Kebaya merupakan salah satu jenis busana yang telah telah melintasi rekam sejarah Nusantara. Bagi Lenny Agustin, pakaian ini bukan sekadar artefak kebudayaan dari sebuah zaman yang lampau. Sepanjang kariernya, ia menghayati kebaya sebagai kanvas karya, sebuah “fashion item” yang bisa menembus bangsa dan era.
Siang itu, cahaya matahari yang tertutup awan tipis melenggang masuk ke sudut sebuah butik di Jalan Setia Budi, Jakarta Selatan. Dari jendela butik yang besar-besar, ia menyinari seorang perempuan berambut warna-warni terang. Hampir setiap hari perempuan tersebut mengenakan kebaya sebagai baju atasannya. Hari ini, rambut cerahnya berpadan kebaya berwarna jambon bernuansa ceria–atau kebaya funky, jika meminjam istilah wartawan yang meliputnya di awal 2000-an lalu.
Perempuan itu adalah Lenny Agustin, seorang perancang busana yang sudah cukup senior di ranah mode Indonesia. Sosoknya kerap berseliweran di media nasional dan internasional, khususnya dalam wilayah mode dan gaya hidup perempuan. Ada periode ketika koleksi rancangannya menjadi langganan banyak artis dan penyanyi untuk dipakai tampil dalam video klip, di acara pernikahan atau di atas panggung. Sejak awal kariernya, ia dikenal sebagai seorang visioner dengan desain-desain eksperimental yang kental dengan sentuhan Nusantara. Perpaduan corak etnik dengan warna-warna cerah dan siluet modern yang centil menjadi salah satu gaya yang identik dengan pendekatan desainnya.
Belakangan, seiring perjalanannya mendalami dunia akademis dalam ranah sejarah fesyen tanah air, Lenny Agustin mempertajam fokusnya untuk memberikan tawaran imajinasi baru tentang kebaya yang sekarang ia dedah DNA desainnya.
Lenny Agustin, desainer fashion yang beberapa tahun terakhir menggali lebih dalam sejarah kebaya dan kini memanifestasikan visinya tentang pengembangan kebaya melalui brand serta komunitas Funky Kebaya Community yang dibangunnya.
Siang itu, saya menyapanya di udara dalam sambungan meeting online. Dengan sangat energik hampir tanpa putus ia bercerita, menyambut pertanyaan-pertanyaan tentang dunia mode, terutama di Indonesia. Tentang pasang-surut gelombang dalam ekosistemnya, identitas mode Indonesia, serta visi ke depan yang penuh harapan.
Kebaya bukan sekadar artefak budaya
Lenny Agustin bukan termasuk orang yang rumit dalam mendefinisikan fesyen. Baginya, fesyen itu sederhana: ia adalah produk budaya yang saling merespons zamannya. Fesyen, sebagaimana produk budaya lain, memantik sekaligus juga dipantik oleh berbagai situasi dalam peradaban, menjadi cerminan berbagai perubahan pola pikir manusia. Maka, dalam melihat proses perkembangan fesyen, baik di ranah global maupun di tanah air, Lenny Agustin melihatnya sebagai sebuah dialog yang tak putus antara manusia dan situasi zamannya. Baginya, itulah kenapa kerap kali fesyen menjadi salah satu penanda zaman.
Selain sebagai penanda zaman, fesyen sejak awal sejarah perkembangannya di masa kerajaan, juga hadir sebagai penanda identitas. Termasuk di dalamnya kelas dan kuasa sebuah kelompok yang direpresentasikan melalui gaya busana.
Lenny Agustin dan para model usai pagelaran busana Funky Kebaya di Spotlight 2024. Pagelaran busana ini menampilkan koleksi "Unpoetry" yang menampilkan desain kebaya berpadu dengan gaya modern nan romantis.
Bicara soal fesyen sebagai salah satu bentuk identitas bangsa, Lenny mengaku gemas. Menurutnya, Indonesia tidak mempunyai arahan dan perspektif yang ajeg tentang bagaimana bangsa ini hendak di-branding di panggung internasional. Kebanyakan, program atau kebijakan yang ada terkait hal itu dibuat dengan reaktif ketika ada klaim-klaim dari negara-negara tetangga. “Kayak waktu kebaya didaftarkan sebagai kekayaan budaya oleh Malaysia, jadi pada ikutan heboh. Baru tuh ada program-program kebaya gitu.”
