Logo Spektakel

Home > Sorotan > Profil >

Menabur Benih, Merawat Bibit, Menumbuhkan Ekosistem Sandang

Menabur Benih, Merawat Bibit, Menumbuhkan Ekosistem Sandang

Dua dekade perjalanan Lenny Agustin dipandu sebuah visi yang mantap. Bukan hanya tentang pengembangan karyanya, tetapi juga pembentukan ekosistem fesyen yang berkelanjutan.

Visi Lenny Agustin dalam menyikapi dunia mode cukup mantap. Ia melihatnya sebagai wadah ekspresi yang semestinya membebaskan, menguatkan, dan memberdayakan. Dari dua dekade perjalanannya, ia melihat perancang mode—layaknya seniman lain—haruslah dibentuk melalui sebuah disiplin untuk menghasilkan sebuah konsep yang kuat sehingga dibutuhkan ekosistem yang terolah dan terkelola dengan baik.

Perihal ekosistem ini menjadi catatan besar bagi Lenny. Sejak awal kariernya ia telah ikut terlibat dalam komunitas-komunitas serta asosiasi profesi. Dari situ, ia melihat bagaimana kantong-kantong kecil ini saling terhubung dan saling membentuk—menjadi sebuah sistem pendukung, terutama bagi perancang mode generasi baru. 

Merancang jalan perancang mode

Perjalanannya mempelajari dan menavigasi ekosistem fesyen tanah air ia mulai dari Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Bersama rekan-rekan perancang mode lainnya, mereka berpusing-pusing merancang mimpi bersama. Tujuannya satu: menancapkan fesyen Indonesia dalam peta mode dunia. 

Lenny Agustin bersama rekan-rekan Indonesian Fashion Chamber selepas pagelaran salah satu program nasional. (Foto: Arsip Indonesian Fashion Chamber) 
Bersama APPMI, Lenny berjumpa, berkenalan, dan berbagi pengetahuan dengan para perancang mode, pengusaha, hingga artisan di berbagai provinsi di Indonesia. Kerja-kerja itu kemudian dirangkum dalam gelaran Indonesia Fashion Week yang pertama pada 2011. 

Empat tahun berselang, pada 2015, Lenny Agustin “lulus” dari APPMI dan merancang jalan baru dalam ranah pengembangan ekosistem. Ia bersama tujuh alumnus APPMI lainnya, yaitu Taruna K. Kusmayadi, Dina Midiani, Lisa Fitria, Sofie, Deden Siswanto, dan Ali Charisma, kemudian melahirkan asosiasi baru: Indonesian Fashion Chamber (IFC) dengan Ali Charisma sebagai National Chairman pertama. 

Asosiasi baru ini mencoba membuat tawaran pendekatan yang berbeda, terutama mengenai edukasi dan pengembangan talenta baru. Fokusnya pada tiga pilar, yaitu riset dan pengembangan SDM dan bisnis yang mencakup desain & label, pemasaran dan distribusi, serta kewirausahaan unit kecil dan menengah.

Karya Ali Charisma di Front Row, Paris, sebuah program showcase internasional Indonesian Fashion Chamber. (Foto: Arsip Indonesian Fashion Chamber)

Pendekatan baru ini terutama terasa dari bagaimana IFC melakukan pendekatan kepada desainer-desainer muda yang baru lulus dari sekolah mode untuk menjadi anggotanya. Ketika itu, hal ini terbilang langka sebab biasanya asosiasi profesi di dunia mode diperuntukkan kepada mereka yang sudah “terbukti” dan matang.

Bagi Lenny secara personal, semangat itu muncul sebagai cerminan dari pengalamannya yang juga pernah pemula. Bagaimana dulu, selepas kuliah pada 2001, ia mendirikan butik di Jalan Setia Budi, Jakarta Selatan, hanya dengan empat orang karyawan di lini produksi. Ia ingat betul bagaimana ketika itu jalan begitu terjal baginya sebagai desainer pemula untuk menembus lingkar satu dunia fesyen Indonesia, bukan hanya sebagai pengukuhan kualitas, tetapi juga demi perputaran roda bisnisnya. Sebab bagaimanapun bisnis fesyen, terutama high-fashion, adalah bisnis “elit” dengan ceruk pasar yang tak besar-besar amat. 

Mentorship bagi para desainer muda menjadi salah satu program yang sering dilakukan oleh Indonesian Fashion Chamber, baik itu melalui program mandiri ataupun program kolaboratif bersama entitas lain. (Foto: Arsip Indonesian Fashion Chamber)

Maka keterbukaan ini, dibarengi dengan disiplin standar kurasi, adalah bentuk upaya IFC untuk membentuk ekosistem fesyen yang lebih inklusif. Ketujuh penggagas IFC sadar bahwa ekosistem yang sehat adalah ekosistem yang berproses, dan proses itu harus juga mencakup kesempatan bagi talenta yang masih hijau. Mereka percaya bahwa asosiasi sudah semestinya menjadi kendaraan dan ruang belajar bagi para pemula untuk menjadi profesional seutuhnya.

Semangat ini termanifestasi dalam sepak terjang Lenny Agustin, baik sebagai individu maupun sebagai National Chairwoman IFC hari ini. Di sela-sela kegiatannya mendesain, Lenny juga aktif melakukan presentasi, edukasi, dan literasi—walau terkadang ia ceritakan dengan nada agak gemas mengingat tantangan dan jalan terjal yang telah dan masih harus dilewatinya hari ini. 

