Sebagai bangsa, kita memiliki kekayaan tradisi yang tak terhitung—dari ritual padi di Tanah Batak, doa laut di pesisir Jawa, hingga syair dan tarian penyambut tamu di Aceh. Tapi semua kekayaan itu bisa terkikis jika terus-menerus dikompromikan oleh tata urut protokol dan dominasi simbolik.
Angin masih berembus lembut di antara pepohonan ketika suara seruling bambu mulai terdengar dari kejauhan. Seorang perempuan tua menyusun bunga di bawah gerbang dari janur yang telah dikepang rapi sejak pagi. Anak-anak kecil berlarian di pelataran, beberapa di antaranya sudah mengenakan baju adat, menunggu giliran tampil dalam tarian pembuka. Di antara mereka, waktu mengalir pelan—dengan semacam kesabaran yang hanya bisa ditemukan dalam ruang budaya yang sungguh hidup.
Namun segala yang mengalir itu terhenti dalam sekejap. Sirine memecah kesunyian, diikuti iring-iringan kendaraan hitam berplat merah. Orang-orang tergopoh. Janur digeser, barisan penari dikondisikan ulang, dan kursi utama yang semula ditujukan untuk tokoh adat harus dialihkan. Panitia berbisik panik: “Bapak sebentar lagi sampai. Susunan acara diubah. Tarian kita potong saja jadi dua menit.” Tak lama kemudian, pengeras suara berbunyi: “Mohon perhatian, Bapak Pejabat akan segera hadir.”
Saya menyaksikan sendiri adegan ini—bukan sekali, tapi berkali-kali—dalam berbagai peristiwa budaya, dari Aceh hingga Sumatra pesisir. Dan selalu ada pola yang berulang. Masyarakat sudah bersiap, adat sudah ditata, tapi protokol datang seperti angin besar yang menyapu semuanya. Bukan dengan kekerasan, melainkan dengan keharusan. Bukan karena pejabat meminta, tetapi karena semua orang merasa harus menyesuaikan.
Kehadiran pejabat dalam kegiatan budaya bukan persoalan baru. Tapi yang patut dipertanyakan adalah cara kehadiran itu diatur dan direspon. Alih-alih menjadi bagian dari kebersamaan, banyak pejabat justru tampil sebagai pusat perhatian, dengan protokoler yang kaku, pengamanan yang berlapis, dan simbol-simbol kuasa yang mencolok. Yang hadir bukan hanya individu dalam jabatan, tetapi seluruh perangkat citra yang menyertainya—baliho, banner, backdrop, dan kadang videotron.
Sinjang Krui. (Foto: Elly Dharmawanti)
Dalam ruang sosial-budaya, ini menimbulkan gesekan halus yang sering tak diucapkan. Seolah-olah jabatan memiliki bobot spiritual lebih tinggi daripada waktu adat itu sendiri. Dalam banyak kasus, tokoh adat harus menunggu di pinggir panggung, sembari menahan rasa tidak enak karena acara molor akibat “agenda mendadak” dari atas.
Padahal, dalam kerangka budaya kita, adab mendahului kehadiran. Ia bukan sekadar tata cara formal, tetapi rasa yang diwariskan lintas generasi: tahu kapan harus datang, tahu kapan memberi ruang, tahu kapan cukup. Adab adalah seni kehadiran tanpa mengganggu.
Namun kini, adab itu makin sering disingkirkan oleh jadwal protokoler. Kehadiran pejabat menjadi ukuran utama kelayakan acara. Urutan bicara diatur berdasarkan struktur kekuasaan, bukan kedalaman peran. Bahkan waktu suci yang disepakati secara turun-temurun bisa diubah—demi memberi jalan bagi kedatangan yang dianggap lebih penting.
Dalam salah satu perayaan budaya laut di wilayah barat Sumatra, saya mendapati upacara yang semula dijadwalkan saat matahari mulai condong ke barat —karena dipercaya sebagai waktu ketika laut mulai reda dan lebih terbuka menerima doa—diundur hingga malam karena bupati hanya bisa datang pukul delapan. “Tidak mungkin kita lanjut tanpa beliau,” kata panitia. Maka doa-doa dipadatkan, syair adat dipotong, dan makna yang mestinya mengalir alami pun terhenti oleh hal-hal yang tampaknya tak bisa ditolak.
