Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Dini Hari ke Pagi di Pasar Legi

Dini Hari ke Pagi di Pasar Legi

Teks & Foto oleh: Ignasius Satrio Krissuseno

Dini Hari ke Pagi di Pasar Legi

“Ning omah kula pingin napa-napa ndadak njaluk, nek tesih dodolan teng pasar nggih saget tuku dewe. (Jika di rumah, saya ingin apa-apa harus minta. Kalau masih berjualan di pasar kan bisa beli sendiri).” Mbah Pun (80), penjual tauge di Pasar Legi.

Mengikuti tren orang Jakarta yang beberapa tahun lalu gembar-gembor gemar berolahraga malam, saya mencobanya dengan jalan kaki di Pasar Legi Surakarta. Agak ekstrem, sesinya berlangsung hampir enam jam. Sebuah sesi jalan kaki yang banyak tertambat di sana-sini: menyaksikan dan merekam dari pukul satu dini hari yang bergeliat sampai pukul tujuh pagi yang mulai sepi di pasar induk yang tidak pernah tidur. 

Areal Pasar Legi cukup besar, terdiri dari bangunan utama dan jaringan lahan parkir yang mengelilingi. Ada elevasi naik-turunnya juga, karena bangunan hasil revitalisasi pascakebakaran 2018 ini dibagi menjadi tiga lantai. Kalau diputari berkali-kali, cukup cocok untuk dijadikan sesi olahraga. Tapi bukan hanya berolahraga yang ingin saya lakukan dalam waktu malam ke pagi tersebut. Agenda lainnya, yang agak lebih kuat, adalah olah rasa: menajamkan mata dan telinga mendengar cerita-cerita dan bentuk-bentuk yang tergelar dalam tumpah ruah pasar induk. Menurut banyak orang di sekitar–dan akhirnya menulari sudut pandang saya juga–kehidupan di pasar merupakan hal yang menarik untuk diamati. Lebih dari lingkaran jual beli, tempat bermuaranya buah tangan dan hasil bumi penyokong kehidupan sehari-hari ini seperti memiliki jalinan kampung sendiri. Ada Pak Lurah, ada simbah, ada bapak, ibu, juga kakak dan adik. 

Rekaman jejak perjalanan saya berkeliling Pasar Legi, Solo. Ternyata lumayan juga mondar-mandir. 

Di kota asal saya, Jogja, eh, Sleman, saya sebetulnya juga suka ke pasar. Tapi tidak pernah semalam ini. Biasanya saya menunggu datangnya hari pasaran di pasar-pasar tradisional sekitar Sleman dan menghafalkan lima hari dalam penanggalan Jawa: Pon, Wage, Legi, Kliwon dan Pahing untuk mencari pedagang klithikan ‘barang bekas’. Teman saya juga ada yang sehari-hari menunggu kios keluarganya di lantai 3 Pasar Beringharjo yang semakin sepi. Rupa-rupa warna cerita pasar dan tatanannya sungguh mengasyikkan.

Kembali ke Pasar Legi, saya menggelar jalan kaki ini sekaligus menandai akhir dari tiga hari menginap di Solo, live-in magang di tim tukang sayur Sumber Pangan Jaya, Jalan pungkasan yang menelusuri panggung-panggung dagangnya dari luar ke dalam, dari awal bergeliat saat menjelang subuh, sampai meredup di pagi hari. 

Baca Juga: Laki-laki Tidak Bercerita, tetapi Jualan Sayur

 

Dalam peta perpasaran Solo sendiri, Pasar Legi memegang sebuah peran sebagai pasar induk. Dari berbagai penjuru kota, Pasar Legi menjadi tempat berlabuh beragam bahan pangan seperti sayur-mayur, buah-buahan, daging, dan ikan. Dari kopeng di pinggir selatan Semarang, sampai Pati di ujung utara Jawa Tengah. Secara geografis, jarak antara Pasar Legi Surakarta tidak sampai 2 km dari Stasiun Balapan. Dekat pula dengan Pasar Gede, saudaranya yang lebih terkenal dengan jajanan matang dan jadi salah satu jujugan wisata Solo. 

