“Orang desa pergi ke kota, mencari ilmu untuk bekerja. Orang kota pergi ke desa, mencari ilmu untuk hidup.” — Sitras Anjilin, pemimpin Padepokan Seni Tjipta Boedaja.
Setahun lebih dunia bergulir tanpa pentas. Festival-festival besar ditunda, sementara hajatan-hajatan warga kebanyakan dibubarkan aparat. Hingar-bingar dan gemerlap dunia pertunjukan berbagai skala mendadak redup—kalau tidak padam.
Di berbagai tempat, para pelakunya lantas mencari alternatif untuk terus bergerak di situasi serba terjepit seperti sekarang. Mereka yang di perkotaan merasa menemukan jawabannya lewat teknologi. Lain lagi dengan para seniman desa yang mencoba bersiasat dengan menggali lagi filosofi lama mereka tentang hidup.
Para petani Jawa punya cara untuk menghindarkan diri dari kelaparan—bahkan saat hasil panen sedang sulit sekalipun. “Orang Jawa itu pakai filosofi ‘pala kependhem’. Bahwa kita betul-betul harus bisa bertahan,” kata Ketua Festival Lima Gunung, Supadi saat dijumpai di rumahnya pada akhir Ramadhan kemarin.
Ritual di Mata Air Tlompak yang membuka pagelaran Festival Lima Gunung XX. Seperti edisi-edisi sebelumnya, Festival Lima Gunung selalu dibuka dengan ritual spiritual yang kemudian dilanjutkan pertunjukan dari kelompok seni tradisional.
Mereka biasa menanam berbagai jenis tanaman pangan, terutama umbi-umbian. Ketela, pohong, kentang, uwi, dan sebagainya adalah beberapa tanaman pangan pokok yang kerap ditanam. Cara ini terbukti efektif menjamin cadangan makanan mereka di masa paceklik.
Para seniman desa kemudian memaknai ulang filosofi ini: bahwa betapa pentingnya perkembangan akar untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam konteks tatanan sosial yang lebih luas, maka desa adalah akar dari peradaban modern kita. Dari sanalah bahan-bahan pangan berasal, dari sana pula kearifan kita tumbuh.
Peradaban Desa
Komunitas Lima Gunung menerjemahkan itu semua sebagai ‘peradaban desa’. “Jangan tanya ilmu pembangunan kota, [orang desa] ndak ngerti. Ini peradaban desa. Bukan kuno dan modern, lho. Bukan masa lalu atau masa datang. Ini masa manusia, sampai kapanpun. Itu peradaban,” kata Tanto Mendut, mantan Presiden Lima Gunung.
Dalam pidatonya pada pembukaan Festival Lima Gunung XX di mata air Tlompak, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Tanto Mendut berbagi perenungan. Betapa selama ini kita keliru menganggap bahwa desa selamanya terbelakang dan kota berkemajuan. “Hari ini sebuah peradaban saya beri perspektif yang paling sederhana: bermodalkan manusia.”
Ritual dipimpin oleh tetua-tetua kelompok seniman tradisi yang ikut serta dalam rangkaian Festival Lima Gunung XX.
Perspektif ini menantang arus pemikiran “Jakarta”, yang menempatkan angka dan uang sebagai modal utama kemajuan. Sementara manusia hanya baut dan sekrup yang digerakan oleh uang.
“Saya mulai dengan cara berpikir Jakarta. Bahwa yang namanya internasional, yang namanya mendunia itu [syarat] pertama [melakukan sesuatu]. Bukan wangsit, bukan wisik, bukan inspirasi, bukan tawakal, bukan pertapaan, bukan keprihatinan, bukan manjing ing kahanan, tapi manjing ing angka-angka.”
Sebagai antitesisnya itu, Tanto dan teman-teman seniman desa di kawasan Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh menggelar Festival Lima Gunung pada 2010. Tanpa sponsor, tanpa investor, tanpa donatur. Kelangsungannya bergantung sepenuhnya pada kreativitas para seniman desa jungkir balik memutar otak.
Dengan bertelanjang kaki, Tanto Mendut, seniman senior sekaligus mantan Presiden Komunitas Lima Gunung, memberikan orasi pembuka Festival Lima Gunung XX.
Mereka punya sikap, justru dana sponsor, donatur, atau investor sering malah menggerogoti festival. Kembali ke filosofi ‘pala kependhem’, suntikan dana tanpa kreativitas dan kematangan intelektual seperti tanaman yang diberi karbit tanpa pupuk yang cukup untuk menjamin pertumbuhan akarnya: percuma. Kalaupun berbuah, rasanya akan artifisial dan tidak akan berumur panjang.
“Jadi di Borobudur, di Nias, di Bali, di Jakarta, ora penting otak panitianya. Yang penting balihonya dulu. Gede. Tulisi saja i-n-t-e-r-n-a-s-i-o-n-a-l. Seperti sabun, seperti Pepsodent, seperti branded itu,” kata Tanto.
Menolak Gulali Sponsor
Pengelolaan gelaran seni tanpa sponsor juga membebaskan penyelenggara acara. Mereka jadi lebih luwes dalam mengatur berbagai keperluan festival. Keterbatasan dana, justru membuat tercipta dialog yang lebih jujur antara penyelenggara dan penampil.
“Jadi [tamu] dari kalangan manapun, kita tidak [memusingkan uang] transportasi. Karena kami tidak ada [sponsor], jadi enak ngomongnya. Ketika mau mengisi Festival Lima Gunung, meskipun dari jauh dari Sulawesi, Kalimantan, kita nawarinnya enak,” kata Supadi.
