: Redaksi

Si Kancil dan Pencurian Mentimun

“Si Kancil anak nakal. Suka mencuri mentimun.Ayo lekas dikejar. Jangan diberi ampun”

Api menyala, berkobar dan melenyapkan apa saja dihadapannya. Semuanya nyata dalam pelupuk mata kancil. Saat teriak, lenguh, kokok, aum yang saat itu berarti ketakutan dan kesakitan adalah simfoni yang mengantarkan air matanya menetes. “Hutan kita lenyap”, bisik kancil lirih. Entah ini hari keberapa sejak kebakaran itu berlangsung. Ia siuman dari pingsannya. Haus menusuk tenggorokannya dan lapar mengoyak perutnya.

Arang, gosong. kepulan asap dan bau sangit, sama-sama mengudara seperti siaran radio saat ini.3 Sepi pendengar. Padahal memberitakan hal nyata. Mentari menyengat, hawa panas memeras keringat semua mahluk hidup yang tersisa, kalau tak mati. Lainnya me-layu dan mati.

Krucuk-krucuk, nyanyi cacing diperut kancil. Sejauh mata memandang hanya arang, menghitam, sangit. Semua terbakar. Tak ada buah-buahan, dedaunan atau apapun yang bisa dimakan. Kepulan asap menusuki mata dan paru-paru.4 

“Bertahan atau kalah!”. Dan kalah berarti mati. Di kepala Kancil hanya ada jargon bergerak dan terus bergerak. Dia tahu diam hanya akan membuatnya membusuk dalam kondisi seperti ini. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan….

“Aku tidak mau mati.”

Semua kecamuk itu meruang dalam kepalanya. Lalu terganggu. Sudut matanya menatap hijau. Ya hijau yang ada di ujung. Di ujung sana, nun jauh pada mata yang terjangkau. 

“Apakah semua menjadi tolol?”

“Apa yang tersisa dari kebakaran kemarin?”

“Atau memang segala cerapan indra telah berubah karena paksaan kondisi?”

“Itu hanya fatamorgana!” Ia menjawabnya sendiri.

Bahkan oksigen yang ada direbut si jago merah untuk membuas di hutan ini. Bongkah-bongkah arang, asap dan bau segala yang terbakar menguap ke atas. Liukan-liukan asap itu sisa dari kehidupan yang pernah ada. Seringai kancil mencoba tersenyum.

Ia turun ke cekungan tanah. Merebahkan dirinya dengan bersandar di salah satu sudut cekungan, menghadap “hijau” yang Ia lihat tadi. Kakinya penuh luka bakar. Ia menjilatinya. Berharap ini akan membantu memulihkan lukanya. Berharap liurnya menjadi obat. Apa yang bisa diandalkan dalam situasi seperti ini?

Melemparkan jauh pandangnya. Betul, itu hijau. Seperti rimbunan atau semak. Akalnya Kembali terganggu. 

“Apa mungkin?”

Susah payah Ia mencoba bangkit dan menegakkan badan untuk menegaskan pengelihatannya. Kakinya nyeri dan letih. Terhuyung bangkit dan menatap jauh. 

“Betul, itu rimbunan atau semak”.

Kancil menyeret langkahnya. Kini baginya sudah pasti. Minuman dan makanan.

Remehnya hidup. Hanya seteguk air dan sesuap makanan. Kelangsungan hidup dapat berlangsung. Sisi lain, banyak cerita orang-orang mengejar segalanya untuk hidup. Tentu dengan segala caranya. Harta, tahta, kepopuleran… Seteguk air dan sesuap makan.

Ya seteguk air dan sesuap makan. Hidup dapat berlangsung. Secara biologis syarat hidup sudah terpenuhi. Selanjutnya berkembang biak. Untuk memastikan keberlangsungan. Kenapa harus begitu rumit. 

