Logo Spektakel

Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >

Kembalinya Tahta Sang Raja

Kembalinya Tahta Sang Raja

Teks & Foto oleh: Risna Anggaresa

Kembalinya Tahta Sang Raja

Semenjak sekolah dasar, saya sudah akrab dipopor dengan citra beras dari Delanggu. Varietasnya pun spesifik, Rojolele disebut pertama, selepasnya IR64 baru disematkan. Saya sendiri belum pernah secara sadar mengonsumsi beras rojolele meskipun saya selalu punya bayangan tentang aroma, dan kenikmatannya yang meningkat ketika dipadukan dengan tempe goreng hangat dan sambal terasi. Saya dulu juga belum terpikir mengapa beras ini dinamakan Rojolele. Hemat saya, nama itu berasal dari bentuk anatomi gabahnya yang memiliki sungut seperti lele karena orang Jawa zaman dahulu terkadang sesederhana itu menamai segala sesuatu. Perjalanan singkat saya ke Sanggar Rojolele-lah yang mengoreksi imajinasi saya.

Beras Rojolele tergambar bak mitos. Saya masih ingat guru saya dulu pernah berkata bahwa beras Rojolele ini pulen (pada waktu itu bahkan saya tidak bisa menggambarkan pulen itu seperti apa), dengan aroma yang wangi. Bulirnya putih bersih dan besar-besar dengan bentuk bulat lonjong sempurna. Ketika ditanak ia tidak terlalu pera, tetapi juga tidak terlalu benyek. Jenis beras yang terasa sangat utopis, seakan-akan adalah gambaran sempurna beras yang ditanak Nawangwulan untuk Jaka Tarub yang mana cukup menanak sebiji hasilnya bisa jadi sebakul. Mungkin, kalo dulu saya sempat merasakan beras Rojolele ketika kecil, saya pun akan melakukan kesalahan yang Jaka Tarub juga lakukan; menanaknya sebakul penuh hingga jadi menggunung.

Ketika berkunjung ke Sanggar Rojolele, saya berjumpa dengan Mas Eksan, seorang petani muda yang juga menjadi salah satu inisiator Sanggar Rojolele. Dalam perjumpaan itu saya jadi mengetahui terlepas dari mitos dan asumsi saya ketika masih kecil, rupanya beras Rojolele hadir tidak tanpa cela. Di samping keunggulannya di atas meja makan, Rojolele memiliki beberapa kekurangan dibandingkan dengan varietas yang banyak beredar sekarang.

“Tanamannya tinggi jadi gampang roboh, produktivitasnya tidak sebanyak beras IR, tidak tahan hama, dan masa panennya lebih lama,” jelas Mas Eksan.

Beras Rojolele yang siap didistribusikan. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa.)

Volume produksi beras dari varietas padi Rojolele dianggap kurang mampu memenuhi kuantitas yang diperlukan pemerintah era Orde Baru untuk memenuhi program swasembada beras. Dalam satu tahun, padi varietas Rojolele hanya bisa panen sebanyak dua kali. Jika dibandingkan dengan varietas lain seperti varietas IR64 dan Hibrida yang bisa hingga empat kali panen dalam satu tahun, tentu saja Rojolele tidak lagi diunggulkan. Selain itu, Rojolele juga memiliki tinggi tangkai yang mencapai 180 cm. Hal ini menyebabkan Rojolele tidak tahan roboh akibat angin, yang menjadi salah satu penyebab seringnya gagal panen—selain hama.

Di era Orde Baru, Soeharto melirik kesejahteraan pangan sebagai salah satu elemen strategis untuk keseimbangan nasional. Beras digadang sebagai penjamin kebutuhan pangan skala nasional, sehingga produksinya terus digenjot terutama dari segi kuantitas. Memang, program swasembada pangan terutama beras dinyatakan berhasil dengan mengesampingkan dampak ekologi dan sosial masyarakat, hanya saja program ini turut menjadi salah satu alasan menghilangnya varietas padi lokal seperti Rojolele.

Rojolele dan Sanggar Rojolele

Di usianya yang masih tergolong muda, saat ini Mas Eksan adalah mantan buruh di Batam yang memutuskan pulang dan menjadi seorang petani aktif. Mas Eksan dan sesepuh tani di Kaibon membentuk Sanggar Rojolele yang hadir di jantung Delanggu sejak tahun 2016. Sebuah komunitas yang menjadi tempat singgah temu dan diskusi petani lintas generasi. Di markasnya di Desa Kaibon, Sanggar Rojolele juga merupakan living museum budaya agraris yang di dalamnya terdapat beragam peralatan tani yang masih digunakan hingga sekarang oleh masyarakat tani Delanggu dan diorama tentang sejarah Delanggu dan beras rojolele dalam bentuk visual lukisan dan audio.

Suasana Delanggu dengan pertanian dan industrinya. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa.)

