Logo Spektakel

Home > Sorotan > Profil >

Lampurio: Terbentuk, Terbentuk, Membentuk

Lampurio: Terbentuk, Terbentuk, Membentuk

Teks & Foto oleh: Primagung Dary Riliananda

Lampurio: Terbentuk, Terbentuk, Membentuk

Identitas seorang pengkarya kerap kali dibentuk oleh latar belakang lingkungan dan peristiwa yang dialaminya. Begitu pula dengan Rio Simatupang. Di dalam studionya, pemilik nama kanvas Lampurio ini bercerita banyak tentang proses kehidupannya dan juga ketertarikannya pada kearifan lokal kampung halamannya, yang menjadi akar dari proses pengkaryaan yang telah dijalani sejak belasan tahun silam.

Saya masih bersama Rio di Studio Pakaroso, duduk santai menikmati angin Minggu siang yang sedikit berawan pada pertengahan Januari lalu. Kami tak hanya berdua, beberapa temannya juga turut mendengarkan. Di sela obrolan, candaan dikeluarkan, baik itu dengan bahasa Indonesia dan bahasa lokal, yang saya belum begitu mengerti maknanya dan sudah barang tentu menambah peran Rio sebagai penerjemah. Masih pula ditemani dengan pisang goreng khas Sulawesi dengan sambalnya yang segar namun menggigit di akhir. 

Sesekali, Rio juga mengajak berkeliling studio. Di salah satu sudut, satu lukisan buatan tahun 2023 menarik mata: sosok karakter dengan tulisan “Aku Cinta Diriku” dengan aksen kombinasi warna kuning neon, fuchsia, dan biru kemudaan. Di belakangnya, lukisan lain dengan karakter yang sama namun berbeda aktivitas nampak terbungkus rapi. “Sebenarnya, semua lukisan ini termasuk dalam satu seri berjudul ‘Aku Cinta Diriku’ yang menceritakan tentang kecintaan seseorang terhadap pekerjaan yang ia lakukan. Saya akan membawanya ke Cirebon, kebetulan diundang untuk berpameran di Smiljan Dutchbook hingga Februari nanti. Doakan semoga semua lancar,” ujarnya.

Lukisan “Surga Anjing” yang dilukis oleh anak Rio dan ditempatkan di sudut Studio Pakaroso. (Foto: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)

Kami pun kembali ke ruang tengah. Sembari menghisap batang demi batang rokok kretek, seniman asal Poso ini kembali menerawang ke masa lalu. Kali ini menuju momen pertemuannya dengan hal-hal yang kemudian membawa eksplorasi seninya ke kedalaman baru, hingga meneguhkan karakternya yang terbentuk hari ini. Mulai dari sini, cerita Rio kembali berlanjut.

Terkesima corak adat

Dilahirkan dan tumbuh di lingkungan multikultural, Rio membawa darah Batak ayah yang mengalir di nadinya, juga pengaruh ibunya yang membawa Rio mengenali unsur lokal di Poso dan Sulawesi. Ia akrab dengan kain ulos milik ayahnya sejak kecil, dan tak lama kemudian dirinya sudah mencoba mengenali motif-motif itu. Belum lagi jika membahas pertemuannya dengan patung Palindo, yang hanya terletak tiga jam dari rumahnya di Poso. Semua itu kelak membawanya masuk ke dalam praktik kultural secara tidak langsung dengan mencoba menggambar ragam motif-motif tradisional yang ia temui, walau saat itu ia belum menyadarinya. Rutinitas itu telah dijalani sejak dirinya duduk di bangku sekolah dasar.

Saat kecil Rio punya rutinitas yang unik. Jika teman-teman seusianya sibuk bermain dan bersenda gurau di depan rumah, ia akan mendapati dirinya pergi bersama kakek dan neneknya, yang saat itu bekerja sebagai koreografer dan penari. Ditambah lagi Rio juga kerap ikut ke acara-acara adat yang digelar keluarga seperti pernikahan. 

Rio kecil melihat acara-acara adat ini sebagai tempat bermain yang sempurna: ia dapat melihat lebih banyak motif pakaian adat, ukiran ornamen, bahkan ragam tarian yang digelar. Dirinya seringkali merasakan keintiman saat melihat hal-hal ini. 

Potret Rio Simatupang di depan Studio Pakaroso. (Foto: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)

Saat melihat semua itu, ia merasa diputus sepenuhnya dari ragam dinamika yang sering dilihat di kawasan perkotaan. “Energi mereka menyatu saat menari bersama, padahal tidak semua dari mereka berprofesi sebagai penari profesional. Ada yang melepas pekerjaannya sejenak untuk menari, kemudian ia akan kembali lagi pada pekerjaannya begitu selesai menari. Peristiwa seperti itu sukar dipahami, namun entah mengapa saya bisa merasakannya energi itu walaupun saat itu saya masih kecil,” tukas Rio.