Pierre Bourdieu menyebut situasi seperti ini sebagai wujud kekuasaan simbolik. Yakni kekuasaan yang tidak menindas secara langsung, tetapi bekerja melalui rasa wajar yang ditanamkan. Kita tidak merasa sedang tunduk, karena penyesuaian-penyesuaian itu sudah dianggap sebagai bentuk penghormatan. Padahal, dalam penghormatan yang terlalu patuh, kerap tersembunyi perasaan minor—bahwa budaya rakyat bisa ditunggu, tetapi pejabat tidak.
Penampilan tari Sumbuk Heling. (Foto: Dwi Rino)
Kita mulai terbiasa dengan pemandangan di mana wajah-wajah pejabat menghiasi spanduk lebih besar dari elemen seni pertunjukan. Nama mereka disebut lebih dahulu ketimbang seniman, tokoh adat, atau penyelenggara komunitas. Bahkan dokumentasi resmi kegiatan budaya pun sering kali lebih menekankan pada “hadirnya Bupati/Walikota” ketimbang isi dan nilai dari acara itu sendiri.
Ironisnya, sebagian besar warga dan panitia pun ikut larut dalam irama ini. Tak sedikit dari mereka yang merasa bersalah jika tidak menampilkan foto atau menyebut pejabat tertentu. Dalam sistem birokrasi yang bertumpu pada restu hierarkis, citra dan izin sering berjalan seiring. Maka tak heran jika ruang budaya pun perlahan-lahan menjadi panggung yang lebih sibuk menampilkan kekuasaan daripada merayakan kebersamaan.
Namun bukan berarti tidak ada harapan. Saya juga pernah menyaksikan acara adat yang berlangsung begitu tenang dan khidmat, meski dihadiri pejabat. Di satu dusun di Kepulauan Banyak, seorang sekretaris camat datang tepat waktu, duduk bersama warga, bahkan ikut membantu membawa alat dan perlengkapan untuk kegiatan berkesenian. Tidak ada iring-iringan, tidak ada pengumuman megah. Ia hadir sebagai bagian dari peristiwa, bukan titik pusatnya.
Di sinilah bedanya antara kehadiran yang menyatu dan kehadiran yang memusat. Antara pemimpin yang hadir karena tugas, dengan pemimpin yang hadir karena rasa. Dan dalam masyarakat yang menjunjung adab, yang dibutuhkan bukan sorotan, tapi pengertian.
Di tengah masyarakat yang semakin visual, kedatangan pejabat tidak lagi sekadar kehadiran, melainkan menjadi tontonan. Fotografer resmi bergerak lincah menangkap momen salaman, pembukaan acara, atau potongan pidato yang sudah ditulis sebelumnya. Videotron di panggung menayangkan logo kementerian dan wajah pemimpin daerah berulang-ulang. Media sosial panitia dipenuhi potret para tamu penting, diselingi beberapa foto pementasan seni yang seperti hanya menjadi pelengkap.
Pengunjung kegiatan budaya menari bersama pengisi acara. (Foto: Dwi Rino)
Simbol-simbol itu memang punya fungsi. Diantaranya menunjukkan bahwa negara hadir, memberi legitimasi, menarik dukungan. Namun ketika simbol mulai mengalahkan isi, yang terjadi adalah pelapukan makna. Ruang budaya tidak lagi bicara tentang siapa yang diwakili, tapi siapa yang ditampilkan. Apresiasi bergeser dari karya ke kamera, dari proses ke potret, dari kesaksian batin ke statistik unduhan.
Hannah Arendt menyebut kondisi semacam ini sebagai bentuk banalitas kekuasaan. Ketika praktik-praktik dominasi tidak lagi tampak kasar, melainkan dibungkus sebagai rutinitas administratif. Kekuasaan tak perlu memaksa, melainkan cukup hadir dalam format yang terus-menerus diulang dan diterima. Lama-kelamaan, kita berhenti bertanya. Mengapa tokoh adat menunggu pejabat? Mengapa waktu sakral diganti demi agenda VIP? Mengapa panggung rakyat terasa seperti milik satu-dua wajah saja?
Seorang panitia acara tradisi di bagian timur Sumatra pernah berkata pada saya dengan suara setengah menyesal, “Kalau tak ada pejabat, acara kami tak diliput media. Tak disapa bupati, kami takut tak dapat dana tahun depan.” Kalimat itu bukan keluhan kosong, melainkan cermin dari sistem yang membuat budaya selalu bergantung pada struktur kuasa untuk bisa hidup. Sekalipun isi acara sangat kaya, tanpa pengesahan simbolik dari atasan, ia dianggap kurang sahih.