Dengan menenteng dua kamera, satu tripod, dan satu handphone, saya berjalan sambil merekam. Pukul 01.20 saya memacu motor melewati jalan-jalan Solo yang sepi menuju Pasar Legi. Sesampainya di sana, motor saya parkir di sisi Barat pasar, dekat pintu masuk dengan palang pintu berkarcis ala mall yang agak usang. Setelah menurunkan standar samping motor, mulailah langkah saya bergerak tanpa arah. Hanya mengikuti saja suara, rupa, dan aroma di malam yang larut tersebut. Tetapi tentu tidak lupa menyalakan aplikasi Strava, agar afdol seperti orang berolahraga. 

Lewat tengah malam

Kedatangan saya disambut suara srek-srek sapu lidi beberapa pedagang sayur yang baru datang, menyapu sisa-sisa sayur lama dari konblok Pasar Legi yang mulai agak keriting. Tenda-tenda portable mulai didirikan, menaungi meja berjualan mereka, membuat lapak-lapak semi permanen. Mereka menyiapkan lapak untuk sesi berjualan tengah malam-pagi yang digelar di area jalan mengelilingi bangunan utama. Setelah pagi menjelang, lapak mereka akan digulung kembali, lalu panggung berjualan akan berpindah ke dalam bangunan utama. “Di Pasar Legi ada harga subuh, harga pagi, sama harga malam,” jelas Mas Tiead dalam obrolan saya beberapa hari sebelum. Ia merupakan salah satu insan yang bergulir di Pasar Legi, pencetus usaha supplier sayur Sumber Pangan Jaya.  

Area pedagang di bagian depan Pasar Legi yang menjajakan barang dagangannya menggunakan truk pick up. 

Langkah saya terbawa ke selatan, mengikuti bau segar dari deretan lapak yang baru membongkar muat cabai dari plastik-plastiknya. Harumnya menguar, sopan namun menghangatkan tenggorokan dengan aroma pedas. Tak jauh dari sana, kantong-kantong plastik 5 kg berwarna merah menggunung memenuhi sebuah tangga menuju lantai 2. Semua berisi cabai. “Mas, sini di-shooting biar viral, masuk berita curanmor,” celetuk salah satu penjual cabai meledek tetangganya, menanggapi dandanan saya yang (sengaja) komikal dengan menenteng dua kamera. Para penjual cabai ini baru sekitar setengah jam beroperasi. “Mulai dari jam 1 ini, Mas,” ujar salah satu dari mereka.

Langkah-langkah rasanya asyik, terkadang diiringi beberapa speaker aktif melantunkan lagu-lagu lawas tentang romansa yang pupus atau campursari. Menembus deret mobil bak terbuka, truk-truk beratap, armada motor berkeronjo, dan beberapa becak berisi sayur, saya putar balik ke arah utara mencari tangga naik menuju lantai 3. Bangunan di lantai 3 cenderung semi terbuka dengan susunan tiang besi dengan atap tinggi sekitar 5 meter, tanpa dinding di samping-sampingnya. Namun lagi-lagi, pada jam segini, yang ramai adalah pasar di luar atap. Daging-daging mulai datang, beberapa mobil bak terbuka membawa ayam potong dan daging merah. Semua tergelar di tempat-tempat yang di atas kertas merupakan lahan parkir. Berjalan memutar ke arah timur, saya mendapati jejeran mobil bak terbuka yang dijadikan tambatan atap terpal. Di bawahnya tergelar buah-buahan di atas palet-palet kayu, diterangi lampu LED. Semangka, melon, nanas digelar di sana. 

“Sebentar lagi, pas bulan puasa bakal banyak blewah, Mas. Nah, kalau pas itu gak mungkin jualan sendiri. Rame,” ujar Pak Mujianto, salah satu pedagang dalam barisan mobil buah menyapa saya dengan ramah. “Niki nek jawah pripun, Pak? (Ini kalau hujan bagaimana pak?),” tanya saya menyambut sapa tersebut. “Nggih ngangge terpal kados ngeten niki, nanging nggih banyune tekan riko. (Ya ini pakai terpal seperti ini, tapi ya airnya sampai situ.),” jawab beliau sambil menunjuk lantai di bawah. “Riyin niku kula teng ngandap, cedak margi ageng, semangka sak pick-up tigang dina sampun telas. Sakniki seminggu mawon mboten mesti. Sampun dangu kula sadean buah niki. Ket anak kula mbarep niku tesih cilik, sakniki sampun lulus S1. (Dulu–sebelum revitalisasi–saya di bawah, dekat jalan besar. Semangka satu pick-up sudah habis setelah tiga hari. Sekarang seminggu saja belum pasti. Sudah lama saya berjualan buah, sejak anak pertama saya masih kecil, sekarang sudah lulus S1),” lanjutnya. 