Harimau-harimau saling bergelut di kelompoknya untuk betina dan pimpinan kelompok. Atau bertarung dengan harimau diluar kelompoknya untuk wilayah kekuasaan. Harimau betina memburu hewan lain untuk makanan baginya dan anaknya. Padahal hewan lain itu juga sedang mencari makan untuk anaknya. Padahal begitu luasnya hutan ini.

Ternyata memang tak mudah. Dengan kondisi fisik yang seperti ini. Hanya pemikirannya yang mendayai perjalanannya, harapan. Ya harapan.

“Ahhhhh.” 

Lututnya gemetar. Darah mengalir dikakinya yang terluka. Tubuhnya yang lemah. Nadir daya biologis penanda hidupnya meredup. Pengelihatannya berkabut. Keringat didahinya mengucur. Tubuhnya menyerah.

Terkapar dengan wajah terjerembab di tanah. Ia berusaha telekan kepalanya ke kanan menjaga nafasnya tetap berhembus-hirup. Sengal menyengal. Terasa langit menekan punggungnya tepat di belakang dadanya. Gelap.

Mendung menggelayut. Angin lembab membawa uap air basah dan gerah. Bayangkan jika ikan sarden jika hidup-hidup didalam kaleng. Atau ikan cupang dalam kantong plastik ukuran setengah kilo dengan komposisi setengah air dan setengah udara dijajakan dipinggir jalan atau pasar-pasar kaget ditengah hari.

Angin berjalan perlahan, membawa beban gumpalan awan yang siap tumpah. Kini angin yang tadinya malas, berlarian saling mengejar.memilin semuanya dalam tiupan yang makin lama makin menguat seakan ingin membersihkan bekas kebakaran hutan ini dengan sekali sapuan.

Titik air mulai jatuh satu-satu. Menusuk pori-pori tanah kerontang yang terbakar. Lalu menghilang. Semua terserap seperti saat semua terbakar. Semuanya hilang. Rinai ini semakin rapat, menampar tanah kering. Seakan ingin membangunkannya dari segala kehilangan.

Ia berlari secepat dan sekuat dia bisa. Tujuannya cuma satu. Rimbunan yang pasti menyimpan sekian banyak makanan dan air. Onggokan bakaran dan asap sisa jago merah ditelan hujan. Ruap bau karbon mengangkasa. 

Sesekali terpeleset, karena jalanan menjadi licin karena hujan. Hujan sejauh pengetahuannya selama ini memberi rahmat. Menumbuhkan yang telah mati dan terkubur. Kini harapannya bernas. 

“Aku takkan berhenti sebelum sampai.”

Tersungkur, bangkit, melompat dan berlari lagi. Hanya berlari. 

Seperti dalam teori, usaha takkan mengkhianati hasil. Lalu bagaimana dengan nasib yang tak bisa di tawar? Kini dihadapannya hamparan kebun mentimun seluas mata memandang. Tanpa pagar, tanpa anjing penjaga, tanpa tulisan “Kebun ini dilindungi pasal 167 KUHP, dilarang memasuki area dan mencurinya.”

Buah mentimun menggantung di bilah-bilah ajir5 di sepanjang tegalan yang rapi. 

“Saatnya berpesta.”

Ia menahan liurnya. Ia menciumi ranum mentimun yang penuh kandungan air itu. Memang Tuhan sangat adil, bahkan di gurun pasir pun ditumbuhkan Kaktus yang kandungan airnya hampir sama dengan mentimun.

“Tidak.”

Ini pasti ada yang punya. Ajir dan tegalan yang tertata rapi. Ladang yang bersih. Ini ditanam dan rawat dengan baik. Yang menanamnya menginginkan mentimun ini tumbuh baik, tentu panen yang baik nantinya. Aku mencurinya jika mengambilnya tanpa meminta ijin pemiliknya.