Hal lain yang membuatnya “gatal” adalah masih sedikit sekali orang yang melihat kekayaan budaya Indonesia sebagai sesuatu yang dinamis dan bernilai guna untuk kehidupan keseharian. Ia pun kembali merujuk kepada kebaya. Menurutnya, busana ini seakan terikat mitos bahwa ia adalah sebuah warisan budaya adiluhung dengan bentuk yang pakem dan look tertentu, cenderung tidak bisa diganggu gugat.
Padahal dalam sejarahnya gaya dan bentuk kebaya berkembang secara dinamis, seiring sejalan dengan perubahan pelbagai zaman di Indonesia. Sejak zaman nun jauh sebelum kemerdekaan ataupun setelahnya. Berbagai perubahan ini meliputi baik itu hal-hal teknis—seperti jenis-jenis kain yang digunakan untuk membuat kebaya, ornamen, hingga pola dan jenis potongan—maupun simbolisme yang menyertainya. Ia bukanlah hal yang stagnan.
Setelah menempuh studi S2 di program Kajian Seni Urban dan Industri Budaya, lalu kini menempuh studi S3 mengenai sejarah kebaya, perspektif Lenny Agustin mengenai sejarah inovasi kebaya dari masa ke masa kian terbuka. “Jadi memang panjang banget ya perjalanan kebaya itu. Kenapa kebaya, dari yang bentuknya tertentu itu, kemudian bisa jadi berbeda-beda? Pada beberapa kasus, misalnya kayak baju tentara Eropa, itu juga masih disebut kebaya karena zaman dulu tuh semuanya disebut “abaya” (yang kemudian berkembang menjadi istilah kebaya).”
Salah satu pendekatan Lenny Agustin dalam pengembangan kebaya adalah dengan menghadirkan kebaya dengan siluet ikoniknya dipadu dengan ragam bahan dan motif yang segar dan trendy.
Dari studinya, ia mendapatkan afirmasi bahwa kebaya punya jiwa funky bahkan sejak permulaannya. Dalam konteks perkembangan gaya dan modelnya, perkembangan kebaya tak lepas dari pemberontakan perempuan Indonesia terhadap identitas budayanya. Kebaya encim, misalnya, adalah respons kaum perempuan peranakan Tionghoa yang ingin menyetarakan kelas mereka dengan para noni Belanda meskipun kemudian mereka tetap menjaga identitas budaya mereka dengan menambahkan ornamen bordiran bunga yang rumit dan warna-warna cerah.
Sejarah juga mencatat bagaimana kemunculan kebaya kutubaru bersinggungan dengan keberadaan prajurit perempuan. Salah satu rujukan mengenai asal muasal kebaya ini menyebutkan bahwa bentuk kebaya kutubaru merupakan hasil modifikasi yang dibuat oleh para prajurit perempuan untuk memudahkan mereka berlatih ilmu kanuragan.
Tak lupa juga bagaimana para putri keraton, terutama Solo, dulu sering membuat modifikasi bentuk kebaya untuk menyesuaikan gaya mereka saat berhadapan dengan tamu-tamu negara dari luar negeri. Salah satu modifikasi kebaya keraton adalah kebaya berkerah serupa kerah jas yang digagas oleh Gusti Nurul.
Dari proses perkembangan ini, terlihat bagaimana evolusi kebaya menampung banyak kultur. Padanya pernah hinggap pengaruh Cina, Portugis, dan Belanda yang mengevolusikan bentuknya dari masa ke masa. Sebagai sebuah produk budaya, kebaya juga bukan eksklusif milik Indonesia. Ia adalah bagian dari kekayaan khazanah sandang masyarakat Asia Tenggara sehingga agak sulit untuk kemudian mengklaimnya sebagai pakaian tradisional Indonesia.
Itulah mengapa alih-alih melihat kebaya sebagai sebuah artefak kebudayaan dari masa lampau, Lenny Agustin memutuskan untuk memandang kebaya sebagai perekam sejarah yang “dekat” dan fun, yang bisa dikenakan sebagai keseharian. Ia memiliki potensi untuk menjadi media ekspresi yang lebih luas daripada sekadar menjadi busana yang dipakai untuk “kartinian”.
Funky Kebaya
Pendalaman Lenny Agustin mengenai sejarah kebaya, membentuk visinya secara radikal; ia ingin menjadikan kebaya sebagai sebuah fashion item. Artinya, kebaya hadir sebagai ide bentuk yang bisa dikreasikan dan dikenakan oleh siapa saja di seluruh dunia. Seperti kimono dari Jepang yang sekarang dapat menjadi medium ekspresi dan dikenakan khalayak luas tanpa harus ada dalam kerangka agenda kenegaraan.