Membentuk identitas kolektif mode Indonesia

Semua kerja itu ia lakukan demi memupuk mimpinya yang masih sama sejak dulu: menancapkan identitas fesyen Indonesia di peta mode dunia. Pertanyaannya kemudian, seperti apakah bentuk identitas itu? Bagaimana pun Indonesia punya tradisi tekstil, kerajinan, dan desain yang amat beragam. Hal ini menjadikan kerja pembentukan identitas fesyen Indonesia sebuah tantangan yang cukup berat. 

Lenny Agustin sedang memberikan presentasi mengenai semangat tadisi inovasi dalam sejarah kebaya dalam pagelaran Kebaya Week yang diinisiasi Funky Kebaya Community, salah satu komunitas yang juga terkoneksi dengan Indonesian Fashion Chamber. (Foto: Spektakel)

Ia mencari jawabannya secara perlahan tapi pasti kemudian, baik ketika menjalankan perannya sebagai anggota IFC serta saat ia mendalami sejarah dan tradisi fesyen anah air. Ternyata, identitas mode Indonesia bukanlah produk akhir, tetapi sesuatu yang harus terus dibentuk dari generasi ke generasi. 

Maka, ia melihat tradisi dan inovasi bukan sebagai sesuatu yang bertolak belakang, melainkan saling berkelindan. Inovasi yang baik lahir dari penghormatan terhadap tradisi, dan preservasi tradisi menjadi penting untuk memantik inovasi. Begitu seterusnya hingga identitas itu terbentuk dengan semakin mantap dan tajam. 

Untuk itu, Lenny juga menyadari kerja membentuk identitas mode Indonesia adalah kerja kolektif dan menyeluruh. Ia tidak bisa disandarkan pada satu orang atau satu entitas. Tidak bisa juga hanya dilakukan lewat satu cara.

Maka dalam perjalanan selanjutnya, ia bersama teman-teman di IFC membuka ruang-ruang interaksi kolektif dengan mendorong tiap-tiap anggotanya membentuk komunitas lain di bawah naungan IFC. Tujuannya adalah untuk menjaring talenta dan warna baru yang akan turut menenun identitas mode Indonesia. 

Karya Gregorius Vici di Front Row, Paris, sebuah program showcase internasional Indonesian Fashion Chamber. (Foto: Arsip Indonesian Fashion Chamber)

Secara pribadi, Lenny juga aktif dalam kerja-kerja riset dan kini sedang menyiapkan wadah publikasi sejarah dan riset fesyen Indonesia. Sebab, tanpa ada literasi yang memadai, kekayaan intelektual kita akan banyak dicaplok dan menguap begitu saja. Dengan menjadi warisan yang tercatat, ilmu juga cenderung menjadi lebih egaliter dan mudah diakses, misalnya tanpa harus menjadi anggota asosiasi tertentu. 

Sandang yang dipahami dan dikenakan

Bagi Lenny, akses informasi sejarah dan seluk-beluk dunia mode merupakan hal yang penting untuk diusahakan. Bila melongok ke masa embrio kariernya sendiri sebagai perancang busana, ia terhitung banyak mendapatkan informasi dan inspirasi dari terbitan–walaupun pada fase itu bentuknya masih berupa majalah, dengan informasi yang cukup terbatas. Ia bercerita, menyelami koleksi majalah mode milik kakaknya memantik kecintaannya pada dunia mode. Informasi mengenai sekolah mode pun pertama kali ia dapatkan dari majalah.

Mendengar cerita dan visi Lenny Agustin, saya jadi tergelitik untuk membayangkan betapa asyiknya bentuk produk, penikmat, pemikir, dan pelaku mode yang dapat menghidupi industri mode Nusantara bila punya ekosistem yang lebih holistik dan inklusif. Merayakan sandang dengan  kebebasan eksperimentasi, tapi berdasarkan referensi dan konsep yang kuat; dengan seniman yang terolah secara baik, tapi bukan elitis. Saling berbagi cerita melalui mediumnya. 

Dengan antusias Lenny bercerita, saat ini ia sedang menggodok moda baru untuk menelurkan karya ready-to-wear dari Butik Lenny Agustin. Terutama mereka yang bercorak kebaya; selain dalam rangka gerilyanya membawa kebaya sebagai fashion item, kebaya juga dinilai timeless, bisa dijual untuk kapan saja. Semua dilakukan agar gerak-gerak mendesain dan menjahitnya semakin berkurang untuk mendalami misi baru di dunia publishing. “Yah, semuanya dijalani dalam nafas panjan,” tutup Lenny. 

Ignasius Satrio Krissuseno

Ignasius Satrio (l. 2004) Adalah seorang pelajar lepas yang belum berencana mentas belajar. Memilih untuk berhenti memakan bangku sekolah sejak kelas 2 SD, dan memutuskan untuk belajar di mana-mana. Di semak, di kampung, di kota. Pertama mengenal fotografi semenjak diberi kamera oleh bapak ibu saat berumur 4 tahun. Dalam perjalanan belajarnya, jatuh cinta pada dunia mencari dan meneruskan cerita. Telah mencoba medium tulis-menulis, fotografi, film dokumenter, dan beberapa medium eksperimental lainnya.

Mari bergabung bersama kami berkontribusi memajukan seni budaya Indonesia. Kirimkan data kegiatan di sekitarmu ke kontak@spektakel.id

Menulis Untuk Kami

Editor: Redaksi