Suasana jual-beli di area depan Pasar Legi.

Menurut sekitar 20 tahun sepak terjang pengalaman berjualannya, Pak Mujianto mengaku lebih merasa nyaman berjualan di luar ruangan. Salah satu alasan utamanya karena akses di luar lebih mudah untuk para pelanggan yang sekedar lewat lalu ingin berbelanja. Bila dibandingkan dengan dahulu, saat ini tempat berjualan di parkiran lantai 3 semakin menjauhkannya dari akses tersebut. “Sing ning nduwur butuhe ming ben kotane ketok rapih, ning ndak mau tahu kondisi masyarakat e wareg opo ora mangan e. (Yang di atas butuhnya hanya biar kotanya kelihatan rapi, tapi tidak mau tahu kondisi apakah masyarakatnya makan kenyang atau tidak),” tandas Pak Mujianto. 

Menutup obrolan kami pagi itu, saya memilih dua buah nanas dari sekeranjang kecil nanas BS ‘terlalu tua, menuju busuk’ miliknya. Saat mau saya bayar, ia menolak, “Sampun, Mas, diasta mawon. (Sudah, Mas, dibawa saja.)” Selepas mengucap matur nuwun, dengan sumringah saya melanjutkan langkah ke timur, melewati tetangga-tetangga Pak Mujianto yang juga berjualan buah. Di sisi kiri terlihat mas-mas sedang lempar-lemparan semangka, membongkar muat mobil-mobil bak terbuka. Sedangkan di sisi kanan, beberapa truk dengan gawang-gawang bambu yang kondisinya terlihat lebih anyar baru berdatangan membawa ikan. Suasananya seperti satu bangunan sendiri, dengan kendaraan bak terbuka sebagai benteng terluar, dan tenda-tenda portable yang didirikan berdekatan. Saya putuskan untuk merapat ke sana. Kebetulan ada warung semi permanen yang berjualan minuman dan makanan matang. Ada beberapa olahan ikan tersaji di sana. Sayangnya, saya belum lapar. Lantas saya memutuskan memesan teh panas manis saja. Dingin suasana menuju subuh dan sesi istirahat di tengah hiruk-pikuk pasar menjadikannya segelas teh panas terenak yang pernah saya nikmati. 

Mengobrol dengan bapak pemilik warung, ternyata bagian ini merupakan bagian yang “bangun” paling pagi di Pasar Legi. Malam, bahkan. Menurutnya, truk-truk sudah mulai berdatangan dari Pati sejak pukul 10 malam. Saya tidak bisa banyak mengobrol dengan bagian dari orkestrasi ikan ini. Simfoninya terlihat rancak dan cukup intens: menerima angkutan barang yang datang, melayani pelanggan, bahkan banyak pula yang mencuri waktu tidur lesehan di tenda masing-masing. Selain menjadi yang paling awal digelar, ternyata bagian ini juga yang paling awal beberes. Sekitar pukul 07.15 saat saya kembali ke atas, sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan yang sibuk tersebut. Tenda telah dilipat, lantai telah disapu bersih. 

Salah satu pedagang di Pasar Legi yang sedang beristirahat setelah semalaman berjualan.

Setelah ngeteh di “distrik ikan” cukup lama, menjelang subuh saya kembali turun ke lantai dasar. Melewati lantai 2–hanya lantai ini yang merupakan bangunan tanpa ruang terbuka–yang terpantau kosong menjadi gudang, tanpa tanda-tanda kehidupan.  