Funky Kebaya yang diusung Lenny Agustin tetap memperlihatkan siluet klasik kebaya dengan modifikasi rancangan yang dibuat relevan dengan gaya hidup urban di zaman sekarang.
“Kalau sudah masuk ke situ (menjadi fashion item), nanti orang dari mana pun di seluruh dunia bisa mendesain kebaya itu kayak, misalnya, (orang-orang) mendesain kimono. Ada bentuk kemeja dan lain-lain. Masuk juga di tema apa pun,” jelasnya. Lenny kemudian mengelaborasi penjelasannya tentang kimono. Bagaimana Kimono menjadi bentuk yang dapat terus diterjemahkan ulang oleh desainer dari berbagai negara, termasuk oleh desainer-desainer Indonesia. Meskipun demikian, ketika publik melihat hasil rancangan tersebut, mereka masih tetap dapat mengenali akar sejarah kimono. Secara simultan kimono tetap kokoh sebagai sebuah bentuk identitas kebudayaan Jepang sekaligus menjadi pintu masuk dialog kebudayaan antarbangsa melalui ragam penerjemahan desain yang kontemporer.
Pandangan tersebut ia akui masih belum sepenuhnya bisa diterima di Indonesia. Kebanyakan orang masih menganggap bahwa kebaya identik dengan pakem berkebaya secara tradisional. Dalam percakapan yang lain dengan Spektakel, Lenny Agustin juga menjelaskan perbedaan signifikan antara kebaya dan berkebaya. “Kebaya itu kita bicara busana atasan, sementara berkebaya adalah tata cara mengenakan kebaya yang memang bisa kita sepakati pakemnya secara tradisional,” jelasnya.
Pakem berkebaya yang dimaksud, yaitu padu padan berbusana mengenakan kebaya yang mencakup sepotong kain sebagai bawahan dan tatanan rambut seperti sanggul. Sebuah look klasik yang terutama mengacu pada gaya berbusana perempuan keraton.
Tantangannya kemudian adalah dalam hal pengembangan desain kebaya dengan pendekatan yang lebih kontemporer, pakemberkebaya ini ditanamkan sebagai pakem desain kebaya sehingga terkesan desain kebaya harus sejalan dengan tampilan klasik berkebaya dan tidak bisa diganggu gugat.
Padahal, esensi kebaya bukan terletak pada padu padannya, melainkan pada potongan dan pola. Hal ini ia jelaskan mengacu pada etimologis kata ’kebaya” yang berasal dari bahasa Arab, yakni “qaba“ yang berarti atasan berbentuk kotak’. “Karena dulu blus kan dari potongan kain kotak terus dilipat jadi dua dan dibuat bukaan di tengahnya. Mirip dengan tunik,” lanjutnya.
Pandangan ini tidak lantas membuatnya menihilkan tradisi dan pakem-pakem berkebaya. Justru semangatnya untuk mengembangkan kebaya menjadi fashion item kontemporer berakar pada rasa hormatnya terhadap tradisi dan sejarah kebaya itu sendiri. Ia melihat perlu ada wacana penyeimbang dalam memahami sejarah kebaya: bahwa preservasi tradisi tentu saja diperlukan, tetapi harus juga ada orang-orang yang mengupayakan keberlanjutan dialog budaya antara kebaya dan generasi baru hari ini dan yang akan datang.
Eksplorasi siluet dan material seperti denim merupakan salah satu bentuk inovasi yang dibuat Lenny Agustin. Menghadirkan kebaya dalam konteks yang lebih modern dan relevan dengan gaya hidup hari ini.
Ide tentang funky kebaya ini mulai ia olah dan dalami kembali pada masa pandemi. Saat itu ia membongkar koleksi di butiknya, mencari stok-stok yang masih tersisa. Ia mendapat sebuah kesadaran, ternyata masih ada yang meminatinya. Kebaya ternyata sebuah busana yang timeless. Entah 2005 atau 2025, ia masih memiliki tempat di tiap ceruk penikmat. Belum lagi, di era pandemi dan setelahnya, ada runtutan kejadian yang membuat kebaya kembali diperbincangkan. Seperti momen kemarahan masyarakat Indonesia saat ia didaftarkan sebagai kekayaan budaya oleh Malaysia atau saat lahir produk budaya pop beken seperti Gadis Kretek, yang melejitkan kembali popularitas kebaya di kalangan anak muda.
Kata ‘funky’ ia pilih setelah merunut arsip sejarah kebaya. Lenny menjelaskan bahwa istilah kebaya modern sudah digadang-gadang sejak tahun 40-an dan telah memiliki bentuknya sendiri—walaupun sempat tidak berhasil karena rakyat Indonesia pada saat itu sedang bersemangat untuk membentuk identitas kebangsaannya dan cenderung anti terhadap kata “modern”.
