Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Menyicip Tahu Aci dan Bercakap dengan Tukang Jahit di Banjaran

Menyicip Tahu Aci dan Bercakap dengan Tukang Jahit di Banjaran

Teks & Foto oleh: Primagung Dary Riliananda

Menyicip Tahu Aci dan Bercakap dengan Tukang Jahit di Banjaran

Seperti banyak kota-kota perbatasan, Tegal identik sebagai titik perlintasan alih-alih persinggahan. Toh kota ini tetap menawarkan karismanya bagi mereka yang mau mampir. Ini adalah cerita Primagung Dary Riliananda berkeliling kota Tegal menyicip Tahu Aci dan berbincang dengan tukang jahit eks-penjahit konveksi di daerah Banjaran.

Selain Warteg dan Teh Poci, kebanyakan orang mengenal Tegal sebagai sentra Tahu Aci. Rasanya kurang lengkap kalau belum mencoba cemilan ini saat mampir ke sana. Penjualnya tersebar di seluruh penjuru kota, mulai dari yang bermodal gerobak hingga ruko besar.

Cemilan bercita rasa gurih ini katanya berasal dari Banjaran. Kawasan ini dapat ditempuh sekitar seperempat jam dari pusat kota Tegal. Maka, jangan heran kalau banyak penjual yang membawa embel-embel "Asli Banjaran" di lapaknya.

Ndilalah pada awal 2021 silam, pekerjaan membawa saya mampir ke Banjaran. Tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan untuk memuaskan lidah dan perut. Berbekal tanya sana-sini ke warga sekitar, saya pun tiba di sebuah kios tahu aci yang ada di sebelah timur Jembatan Kali Gung.

Bu Waslah adalah salah satu penjual tahu aci di Tegal. Warungnya yang sederhana sudah menjajakan tahu aci dan melayani pelanggan selama lebih dari empat dekade. 

Kiosnya terlihat sederhana dibandingkan dengan Nata Jaya di Kejambon, dan toko Hj. Rochmah yang memang sudah punya nama dan menjadi destinasi utama wisatawan. Tak banyak yang ditampilkan di etalasenya selain tahu aci, aneka rokok, dan juga ragam gorengan seperti pisang kipas, tempe goreng, dan combro.

Saat saya tiba, terlihat seorang wanita tengah menggoreng tahu aci. Namanya Bu Waslah, ia selalu didampingi suaminya saat bekerja. Sembari mengobrol, ia sedikit bercerita tentang warung miliknya. Mereka rupanya sudah menjalankan usaha cemilan ini sejak 1979 dan menu aneka gorengan tadi selalu jadi andalannya.

Selama empat dekade beroperasi, Bu Waslah dan suami hanya menjajakan dua menu utama di warung sederhana mereka: tahu aci dan ragam jenis gorengan.

Saya pun akhirnya mencoba tahu aci buatan Bu Waslah. Saat dicicip, rasanya tak kalah dengan dua nama yang tadi sudah disebut. Kulit tahunya matang dan renyah, dengan tetap menyisakan kelembutan di bagian dalam. Kenyal dan gurihnya aci membuatnya kian sempurna. Aroma khas dari kucai yang dicampur dalam adonan aci menguarkan aroma yang sukses menggoda hidung. Sepotong tahunya dihargai cukup murah, sekitar seribu rupiah di saat rerata harga gorengan sudah mencapai Rp2.000/biji. Wajar kalau gorengannya masih jadi primadona dan bisnis mereka tak goyah hingga kini.

Setelah puas memanjakan lidah dengan tahu aci buatan Bu Waslah, saya pun pamit, meninggalkan si ibu yang sepertinya masih sibuk menggoreng dan mengolah adonan. Rencananya, saya akan langsung pulang ke rumah karena pekerjaan di hari itu sudah selesai.

Suami Bu Waslah yang setia dan kompak dan setia mendampingi sang ibu. Pekerjaan-pekerjaan untuk mempersiapkan warung dibagi berdua. Keduanya sama-sama mengolah bahan baku tahu aci dan menggorengnya hingga siap disajikan kepada para pengunjung.

Perjumpaan dengan Saefudin si Penjahit Keliling

Rute pulang saya melewati Pasar Banjaran, yang terlihat padat sore itu. Keramaiannya sampai membuat jalan raya di depan pasar menjadi cukup semrawut. Daerah yang menjadi lokasi berdirinya pabrik teh Dua Tang ini sudah lama memang menjadi salah satu titik macet di Tegal.

Sembari berkendara santai, saya melihat-lihat suasana di sana. Mata saya seketika tertuju pada lelaki paruh baya di sisi jalan dengan mesin jahitnya. Saya mengerem motor tepat di samping lapak, sembari izin memotret. Ia menanggapi dengan ramah. "Ora papa Mas, sing moto-moto kaya sampeyan nang kene juga akeh," katanya sambil tertawa. Rupanya banyak yang datang ke daerah sini untuk memotret seperti saya. 

Saefudin adalah satu dari banyak tukang jahit keliling di sepanjang jalan Banjaran. Sudah sejak muda ia menjadi penjahit di tempat konveksi sampai akhirnya ia memilih menjalankan usaha sendiri di usia tuanya.

Namanya Saefudin. Setiap hari, pria berumur 55 tahun ini mengayuh sepeda jengkinya dari rumahnya di Pegirikan untuk menggelar lapak jahitan dan permaknya di sisi jalan raya Pasar Banjaran. Rutinitas ini telah ia jalani sejak berumur 20 tahun. "Aku mbiyen pernah melu konveksi, tapi saiki wis mlaku dewek ben luwih santai," ceritanya.

Kawasan Banjaran memang juga terkenal sebagai area industri konveksi di Tegal. Hasil konveksi di area ini bisa menjangkau hingga daerah Cirebon, Jakarta, bahkan hingga ke luar pulau Jawa.  

Perangkat sederhana yang jadi senjata utama Saefudin dalam menjalankan usahanya sehari-hari. Toh keterampilannya menjahit tetap membuatnya menjadi salah satu tukang jahit pilihan pelanggan. 

Alat yang digunakan Saefudin hanya seperangkat mesin jahit tua beserta dudukan kayu yang mulai melapuk, toples kue yang diisi beberapa jarum, gulungan benang dengan ragam warna, gunting, dan sehelai meteran kain. Ini saja cukup baginya untuk melayani ragam permintaan pelanggannya.

Sebagian besar pelanggannya adalah warga di sekitar pasar. Tarifnya murah saja, mulai dari 5000 rupiah dan bervariasi tergantung tingkat kesulitan jahitan dan vermak yang dibutuhkan. Tetap saja, harga segitu relatif lebih murah dari penjahit rumahan. Kombinasi pengalaman, harga yang murah, dan keramahannya menjadi alasan mengapa jasanya tetap diminati.