Lalu di sisi lain, ada warga yang saya temui di perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Ia berkata, “Kami lebih senang kalau acara adat kecil saja. Tak perlu ramai, asal khidmat. Kalau ada pejabat, suasana jadi lain. Ramai, tapi terasa jauh.” Ia tidak bicara soal ideologi. Ia bicara soal rasa—rasa memiliki dan rasa terganggu, yang mungkin tidak masuk dalam laporan kegiatan, tapi menentukan kualitas peristiwa.
Mereka adalah dua sisi dari realitas yang sama, yakni budaya hidup di antara harapan untuk lestari dan tekanan untuk tampil. Ia ingin mengakar, tapi juga diminta untuk mematuhi urutan. Ia ingin menjadi milik bersama, tapi sering kali harus memberi tempat bagi wajah yang lebih dikenal publik. Di sinilah tantangannya: bagaimana mengelola ruang budaya agar tidak dikuasai oleh citra, tapi tetap terbuka bagi semua.
Kita perlu membayangkan ulang cara pejabat hadir di ruang budaya rakyat. Bukan dengan menolak kehadiran mereka, tetapi dengan menawarkan bentuk kehadiran yang lain—yang lebih menyatu, rendah hati, dan penuh rasa. Kehadiran yang tidak memerlukan pengiringan sirine atau karpet merah, tidak tergantung pada mikrofon atau baliho, tapi justru terasa karena ketulusannya.
Perayaan Satu Suro di Gunung Kawi.
Bayangkan prosesi adat yang dimulai tepat waktu karena semua yang terlibat menghormati ritme lokal. Bayangkan seorang wali kota yang hadir lebih awal, duduk di deret belakang, menyimak hingga akhir, lalu pulang tanpa perlu disebut dalam sambutan. Bayangkan ruang budaya yang dokumentasinya berisi senyum warga, tarian anak-anak, dan pesan-pesan tradisi—bukan hanya kolase foto protokoler.
Bayangkan bahwa pemimpin tidak dikenal karena posisinya di panggung, melainkan karena kemampuannya menunduk dalam-dalam untuk mendengarkan.
Dan sesungguhnya, kita tak perlu terlalu jauh membayangkan. Praktik semacam itu pernah dan masih berlangsung di banyak komunitas. Hanya saja, mereka tidak terlalu banyak tampil di media. Mereka tidak viral. Tapi di dalam masyarakat, mereka diingat. Dan di sanalah kekuatan sejati budaya berada: bukan pada siapa yang disorot, tapi pada siapa yang benar-benar hadir.
Ruang budaya adalah milik bersama. Ia bukan sekadar lokasi acara, tetapi tempat rasa dikembangkan, makna dibagikan, dan adab diwariskan. Ketika kekuasaan datang tanpa kepekaan, ruang itu mengecil. Tapi ketika pemimpin hadir dengan rendah hati, ruang itu membesar. Bukan secara fisik, tapi secara batin.
Jika jabatan adalah amanah, maka cara hadir adalah ujian paling awal dari cara mengembannya. Dan dalam konteks budaya, hadir berarti lebih dari sekadar datang. Ia berarti menyimak, memberi tempat, dan tak mengambil panggung yang bukan miliknya.
Sebagai bangsa, kita memiliki kekayaan tradisi yang tak terhitung—dari ritual padi di Tanah Batak, doa laut di pesisir Jawa, hingga syair dan tarian penyambut tamu di Aceh. Tapi semua kekayaan itu bisa terkikis jika terus-menerus dikompromikan oleh tata urut protokol dan dominasi simbolik.
Tradisi Malamang di Sumatera Barat.
Semoga esai ini bukan sekadar keluhan, tapi ajakan untuk membayangkan peradaban yang lebih beradab. Peradaban di mana pemimpin dikenal bukan dari baliho, tapi dari kepekaan. Di mana acara budaya tak ditunda karena pejabat, tapi dijaga waktunya karena semua saling menghormati.
Dan semoga, dalam setiap panggung yang digelar, kita melihat rakyat sebagai pusatnya—bukan latar dari pementasan kekuasaan.