Menuju subuh

Sesampai di bawah, para cabai terlihat mulai habis. Jumlah plastik-plastik yang menggunung mulai menyusut. Isinya telah dipindah ke wadah-wadah yang lebih kecil dan dibawa oleh motor-motor berkeronjo atau rak kayu modifikasi, juga becak-becak yang datang silih-berganti. Salah satu dari para armada distribusi tersebut adalah Pak Joko Lelono. Ia merupakan seorang pedagang kulakan. “Ini saya jual lagi di Pasar Kliwon, Mas,” ujarnya. Dengan cekatan ia membeli berbagai sumber pangan dari kios ke kios, lalu langsung bergegas bergerak meninggalkan Pasar Legi. Persis di trotoar sebelah tempat motor Pak Joko Lelono diparkir, Mbah Pun, seorang penjual taugeh, terduduk tekun. Ia sedang memisahkan kacang hijau dengan kecambah menggunakan tampah. 

“Kula sampun dagang saking tahun sewidak lima, Mas. Sampun dangu sakderenge kebakaran. Niku pas ontran-ontran ‘genjer’ PKI niko, banjur Banjir Solo tahun sewidak enem. (Saya sudah berjualan di sini sejak tahun ‘65, Mas. Sudah lama sebelum kebakaran. Saat keributan ‘genjer’ PKI itu, lalu ada kejadian Banjir Solo tahun ‘66).” Demikian obrolan saya dengan Mbah Pun dimulai. Sepanjang 60 tahun berjualan, Mbah Pun mengaku tidak pernah libur lama. Setiap hari berangkat ke pasar untuk berjualan. Lalu sepulang dari sana, mulai beraktivitas di sumur, ruang kerjanya untuk menumbuhkan tauge. “Nek meh libur nggih mboten damel tokolan mawon. (Kalau mau libur, tinggal tidak membuat tauge),” ujarnya. Jejak lelaku Mbah Pun bahkan lebih panjang daripada kepemimpinan Presiden Soeharto yang sama-sama merintis kariernya di waktu yang tak berjauhan. “Riyin kula gerobagan niku, Mas. Ditarik sapi. ‘Kluntung, kluntung, kluntung,’ ngeten. (Dulu saya jualannya sejak zaman menggunakan gerobak itu, Mas. Ditarik sapi. ‘Kluntung, kluntung, kluntung,’ bunyinya),” kisahnya. Sampai saat ini, telinga usia 80 tahunnya yang masih awas bercakap di tengah deru mesin motor, truk, dan mobil bak terbuka yang berlalu-lalang dalam kumandang pasar. “Nek ning omah kula pingin napa-napa, ndadak njaluk. Nek tesih dodolan teng pasar, nggih saget tuku dewe (Kalau di rumah saja, saya ingin apa-apa harus minta. Kalau masih jualan di pasar, kan bisa beli sendiri),” tutupnya.

Penjual tauge yang sedang menyiapkan barang dagangannya untuk siap dijual.

Sayup-sayup menemani obrolan saya dengan Mbah Pun, di antara alunan campursari dan tembang lawas, ada lantunan J-pop ala lagu opening/ending anime. Di depan speaker aktif yang menyetel lagu tersebut terdapat seorang mas-mas sedang menyusun tempe dagangannya. Dari perawakannya ia terlihat seperti bagian dari generasi milenial/Gen Z. Basa-basi dengannya mengantarkan saya pada cerita bahwa ia merupakan seorang perantau dari Pekalongan yang mengekos di Solo untuk berjualan tempe. Tempe-tempe yang ia bawa disusun seperti rumah-rumahan, menyisakan bagian tengah yang kosong. “Biar gak panas, Mas. Kalau panas cepat rusak tempenya,” jelasnya. Saya beli satu papan dari puzzle rumah-rumahan tersebut seharga Rp5.000.

Subuh ke pagi

Waktu sudah menyentuh subuh. Pada pukul 04.00 terlihat beberapa mobil keluarga non niaga–terlihat dari model dan kondisi bodinya yang jauh lebih bersih daripada Grand Max dan L300 yang sering berlalu-lalang–mulai merapat ke pintu masuk pasar. Mereka menunggu di jalan bagian luar pasar, karena toh di dalam pasar tidak ada tempat untuk memarkir mobil. Dari sana turun ibu-ibu, bergerak masuk ke dalam pasar, lalu kembali ke mobil membawa beberapa plastik sayur dan sejumlah bahan pangan lain dalam jumlah yang cukup banyak. 