Keterbatasan uang juga dipandang Komunitas Lima Gunung sebagai berkah tersendiri. Sebab dengan begitu, Festival Lima Gunung dibungkus dalam suasana yang sederhana yang penting gayeng. “Kalau pakai sponsor, terus wah! Tapi tahun depannya tidak mewah ada kekecewaan. Wong seni budaya kok kecewa, itu kan terus bagaimana? Kayak lucu. Jadi kita apa adanya sajalah.”
Baca Juga: Tafsir Spiritual Festival Lima Gunung di Masa Pandemi
Ketika ada kebutuhan dana penyelenggaraan acara, penyelenggara biasanya bermusyawarah dengan anggota komunitas dan menarik iuran yang jumlahnya tak seberapa. Sebanyak yang diberikan anggota, maka sebanyak itulah budget penyelenggaraan festival.
Sponsor tidak menjadi pilihan mereka sebab menurut Supadi sponsor dalam acara kegiatan seni ibarat anak kecil ngemut permen. “Hausnya nggak hilang. Enggak bikin kenyang, tapi pasti ketagihan. Cuma manis, tok. Malah tambah haus,” kata Supadi yang juga Ketua Padepokan Seni Wargo Budoyo di kaki Gunung Andong.
Tarian Tlompak melanjutkan ritual pembuka Festival Lima Gunung XX. Seperti tahun lalu, festival kali ini dilakukan secara spontan. Tanpa jadwal pasti rangkaian. Namun, tahun ini Komunitas Lima Gunung juga akan mencoba menyelenggarakan festival dengan memanfaatkan teknologi.
Pembukaan Festival Lima Gunung XX di mata air Tlompak juga diadakan nyaris tanpa rencana dan persiapan dana. Semua tampil spontan sesuai dengan kebisaan masing-masing.
Dalam menyelenggarakan festival, tugas pokok panitia lokal hanyalah menyediakan panggung dan sound sistem. Jika penampil dari luar kota akan menginap, maka akan disediakan rumah-rumah penduduk secara gratis. Suasana akrab terjalin antara seniman tuan rumah dengan para tamu. Jika ada masalah, itu semua bisa diselesaikan dengan santai dan kekeluargaan.
Baca Juga: Wayang Orang Padepokan Tjipta Boedaja, Sepenggal Doa dari Tutup Ngisor
Pada gelaran Festival Lima Gunung tahun 2019, di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang misalnya, ada 77 agenda pementasan kesenian. Selain grup kesenian dari komunitas di desa lereng Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, tampil juga kelompok kesenian dalam jejaring Komunitas Lima Gunung. Mereka datang dari berbagai kota, terutama kota-kota di Pulau Jawa.
Adapun dari luar Jawa, hadir kelompok seniman asal Bulu Kumba dan Toraja, Sulawesi Selatan. Ada pula penampil dari luar negeri, yakni Australia dan penari dari Jepang.
Iring-iringan penampil pembuka Festival Lima Gunung XX. Spiritualitas adalah salah satu mitos yang mengitari kelompok seniman tradisi serta festival independen yang telah mereka jalani sejak 2010 silam.
Untuk memenuhi akomodasi puluhan penampil dari berbagai kota itu panitia lantas mendirikan tenda-tenda untuk tamu menginap. Supadi memperkirakan, semangat independen nan guyub seperti itulah yang menarik kelompok seni dari luar kota atau luar negeri untuk terlibat Festival Lima Gunung.
“Bagaimanapun seni tradisi yang masih kuat kan dari desa dan dusun. Ada tradisi lokal seperti Nyadran, Saparan, Merti Dusun, tradisi Umpak, Suran. Kalangan luar kota ingin tahu bagaimana perjalanan tradisi di dusun dalam lingkup Lima Gunung,” ujar Supadi.
Seni yang Hidup
“Di sini Lima Gunung itu, Pak Sih yo koyok tai. Pak Riyadi ora iso nabuh, koyok mbelek lencong. Acara hari ini juga koyok WC! Telek mbenjret! Kualitas internasional, nasional enggak. Lokal saja enggak.”
Tapi Sutanto yakin semangat berkesenian para pegiat Komunitas Lima Gunung tumbuh dari bawah. Dari akar masyarakat.
“Apakah ada pembicaraan dananya hari ini bahkan seribu rupiah saja?”
“Tidak ada.”
Sutanto yakin obah berkeseniannya para seniman tradisi di Komunitas Lima Gunung masih orisinil. Setara dengan Badui Dalam di Banten, Suku Anak Dalam, Dayak.
Baca Juga: Festival Mbok Sri Mulih; Merayakan Petani dan Hati
“Masakan mereka itu saingannya Probolinggo yang ada campuran Madura. Kalau Jakarta, tidak mungkin. Mereka (Jakarta) hanya gado-gado dikasih dress. Mie koyo cacing kae dikei mayones. Lima puluh ribu. Itu kere kabeh.”
Soal penilaian bagus-jeleknya pertunjukan para seniman Lima Gunung, tentu terbuka lebar ruang perdebatan. Toh petunjukan seni yang dihelat di kamar-kamar teater dengan kualitas akustik jempolan pun tak bebas kritik.
Tapi yang pasti, 20 tahun komunitas ini konsisten menggelar festival tanpa absen, jadi suatu hal yang tak terbantahkan. Bahwa seni mereka hidup, mengakar, dan tumbuh bersama masyarakat.