Bagi Rio, keluwesannya menggambar sudah terjadi secara organik sejak kecil. Ia mengibaratkan hal ini sama dengan anak kecil yang sering melihat orang menari. Secara tidak langsung, sang anak akan mencoba mengikuti gerakan tersebut sekalipun dirinya tak pernah dididik sebagai penari. “Memori tentang tarian itu akan tersimpan secara kolektif di otak, yang kemudian akan menjadi pondasi jika anak tersebut akhirnya akan diedukasi dan diarahkan untuk menjadi penari,” lanjutnya.

Semakin banyak Rio melihat, semakin besar ketertarikannya pada motif-motif tersebut. Terlebih, pola itu repetitif: ia banyak melihatnya saat berada di Poso, Toraja, Bugis, dan Palu seiring berjalannya waktu. Komposisi rupa itu terpatri dengan baik dalam ingatannya, sekalipun Rio kecil belum benar-benar memahami makna dibalik motif yang ada.

Antarkota, antarcerita

Di sisi lain, ia dikenal dengan jiwa yang terlampau “eksploratif” oleh keluarga dan teman-temannya. Tak terhitung sudah berapa kali ia meninggalkan sekolah hanya untuk mencari bentuk kreativitasnya. Puncaknya ketika ia tinggal kelas saat masih mengenyam bangku sekolah menengah, saat itu pula kedua orang tuanya mengambil sikap: memutuskan untuk menitipkan Rio di panti asuhan Kristen milik salah satu kerabat yang tinggal di kawasan Tengger, dengan harapan ia dapat sedikit berubah dan menjadi disiplin.

Rio memasuki studio miliknya setelah melukis. Studio Pakaroso menjadi galeri dan tempatnya mengeksplorasi karakter seninya. (Foto: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)

Berada jauh dari orang tua membuat fase pendewasaan Rio akhirnya dimulai. “Bisa dibilang, aktivitas saya terlalu eksperimental saat masih berada di Palu sehingga banyak sekali dinamika yang terjadi baik di keluarga maupun di sekolah. Justru saya merasa ada tanggung jawab dengan diri sendiri ketika berjarak dengan orang tua dan baru saya sadari jika itu berat,” katanya sambil tertawa.

Perlahan, Rio menjalani semua prosesnya. Ia tinggal di sana hingga akhirnya melanjutkan studi dengan mengambil fokus Ilmu Jurnalistik di Yogyakarta. Semua fase pendidikannya ia jalani hingga tuntas. 

Tuntutan studi saat kuliah membuatnya harus menyimpan hasrat untuk berkarya lebih jauh melalui medium seni rupa—meski sesekali masih melihat bentuk seni jalanan sambil berkomunitas. Ia fokus mempelajari cara mengilustrasikan sebuah peristiwa melalui teks, foto, dan video. 

Di Yogya, ia juga mulai menaruh ketertarikan pada film: hal yang akan membawanya ke Jakarta setelah lulus. Rio sempat bergabung dalam sebuah rumah produksi, bahkan terlibat di beberapa produksi FTV. Beberapa kali ia dan temannya menggarap film-film independen. 

“Melihat kondisi di saat itu, sama sekali tak pernah terbayangkan jika saya akhirnya akan kembali lagi ke dunia seni rupa. Namun, yang jelas ada kenyamanan dan ketidaknyamanan di waktu yang bersamaan, sesuatu yang bagi saya kompleks,” ia mengenang.

Salah satu lukisan dari serial “Aku Cinta Diriku” yang telah Rio garap. (Foto: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)

Meski demikian, Yogya dan Jakarta bukanlah tempat yang menggerakkan jiwanya secara penuh untuk melakukan eksplorasi seni. Dua kota ini lebih banyak memberikan Rio cara pandang tentang bentukan-bentukan komunitas dan bagaimana seni dapat mempunyai porsi tersendiri di ranah industri. Kawasan yang membuka kembali sisi Rio yang sempat terkunci adalah Bali, surganya para seniman. 

Berawal dari tawaran seorang teman yang sulit ditolak; sebuah proyek dokumenter untuk meliput tarian Sanghyang Grodog, Rio pun bertandang ke Pulau Dewata. Di sana ia duduk mendengarkan cerita dari para penari yang rata-rata sudah berusia lanjut. Saat proyek tersebut selesai, ia mendapati dirinya sekali lagi ada di persimpangan: antara kembali ke Yogya, Jakarta, Palu, atau tetap singgah di Bali.