Apa jadinya jika tanamanmu yang dicuri. Saat kamu mengharapkan panen yang melimpah untuk membayar tiap tetes keringat dan waktu yang telah kamu habiskan untuk mewujudkannya. Menghabiskan setiap waktu yang harusnya kamu lakukan untuk hal-hak yang menyenangkan hatimu seperti memancing, bersama keluarga atau me time lainnya. Sesuatu hal yang kini menjadi “bernilai”. 

Harapan. Ya semua harapan itu bernilai bagi subjek yang memperhitungkannya. Harapan-harapan mensyaratkan aksi pencapaian dengan sekian apa yang harus dibayarnya. Ia berhenti menciumi mentimun. Ia menatapnya. Seakan ada sekarung mentimun diletakkan diatas dadanya. 

Angin mengajak menari daun-daun mentimun. Namun langit seakan-akan diam. Nun diatas gumpalan awan bergerak pelan, seakan tak bergerak. Cahaya matahari membelah bayangan daun-daun dengan garis lurus bernuansa terang dan redup.

“Apa artinya satu buah mentimun dari ribuan atau jutaan buah mentimun ranum siap petik disini?”

Ladang ini begitu luas. Sejauh mata memandang. Semuanya mentimun ranum siap petik. Jika satu pohon menghasilkan  12-15 buah, ada berapa banyak pohon disini? Rata-rata mentimun ini sekitar 300 gram. Satu pohon bisa menghasilkan 3,5 – 4,5 kilogram. Berapa ton yang bisa dipanen dari ladang sejauh mata memandang.

Ia mendekati mentimun. Kini Ia tidak hanya menciuminya. Ia mulai menjilatinya. 

“Apa artimu di antara jutaan mentimun lainnya?”.

Ia tersenyum. Ini bukan pencurian. Hanya satu. Hanya untuk mengganjal perut keroncongannya. Hanya untuk melangsungkan hidup. 

Apa ruginya sekian ribu ton jika kelihangan 300 gram. Toh bisa saja panen ini gagal dimakan belalang atau cengcorang. Atau tikus. Atau ludes terbakar dan dilanda banjir. Musnah. Logika ini bahkan digunakan sebagian “ustadz” untuk mengkampanyekan sedekah. 

“Sisi lainnya apa yang salah dengan kelaparan?”

Bukankah dunia diciptakan dengan segala kecukupan bagi semua yang dilahirkan di atasnya6? Kenapa harus ada kelaparan? Konon sekarang kelaparan sengaja diciptakan. Sama seperti kemiskinan dan kebodohan. 

“Hufffft.” “Aku butuh makan bukan butuh mikir.” 

Giginya menancap di daging mentimun, tepat di bagian tengahnya yang tambun. Gelinyar segar dan manis menyebar ditenggorokannya.

“Hmmmmm.”

Ia mulai nyokot sewu sekedik7 mentimun. Sayang rasanya jika tidak dinikmati, pikirnya. Mentimun ini menjadi demikian legit. Semuanya menjadi nikmat dalam keadaan lapar. Tak perlu memilih dalam lapar. Apa yang ditemukan itu yang dimakan. Menjadi sedemikian murni perjodohan kita dengan takdir. Batas hidup ada diujung mentimun. 

Entah mentimun keberapa yang membuatnya bersendawa dan sadar kalau perutnya penuh. Gas diperutnya terdorong melalui kerongkongan dan meledak dimulut. ia merebahkan badan diantara tegalan. Angin yang berhembus mengelus kulitnya dan membuainya. Ia tertidur.

Hujan menyisakan angin dingin. Semuanya basah. Matahari masih terlihat. Namun rotasi bumi memastikan kita memang berputar ketimur. Mungkin sejatinya, perjalanan Biksu Tong Sam Cong ke barat agar dapat terus disinari, matahari sebagai lambang pencerahan. Tiga orang murid silumannya, adalah potensi kejahatan yang ada dalam diri manusia. Tamak, kebodohan batin dan kebencian. 

