Logo Spektakel

Home > Sorotan > Kegiatan Budaya >

Nada Sumbang Festival Musik Di Indonesia

Nada Sumbang Festival Musik Di Indonesia

Pertengahan hingga akhir tahun 2022, para festival-goers Indonesia disuguhkan berita-berita tak enak soal penyelenggaraan festival musik. Ada yang dihentikan di tengah penyelenggaraan, hingga ditinggal kabur penyelenggara.

Pada Agustus 2022, kawan saya Aldiz Melodic, punggawa gigs di Banyumas dan festival metal tahunan, Voice Hell, mengirimkan pesan singkat;

Kowe November, sibuk ora?”, tulisnya.

Ora, ana apa sih”? Sahut saya.

Ngerewangi acara ya, mengko tak kabari maning”.

Begitu saja percakapan teks singkat kami. 

Sebagai pengelola gigs serta festival, Aldiz akrab dengan kata “tekor” — layaknya jampi-jampi ampuh para pengelola gigs dan festival musik di kota-kota kecil nusantara. Persoalannya selalu sama dan berulang; tata kelola keuangan dan acara. Taat dan tertib jadi seperti alergi ketika mengelola sebuah festival.

Voice Hell adalah salah satu festival musik metal yang dikelola oleh anak-anak Purwokerto. Festival ini adalah satu dari sedikit yang diselenggarakan dengan konsisten dan berkelanjutan, meski masih dengan sumber daya yang terbatas. 

Sebagai anak kelahiran asli Purbalingga dan kemudian tinggal di kota tetangga, Purwokerto, saya menjadi pengunjung setia gigs kampus dan luar kampus. Dari sekedar penonton, saya mulai belajar mengelola — dengan pengetahuan a la kadarnya. Saya sering menolak tawaran untuk menyelenggarakan skala gigs yang rasanya di luar kapasitas saya.

Saya pikir ini konsekuensi logis dari warga kota kecil yang segala sesuatu terasa apa adanya. Imajinasi saya, para penyelenggara gigs dan festival di kota besar macam Bandung dan Jakarta, pastinya jauh lebih fasih nan profesional. Ternyata tidak juga. Isu-isu keberlanjutan penyelenggaraan selalu jadi hymne yang diulang tiap tahun.

Tahun 2022 membuat isu lama ini jadi hot lagi karena rentetan penyelenggaraan festival yang kacau. Rehat panjang pandemi meredam penyelenggara dan para festival-goers, maka ketika keran perizinan mulai dibuka, beragam gigs dan festival mengucur deras. Di saat itulah berita tak enak mulai bermunculan. 

Dimulai dari Festival Melepas Penat di Bandar Lampung, awal September, menjadi pembuka dari rentetan festival bermasalah. Festival Melepas Penat dibatalkan di hari kedua penyelenggaraannya. Kabar simpang siur, ada yang bilang uangnya dibawa kabur salah satu penanggung jawab — ada juga yang bilang uang dari sponsor belum cair sampai hari pelaksanaan dan pihak vendor menginginkan pelunasan saat itu juga. 

Festival Melepas Penat menjadi gong pembuka rentetan cerita ragam penyelenggaraan festival yang carut marut sepanjang 2022. 

Itu ternyata baru awal mula dari banyak berita festival lain yang mengalami hal serupa sepanjang 2022. Cirebon, Tegal, Klaten, Sukabumi, bahkan Bandung dan Jakarta adalah deretan kota yang menyumbang daftar festival bermasalah.

Salah satu festival bermasalah yang paling disorot tahun 2022 silam adalah Festival Berdendang Bergoyang yang dilaksanakan di Senayan, Jakarta. Pihak kepolisian sampai menghentikan penyelenggaraan festival di hari kedua karena dianggap melanggar perizinan kapasitas penonton. Saking kisruhnya, festival yang satu ini menjadi perhatian publik dan pelaku industri.

Wendi Putranto yang dikenal dengan nama Wensrawk, dalam cuitannya menjelaskan duduk persoalan kenapa Festival Berdendang Bergoyang dianggap bermasalah. Kesalahan pertama adalah pemilihan tempat. Dengan (target) jumlah penonton lebih dari 10.000 orang, festival ini harusnya diselenggarakan di lokasi seperti JIEXPO Kemayoran, karena kapasitas Istora Senayan hanya 7.000 orang. Akses menuju Istora Senayan juga rawan macet, hingga berimbas pada terlambatnya pengisi acara yang berpengaruh terhadap susunan acara serta dampak bola salju lainnya; penonton yang terlunta-lunta.

Tata kelola pengunjung, pertunjukan, serta produksi juga menjadi perhatian Wenzrawk. Venue pertunjukan menggunakan atap bangunan yang sudah berusia lebih dari 60 tahun tentu sangat riskan bagi keselamatan pertunjukan. Minimnya komunikasi penyelenggara dengan pihak pengelola penampil semakin memperparah situasi. 

Dalam cuitannya, Wenzrawk membuat ajakan untuk memikirkan keselamatan konser dengan membentuk Komite Keselamatan Konser, sehingga tidak terjadi tragedi Kanjuruhan versi musik. 