Menurut Mas Eksan, kondisi pertanian di Delanggu tidak sebanding dengan moncernya nama besar Delanggu. Kondisi petani dan ekosistem pertanian di Delanggu memiliki permasalahan yang lebih kompleks dari sekadar jual putus dan harga hasil panen. Hal itu Mas Eksan sadari ketika dia terjun secara langsung menjadi petani.

“Mau diapakan identitas Delanggu karena sistem (pertanian) di sini tidak membuat regenerasi terjadi, ada yang salah,” kata Mas Eksan.

Sanggar Rojolele muncul dari niat Mas Eksan dan petani-petani di Delanggu untuk mengurai permasalahan yang dihadapi petani dan pertanian Delanggu. Omah Rojolele yang menjadi markasnya, diharapkan menjadi oase harapan bagi berkembangnya budaya agraris dan pertanian di Delanggu. Sanggar Rojolele juga hadir tidak hanya sebagai komunitas tani, tetapi juga hadir sebagai salah satu bentuk perlawanan kultural dan sosial terhadap hilangnya identitas agraris lokal khususnya di Delanggu.

Piranti tani yang disimpan dalam museum Sanggar Rojolele. Alat-alat ini adalah alat-alat yang masih digunakan masyarakat tani di Delanggu. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa.)

“Tatanan birokrasi dari yang terkecil hingga atas itu rancu, ada tapi kayak vakum. Suatu daerah yang kelompok taninya mati itu tandanya (pertanian) di sana ngga maju-maju. Harus ada yang dibenahi.”

Menghidupkan kembali kejayaan beras Rojolele adalah salah satu agenda besar yang Sanggar Rojolele ingin capai. Sawah-sawah Delanggu yang kembali ditanami Rojolele, mengembalikan benih asli ke tanah airnya di Delanggu, membawa beras Rojolele menjadi ikon Delanggu. Usaha-usaha untuk mengembalikan rojolele sudah dimulai sejak 2011 hingga 2019 melalui riset bersama antara petani Kawedanan Delanggu dan Karanganom, BATAN, dan Pemerintah Kabupaten Klaten. Dalam riset ini, dilakukan pemecahan DNA induk dari Rojolele untuk memperoleh DNA turunan dalam rangka menanggalkan kelemahan-kelemahan yang ada pada varietas induknya. Setelah didapatkan varietas dengan DNA turunan yang dikehendaki, Sanggar Rojolele pun mengambil peran sebagai penguji coba penanaman pada tahun 2020. Varietas Rojolele ini dinamai Rojolele Srinuk dan Rojolele Srinar, namun baru Rojolele Srinuk yang baru dilepas untuk dibudidayakan masyarakat Delanggu.

Tangkai pada Rojolele Srinuk yang disimpan di museum Sanggar Rojolele. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa.)

Festival Mbok Sri dan Usaha-usaha Merawat Ingatan

Dengan kembalinya Rojolele melalui varietas turunannya, bukan berarti Sanggar Rojolele sudah tidak memiliki sesuatu untuk diperjuangkan. Orde baru dengan Panca Usaha Tani-nya banyak mengikis ritus dan budaya tani yang turut dipupuk dan ditanam masyarakat Delanggu. Berorientasi pada tonase, tanah dan keringat tidak diberikan waktu untuk beristirahat untuk mengumpulkan kembali unsur-unsur hara ke dalam tanah dan pikiran. Jiwa gotong royong pun semakin meredup lantara masing-masing petani mengurus sawahnya sendiri-sendiri. Pada akhirnya relasi mereka hanya sebatas penggarap dan pemilik.

“Setelah gaung isu pertanian dilakukan, enggak selesai cuma menyuarakan aja. Masih ada banyak kerja pemberdayaan, pengorganisiran petani, edukasi, dan mencari solusi atau kerjasama hilirisasi pasca panen.”

Mas Eksan di halaman depan Sanggar Rojolele. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa.)

Usaha merawat ingatan tertuang dalam bentuk syukur. Para sesepuh tani di Sanggar Rojolele berusaha mewariskan pengetahuan dan muatan lokal yang mereka miliki kepada generasi yang lebih muda, mengembangkan minat generasi selanjutnya kepada pertanian agar tidak tercerabut dari akar budaya setempat. Sanggar juga menjadi episentrum pembelajaran dan kolaborasi, dengan harapan bisa menjadi ruang diskusi lintas generasi, profesi, dan komunitas.

Salah satunya adalah dalam bentuk kegiatan seni budaya yang diadakan secara rutin. Pamungkasnya ialah Festival Mbok Sri Mulih, yang ketika Mbok Sri ini sudah “mulih”, sekarang festival ini berubah menjadi Festival Mbok Sri. Diselenggarakan sejak 2017, festival ini bertujuan untuk merawat narasi-narasi lokal agar tidak hanyut terbawa arus pembangunan yang semakin memarjinalkan profesi tani sebagai profesi yang hanya mengandalkan tenaga kasar.

