Logo Spektakel

Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >

Berebut Kue Keranjang di Grebeg Sudiro

Berebut Kue Keranjang di Grebeg Sudiro

Tradisi ini memang terbilang muda, tetapi gelaran ini merupakan pengembangan dari "Buk Teko", tradisi perayaan menyambut Imlek sejak zaman Paku Buwono X (1893-1939). Kini bentuknya terinspirasi dari perayaan Grebeg Suro di Ponorogo, lengkap dengan agenda rebutan gunungan yang disusun dari hasil bumi, makanan, dan tentunya kue keranjang.

Di Sudiroprajan, sebuah kelurahan di kecamatan Jebres di Kota Solo, warga Tionghoa sudah berpuluh tahun hidup bermukim di sana berdampingan dengan penduduk Jawa. Seiring waktu akulturasi pun terjadi. Salah satunya menghasilkan Grebeg Sudiro, suatu acara selametan yang tiap tahunnya diadakan tujuh hari sebelum Imlek. Kata "grebeg" diambil dari Bahasa Jawa yang biasanya digunakan untuk merujuk pada perayaan hari-hari besar, seperti Mulud Nabi, Syawal, Idul Adha, atau Suro.

Tradisi Grebeg Sudiro memang masih muda, pertama kali digelar pada 2007, tetapi gelaran ini merupakan pengembangan dari tradisi perayaan menyambut Imlek yang berlangsung sejak zaman Paku Buwono X (1893-1939), Buk Teko. Hanya saja kini formatnya terinspirasi dari perayaan Grebeg Suro di Ponorogo. Dan mirip perayaan Grebeg Suro, acara ini pun tak lengkap tanpa agenda rebutan gunungan yang disusun dari berbagai hasil bumi dan makanan. Bedanya, dalam gunungan di Grebeg Sudiro juga terdapat kue cina atau kue keranjang—kue semacam dodol yang biasa disajikan jelang perayaan Imlek. Tradisi berebut macam-macam makanan yang membentuk gunungan itu berdasarkan filsafat Jawa, "ora babah orah mamah". Artinya kurang lebih, jika tak berusaha ya tak makan. Sedangkan bentuk gunung dipilih sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Jawa kepada Sang Pencipta. Puncak acara ini biasanya digelar di Pasar Gedhe Solo.

Kemeriahan acara Grebeg Sudiro tidak hanya terlihat di acara puncak. Sebelumnya, rangkaian acara ini dimulai dengan Umbulan Mantram, yaitu kegiatan wujud syukur warga Sudiroprajan, sekaligus juga doa agar diberi kelancaran sepanjang rangkaian acara. Kemudian ada pula Karnaval Budaya yang menghadirkan berbagai bentuk seni kebudayaan masyarakat sekitar serta arak-arakan jodang sebagai bentuk ucapan syukur dan wujud pembagian berkah. Jodang adalah wadah panjang yang digotong berisi kue keranjang, buah, dan sayur-mayur dari warga. 

Pengunjung juga bisa mengunjungi bazar kuliner, produk kreatif, berbagai pertunjukan seni dan budaya, serta wahana wisata. Salah satunya ialah wisata perahu hias kali Pepe di bawah jembatan Pasar Gedhe. Perahu wisata ini akan membawa pengunjung menyusuri kali Pepe sepanjang 800 meter. Sepanjang jalan, deretan mural menghiasi tepian kali Pepe. Selain itu di penghujung rute, sebelum titik putar kembali ke dermaga, pengunjung akan melewati sarang burung sriti. Satu perahu wisata di kali Pepe bisa menampung sekitar 6 penumpang dan dikenai tiket Rp10.000/orang.