Pengunjung Berdendang Bergoyang yang menyesaki Istora Senayan, menyebabkan pencabutan izin penyelenggaraan acara. Peristiwa ini terjadi tak lama setelah tragedi di Stadion Kanjuruhan yang berujung duka bagi banyak pengunjung.  

Ia menyebut nama Dino Hamidi sebagai Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia. Saya tonton wawancaranya di Youtube, di mana Dino menjelaskan kegagalan mendasar dari para penyelenggara festival adalah ketiadaan pengalaman mengelola festival dalam skala besar. Tidak ada runut proses yang menjadi tolok ukur persiapan hingga mitigasi risiko. 

Dino mengatakan bila Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) berupaya menjadi filter untuk mencegah munculnya promotor musik abal-abal, dengan menawarkan program pendidikan dan pelatihan bagi promotor musik baru. 

Saya cek website mereka tetapi tidak mendapatkan informasi apapun selain soal visi-misi serta biaya pendaftaran sebesar Rp15 juta dengan iuran per tahun sebesar Rp 12 juta. Angka fantastis untuk promotor kelas sendal jepit dari kota-kota kecil di Indonesia.

Mimpi Glastonbury

Bagi festival-goers, tak ada yang bisa menyangkal betapa ikoniknya Glastonbury Festival. Festival yang tahun 2020 lalu merayakan ulang tahunnya ke-50, didirikan oleh seorang peternak sapi perah — menjelma menjadi international iconic brand di kancah musik dunia. Glastonbury bukan cuma soal musik, tetapi juga sosio-ekonomi.

Berawal dari kolaborasi antara peternak sapi perah dan anak-anak punk mabuk yang dikejar polisi saat kabur dari festival di kota tetangga, Glastonbury Festival menjelma menjadi salah satu festival paling ikonis dan mengembangkan tolok ukur penyelenggaraan festival bagi siapapun yang berminat menggeluti jalan karier tersebut.

Festival ini mengubah wajah kota dan bahkan bersama pihak pemerintah kota bekerja bersama menetapkan standar baku penyelenggaraan festival serta kegiatan kreatif lainnya. Contoh dokumen bisa Anda unduh di sini dan di sini. Para penyelenggara senior Glastonbury juga membuka kelas tata kelola festival yang bisa dicek di website ini

Glastonbury tentu bukan satu-satunya. Saudara jauhnya, di kota kecil Jerman, Thomas Jensen dan Holger Hübner memulai konser yang pada edisi awalnya tahun 1990, dihadiri tak lebih dari 800 headbangers. Konser itu dinamai Wacken Open Air dan kini menjelma sebagai festival heavy metal dengan jumlah pengunjung 75.000 - 85.000 orang tiap penyelenggaraannya.

Nama Wacken Open Air bukan hanya hadir sebagai sebuah festival, tetapi mereka juga dikenal sebagai konsultan festival kelas wahid yang jadi cap kualitas untuk partner-partner penyelenggara festival lainnya. 

Bagi saya, keduanya bukan cuma uji waktu dan sabar, tetapi juga uji pengetahuan - bagaimana kedua festival tersebut beradaptasi dengan perubahan teknologi, zaman, penonton, bahkan generasi. Laju mereka tak selamanya lancar, tetapi visi mereka menjadi koridor yang mengantarkan mereka tetap ada hingga hari ini.

***

Balik lagi ke kawan saya, Aldiz Melodic, ternyata dia meminta saya untuk berangkat ke Bandung untuk membantu teman-teman Hell Print Festival. Sebenarnya perasaannya saya cukup was-was, mengingat sudah banyak kabar tak enak soal festival-festival yang berguguran, tapi mumpung ada gadis manis dari Toba yang menemani, berangkatlah kami ke Bandung.

Celakanya, was-was saya jadi kenyataan. Setiba di Bandung, saya disambut dengan wajah ruwet teman-teman penyelenggara karena izin acara dicabut dua hari sebelum penyelenggaraan. Pihak Kepolisian beralasan hal tersebut dilakukan untuk menjaga kestabilan keamanan jelang Natal dan Tahun baru. Setelah bernegosiasi cukup alot, izin tetap tidak dikeluarkan dan festival pun diundur. 

Festival Hellprint 2022 jadi salah satu penutup rangkaian cerita carut-marut penyelenggaraan festival. 

Di dalam kereta pulang ke Jakarta, saya berpikir bila banyaknya festival yang tahun ini harus diakui sebagai kesalahan semua yang berada di lingkar bisnis ini. Mereka yang berhasil membuat festival musik tidak serta merta berhak mengomentari penyelenggara musik yang dianggap gagal — sebab tak meratanya ilmu pengetahuan serta tak adanya standar baku yang bisa dijadikan tolok ukur. 

Sebagai anak kota kecil, saya berharap ada pihak-pihak yang berkenan memberikan akses pengetahuan pengelolaan festival musik secara rinci dan komprehensif. Kemudian adanya diskursus mengenai penyelenggaraan festival musik yang kontekstual dengan demografi penontonnya, sehingga memunculkan keragaman bentuk.