Beriringan dengan naiknya matahari, saya iseng naik kembali ke area parkir lantai 3. Menikmati sunrise dari pasar. Cahayanya yang sedang cerah menimpa jejeran mobil bak terbuka yang sedang menunggu pemiliknya kembali untuk diajak bergulir lagi bekerja. Dari sana saya turun lagi ke daerah timur pasar bagian bawah, turun melalui jalan akses kendaraan. “Distrik” tersebut merupakan tempat sayur-sayuran digelar. Warna-warni sayur segar bersahutan menarik mata. Saya yang asyik celingak-celinguk melirik ke sana-sini disapa oleh Bu Ayu. Kami cukup lama mengobrol ngalor-ngidul tentang dunia perlapakan. Ia juga bercerita tentang bisnis distribusi air mineralnya yang cukup maju di Jakarta. “Sampai punya pick-up sendiri,” ujarnya bangga. Walaupun sudah ada bisnis di tempat lain, ia juga menjalani hari-hari berjualan di Pasar Legi setiap subuh. Ia merasa hal tersebut sudah menjadi bagian dari keseharian. “Jualan buat cucu juga. Kalau (buat) ngajak jalan-jalan kan bisa,” terangnya dengan logat Jakarta yang cukup kental. Sebagai pengingat pertemuan tersebut, saya putuskan untuk membeli sawi sendok seharga Rp5.000 dari beliau. Cukup kaget ketika ternyata saya dapat 1 kg sawi dengan harga tersebut. 

Suasana Pasar Legi di pagi hari, saat penjual dan pembeli mulai bebenah. Di saat hari baru dimulai bagi banyak orang, para pedagang di Pasar Legi umumnya mengakhiri kerja mereka di hari itu sebelum kembali ke rutinitas mereka tengah malam berikutnya.

Pada pukul 05.16 saya berhenti di tumpukan jeruk buat mencatat kembali hal-hal yang ditemui sepanjang malam menuju pagi. Menyenangkan sekali, apalagi ditemani wangi jeruk berkarung-karung. Di sana saya sekalian duduk-duduk sekitar 15-20 menit. Dari kejauhan terlihat lalu-lalang mobil bak terbuka dan truk pengangkut pangan semakin surut. Tinggal kendaraan-kendaraan kecil seperti motor dan becak yang masih ramai berdenyut dalam nadi pasar.

Karena perut mulai terasa lapar dan pasar terasa semakin begitu-begitu saja, saya memutuskan untuk menyebrang sebentar ke sebuah warung soto sapi. “Belanja bahannya di seberang semua,” kelakar sang ibu penjual soto. Setandas menyantap soto, saya melongok kembali ke pasar. Menyisir hiruk-pikuknya sekali lagi. Lapak-lapak terlihat sudah mulai sepi. Beberapa sudut mulai disapu-sapu kembali, tapi kali ini untuk menggulung, bukan menggelar. Beberapa mobil juga lebih leluasa masuk ke dalam area parkir pasar. Suasana di atas sudah menjadi parkiran kosong pada umumnya. Distrik-distrik daging, ikan, dan buah sudah tidak menyisakan tanda-tanda kehidupan. “Unik juga, melihat sesi kerja yang selesai di mana banyak orang baru mulai berangkat,” batin saya sembari menaiki sepeda motor menuju loket parkir. 

Strava sudah saya matikan. Sesi olahraga tersebut berjalan hampir 6 jam, walau hanya berjarak 4 km. Walau jarak hasil memutari Pasar Legi tersebut tidak begitu membanggakan untuk di-post, namun sesi tersebut merupakan sesi olahraga dan olah rasa yang menyegarkan. Bersilaturahmi dengan pasar dan banyak orang di balik kumandangnya. Dapat kesempatan membagikan cerita tentang keseharian mereka yang mungkin tidak terlalu “wah” juga jika diceritakan, namun disambung hampir tanpa putus sebagai lelaku penghidupan setiap hari. Untuk tetap bisa bermain dengan cucu, untuk bisa menyokong kehidupan sehari-hari… agar bisa menyekolahkan anak dan tetap makan hari ini. 

Pagi itu, sekitar pukul 07.15 motor saya naiki dari pintu keluar Pasar Legi, menuju Pasar Gede, lalu belok kanan ke Jalan Jogja-Solo. Menuju arah rumah, membawa oleh-oleh dua buah nanas, sepapan tempe, dan seplastik sawi.