“Saya dan sesepuh tani di Sanggar Rojolele mulai efektif mengadakan festival seni budaya bidang pertanian. Dulu namanya Festival Mbok Sri Mulih, tapi kami ganti jadi Festival Mbok Sri. Mosok yo tiap tahun mulih. Harapannya biar menetap di sini”, jelas Mas Eksan.

Markas Sanggar Rojolele di Delanggu. (Foto: SPEKTAKEL/Risa Anggaresa.)

Menukil nama dewi kesuburan dalam mitologi Jawa, Dewi Sri, Festival Mbok Sri mengambil peran ganda sebagai sarana hiburan masyarakat, juga sebagai tonggak ingatan agar Rojolele tidak hanya tertancap di petak-petak sawah namun juga di dalam sanubari masyarakat luas. Melalui tampah berisikan ayam ingkung, sayur lodeh, nasi sambal gereh, dan srundeng, Festival Mbok Sri menjadi ritual kolektif untuk berdoa agar segala kegiatan bertani yang akan dilakukan memperoleh hasil yang diberkahi, juga menjadi wujud syukur atas panen yang sudah dilakoni. Saking berartinya festival syukuran ini, kegagalan panen diasumsikan disebabkan tidak diadakannya syukuran dan doa.

Festival ini nyaris sempat gagal dilangsungkan karena keterbatasan dana. Menolak untuk terhenti, semangat gotong royong ditunjukkan masyarakat tani Delanggu dengan melakukan patungan untuk menyokong biaya acara. Semangat gotong royong juga yang menjadikan tahun ini sewindu sejak berlangsungnya Festival Mbok Sri pertama. Semangat gotong royong juga yang meyakinkan bahwa festival ini bukan sekadar acara hura-hura seremonial, lebih dari itu, ada pesan yang disampaikan. Tentang budaya masyarakat setempat dan fasilitas untuk menyampaikan insight tentang permasalahan pertanian, khususnya untuk generasi yang lebih muda.

Lukisan diorama tentang interaksi raja Kasunanan Solo dan petani Delanggu. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa.)

“Mbok Sri ini bagi para sesepuh desa jadi semacam nostalgia, dulu ada yang dirasa memupuk kerukunan dan guyub antar petani benar-benar hadir kembali, yang hari-hari ini dirasa mulai luntur.”, terang Mas Eksan.

Mengakarnya Kembali Rojolele ke Tanah Delanggu

Rojolele kini tidak hanya menjadi sekadar varietas beras yang lewat hanya sekelebat. Rojolele adalah simbol keberdayaan masyarakat tani Delanggu dalam melawan dan bertahan untuk menjaga identitas agrarisnya. Rojolele adalah benih yang menolak untuk dilupakan, yang tumbuh bukan hanya sekadar untuk memuaskan lapar, namun juga untuk mengingatkan bahwa petani dan tanah memiliki hak untuk menentukan masa depannya sendiri. Rojolele adalah bisikan lembut dari tanah-tanah tua, yang menjelma menjadi pekikan lantang bahwa cara melawan yang paling sederhana adalah dengan menanam seperti leluhur mereka dulu.

Di sela-sela pekerjaannya sebagai petani, Eksan juga aktif mengelola dan menggerakkan Festival Mbok Sri. (Foto: SPEKTAKEL/Risna Anggaresa.)

Penelitian dan pengembangan Rojolele pun tidak berhenti ketika Rojolele Srinuk mengakar di sawah Delanggu. Saat ini, sedang diadakan pengembangan varietas Rojolele baru yang dinamakan Rojolele 104, versi pengembangan yang lebih sempurna. Proyek pengembangan varietas ini adalah proyek mandiri dari Nursanto Herlambang, salah satu aktivis yang dulu mengumpulkan benih-benih Rojolele yang masih disimpan petani. Varietas ini adalah inovasi lanjutan yang bertujuan untuk membuat varietas baru yang menghasilkan hasil panen yang lebih baik. Selain itu juga sebagai bentuk kritik atas mandegnya roadmap pengembangan benih Rojolele, agar pengembangan Rojolele tidak terhenti hanya sebatas kembali ditanam. Topik tentang pengembangan Rojolele juga akan menjadi salah satu perbincangan di Festival Mbok Sri tahun ini.

Kembalinya Rojolele, dikuatkan Festival Mbok Sri, disokong bersama masyarakat tani Delanggu; diharapkan beras Delanggu kembali menjadi parameter kenikmatan meja makan dan budaya bertani kembali menjadi gaya condong hidup yang dipilih. Dengan demikian, Delanggu bisa kembali menjadi lumbung padi di Jawa Tengah.

“Dulu Rojolele hanyalah klaim karena ngga ada yang ditanam di Delanggu. Dengan kembalinya Rojolele, kami ingin mengembalikan citra Rojolele dan Delanggu – bahwa benar kami menanam rojolele”