Di masa itu lah, dirinya banyak menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa galeri dan museum, salah satunya milik Antonio Blanco. Tak butuh waktu lama untuk panggilan itu datang lagi. “Saat itu, saya mulai yakin jika gagasan yang saya miliki dapat dituangkan melalui seni rupa. Walau memang praktiknya masih sekadar membuat sketsa di kertas saat bersantai. Kadang juga mulai datang ke acara teman-teman komunitas untuk menggambar bersama,” tutur Rio.

Bali juga mempertemukan Rio dengan banyak seniman, ilustrator, arsitek, dan perupa. Salah satu yang cukup memengaruhinya ialah Made Bayak, Klick Swantara dan Diana Surya. “Menarik melihat eksplorasi yang mereka lakukan, khususnya Made Bayak yang memang berkonsentrasi dalam musik dan seni rupa. Dari semua pertemuan ini, saya menganggap melukis akhirnya bukan hanya soal mencorat-coret dan dinilai secara estetisnya saja, namun juga ada selipan ide dan gagasan yang coba diutarakan,” ia melanjutkan.

Terbentuk dan membentuk

Sebagai manusia, Rio dan keluarganya juga telah melewati beberapa fase hidup, dan Tragedi Poso menjadi salah satu momen yang pivotal. Peristiwa yang terjadi pada awal 2000 itu memang tidak dirasakan oleh sang seniman secara langsung karena dirinya sedang ada di Palu, namun sebagai orang yang mempunyai darah Poso dari sang Ibu, ia merasa harus bersuara, hingga akhirnya memilih fokus kepada karya yang dapat menyuarakan isu-isu yang berkaitan dengan sosial.

Salah satu lukisan Rio yang terpampang di dinding studio. (Foto: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)

“Waktu itu, saya masih kelas 1 SMP, namun beberapa anggota keluarga saya mengalami saat harus mengungsi dari satu tempat menuju tempat lain hanya untuk mencari aman. Apalagi, saya juga sempat mendengar ada satu kampung yang dibakar karena konflik horizontal yang terjadi semakin meluas. Sebagai minoritas, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi keluarga saya yang tinggal di sana waktu itu. Apalagi, konflik-konflik yang berkaitan dengan agama selalu berakhir sangat ricuh. Untungnya semua tetap baik-baik saja sampai sekarang,” tukasnya.

Inilah yang mengantarkan Rio untuk konsisten membawa satu pesan: kedamaian antar sesama. Terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama. Beberapa karyanya juga ia buat untuk merespons konteks kehidupan zaman kiwari. Salah satunya melalui karya “Think Before Share”. Karya ini adalah responsnya terhadap gejolak media sosial yang kian hari kian panas.

“Sebenarnya tidak hanya media sosial saja, karena saya menyoroti pesan-pesan provokatif yang dibagikan di tempat dan waktu yang tidak tepat. Namun karena kebetulan yang banyak muncul di saat ini awalnya dari media sosial, jadi visualnya akhirnya mengikuti,” kata Rio.

Tak bisa dipungkiri juga bahwa ilmu jurnalistik yang digelutinya saat kuliah di Yogyakarta memberikan Rio banyak cara untuk melihat suatu fenomena dari aspek sosial dan manusianya. “Dari sana, saya kemudian banyak mengangkat karya tentang hubungan antara manusia dan lingkungan sosialnya, sembari membawa unsur perdamaian, gotong royong, dan kebanggaan akan identitas masing-masing,” ia melanjutkan.

Hobi di masa kecil yang sempat terpendam, kepekaannya saat merasakan sesuatu yang berkaitan dengan seni dan kearifan lokal, kebiasaan melihat fenomena, hingga keterlibatan dengan aspek visual dan medium penceritaan lainnya menjadi embrio dari seorang Rio Simatupang untuk sampai di titik sekarang. Tak ada keinginan khusus darinya kecuali tetap memperpanjang napas kreativitasnya, bahkan jika itu dilakukan sesederhana kepada anaknya dan teman-teman di lingkungan terdekatnya.

”Bagi saya, hal yang terpenting adalah ketika kita bisa membagikan apa yang ingin kita suarakan kepada orang lain, dan saya ingin teman-teman juga dapat seperti itu dengan caranya masing-masing, karena semua manusia itu unik dan punya pendekatannya sendiri,” pungkasnya sekaligus mengakhiri obrolan di sore itu.