Ketiga muridnya sangat sakti dan Biksu Tong sendiri tak berdaya dalam keduniawian. Ketiga muridnya lah yang seringkali menyelesaikan masalah dalam perjalanan ke barat. Namun saat semuanya tak terkendali maka Biksu Tong akan membacakan mantra pemberian Dewi Kuan-yin (Avaloekitsevara Bodhisattva) yang tidak lain adalah Metta atau Kasih Sayang tidak terhingga.8

Air masih menitik satu-satu. Ricik air mengalir ke permukaan yang lebih rendah terdengar Dimana-mana.  Wajah sebelah kiri kancil masih menempel ditanah saat ia membuka matanya. Nyeri di kakinya merambat keseluruh tubuhnya yang letih. Peredaran darahnya yang terhambat membuat memar disebagian luka dan lebamnya. 

Kancil berusaha untuk terlentang. Mengatur nafasnya. Berusaha bersandar pada dinding cekungan dan menghadap kearah rimbunan yang Ia lihat sebelum Ia tersungkur pingsan. Semuanya telah meredup menghitam. Jingga di barat terlanjur memekat keunguan. 

Kini bukan hanya letih, lapar dan luka yang membuatnya tersiksa. Dingin memeluknya perlahan. Seperti sanca hitam besar yang menggeretakkan tulang-tulangnya. Semuanya hanya menggelap dan hitam dihadapannya kini.

“Apa yang dapat membuatmu bertahan hidup saat semuanya tak terlihat dan tak mampu berbuat apa-apa lagi karena keterbatasanmu?” 

Ia bertanya pada dirinya sendiri. 

Hanya mimpi. Impian yang mampu membuat kita bertahan.

Yogyakarta, 21 Mei 2025

Catatan Kaki:

1Salah satu sumber awal yang terkenal adalah buku "Fabel Si Kancil" yang muncul pada tahun 1950-an hingga 1960-an, digunakan di sekolah-sekolah dasar. Cerita ini bukan bagian dari fabel tradisional Melayu yang biasanya menggambarkan kancil sebagai tokoh cerdik dan pembela kebenaran. Dalam versi mentimun, kancil justru digambarkan sebagai pencuri — yang bagi sebagian budayawan, ini adalah penyimpangan dari karakter asli Kancil dalam folklore Melayu.

2Lagu ini banyak dianggap sebagai lagu rakyat atau folk song, sehingga pencipta aslinya tidak tercatat secara resmi. Namun, banyak sumber menyebutkan lagu ini sebagai lagu anonim tradisional, yang kemudian diadaptasi dan diajarkan di sekolah-sekolah dasar di Indonesia. Mulai dikenal luas di tahun 1960-an hingga 1970-an, seiring dengan berkembangnya program pendidikan anak usia dini dan televisi nasional seperti TVRI. Lagu ini digunakan dalam buku pelajaran dan kaset lagu anak-anak. Cerita ini muncul dan dipopulerkan oleh buku pelajaran dari masa kolonial dan pasca-kemerdekaan.

3https://goodstats.id/article/survei-goodstats-radio-masih-punya-ruang-di-hati-anak-muda-indonesiagyyK9#:~:text=Menurut%20hasil%20Survei%20Sosial%20Ekonomi,tinggal%20tersisa%2010%2C3%25.

4https://nationalgeographic.grid.id/read/134204729/singkap-bagaimana-asap-kebakaran-hutan-memengaruhi-tubuh-kita?page=all

5Bilah bambu penyangga palawija. Tanaman palawija yang merambat diberikan penyangga agar teratur tumbuhnya dan lebih mudah di rawat.

6Mahatma Gandhi pernah berkata bahwa Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.

7Menggigit sedikit demi sedikit. 

8https://www.kompasiana.com/komjenrg6756/5f7feed48ede481519280832/kisah-perjalanan-ke-barat-naskah-asli-tanpa-sang-kera-sakti?page=all&page_images=1