“Kata “modern” kerap disamakan dengan sifat dan pengaruh Barat. Konsep tersebut baru diterima dengan cukup baik pada tahun 1990-an. Diusung sama Mas Edward Hutabarat, Eddy Betty, dan sebagainya,” lanjutnya.
Secara struktur mereka masih membuat kebaya tradisional dalam pakem. “Paling tidak hanya mengganti dalamannya menjadi bentuk kemben korset ala Eropa dan semacamnya. Kalau dilihat, biasanya mereka pakai bahan lace (brokat). Sampai sekarang jadi terbawa. Sampai dikira ciri khas kebaya itu adalah berbahan lace oleh generasi berikutnya. Padahal tidak selalu begitu,” pungkasnya.
Lenny Agustin tidak sungkan memadukan kebaya dengan inspirasi desain lain dari luar Indonesia dalam mengembangkan desain kebaya. Tujuannya adalah untuk menjadikan kebaya sebagai kanvas universal yang bisa terus dikembangkan oleh desainer sekarang dan di masa yang akan datang.
Perpaduan nilai, estetika, dan budaya
DNA funky kebaya sebetulnya sudah tercetus sejak awal kariernya saat ia masih aktif merancang busana pengantin. Di masa itu, salah satu karyanya dimuat dalam booklet kumpulan desain kebaya pengantin, bersanding dengan desainer-desainer Indonesia yang berpengaruh di era awal 2000-an.
Melihat balik ke momen itu, menurut Lenny, keikutsertaannya dalam booklet tersebut karena karyanya menawarkan ide yang segar tentang kebaya. “Soalnya jadi hal baru yang antimainstream di era itu. Era itu yang terkenal kayak desainernya Sebastian Gunawan atau Eddy Betty dengan nuansa Barat, atau Ghea dan Prajudi Admodirdjo yang “indonesia”-nyaitu banget-banget,” ujarnya. Sementara Lenny Agustin seperti berada di antara kedua kutub tersebut.
Ia membawa bentuk pakaian Indonesia yang bercampur inspirasi Eropa, berbalut rasa yang muda. Sejak saat itu sampai menuju pergantian dekade 2010-an, gerak-gerik ciptanya cukup diamati oleh khalayak fesyen dan dunia hiburan nasional. “(Selain kebaya) aku ngedesain semua baju daerah kayak baju bodo Makassar, juga baju-baju Kalimantan, Aceh, dan Papua. Aku otak-atik juga jadi ala anak muda.”
Membangun ekosistem kebaya, ekosistem budaya
Setelah ia semakin ajeg dengan ide funky kebaya, belakangan Lenny pun turut membangun komunitas bagi para perancang dan pencinta kebaya di tanah air. Funky Kebaya Community namanya.
Dalam perjalanannya, ia menjadikan komunitas ini sebagai ruang untuk berbagi ide dan pengetahuan, serta berdialog mengenai sejarah dan ide pengembangan kebaya. Pemahaman mengenai sejarah kebaya ini sering kali ia tekankan kepada para anggota komunitasnya. Sebab, ia meyakini, inovasi yang baik dan berkelanjutan hanya bisa dilakukan dengan pondasi pemahaman sejarah yang kuat. Tanpa itu, nantinya justru Kebaya bisa kehilangan esensi identitasnya.
Setiap tahunnya, Lenny Agustin bersama desainer-desainer yang tergabung dalam Funky Kebaya Community menggelar fashion show bersama yang menghadirkan tawaran imajinasi baru tentang kebaya hari ini.
“Karena kalau aku kan nggak sembarangan juga menelusuri sejarahnya, (aku) menggali kenapa sih sampai terbentuk seperti ini. Pada ngomong pengaruh islam; sejauh mana pengaruh Islamnya gitu? Islam atau Eropa atau memang kita sendiri sebagai Indonesia?” jelasnya.
Bersama komunitas ini, ia aktif menginisiasi berbagai kegiatan seperti talkshow, sesi mendesain kebaya bersama secara online, workshop, kompetisi desain, serta menggandeng muda-mudi pegiat mode untuk ikut serta dalam gelaran fashion show kebaya. Menjelajah potensi kebaya, menguatkan akarnya sebagai fashion item, Lenny Agustin terus menggalakkan dialog budaya yang harapannya, akan berkontribusi terhadap pengembangan kebaya di masa yang akan datang.