Masakan khas Hakka memang mengutamakan penggunaan bawang putih dan tapai, mungkin karena dulu kelompok Hakka sering berpindah tempat sehingga membutuhkan pengawet makanan.
Sejak dua tahun lalu, saya dan Novita, teman SMA saya, selalu mengunjungi daerah Pecinan, Jakarta Barat menjelang perayaan Imlek. Awalnya, kami hanya ingin melihat bagaimana suasana tahun baru di daerah yang masih dipadati keturunan Tionghoa itu, tetapi kami malah menemukan banyak makanan di gang-gang sempitnya yang membuat kami akhirnya terus kembali.
Kali ini, kami mengunjungi Pecinan untuk mencoba masakan Tionghoa khas Hakka yang disajikan rumah makan Wong Fu Kie sejak 1925. Sampai di sana, kami langsung disambut dengan dapur dan tiga orang juru masak yang tengah sibuk mempersiapkan bahan masakan, baru kemudian kami melenggang masuk ke ruang makan yang kecil, bersih, dan sederhana. Sambutan yang tidak begitu manis, namun justru membuat saya merasa seperti akan makan di rumah sendiri.
Salah satu juru masak sedang mempersiapkan bahan masakan di dapur Wong Fu Kie.
Dapur Wong Fu Kie berada di bagian depan, baru kemudian pelanggan akan masuk ke ruang makan.
Kalender-kalender Tionghoa yang menghiasi ruang makan Wong Fu Kie.
Ruang makan ini belum dipenuhi pelanggan, tetapi menu-menu yang hanya berisi jenis makanan tanpa daftar harga telah bertebaran di atas meja. Dinding sebelah kanan dan kiri dihiasi dengan kalender-kalender Tionghoa, tak lupa ada patung kucing pembawa keberuntungan yang ditaruh di salah satu rak.
Dalam bahasa sehari-hari, perintilan tersebut memberikan kesan yang, “Cina banget deh pokoknya.” Hehe. Kami pun memesan wong san fumak dan babi kuluyuk, menu unggulan di rumah makan ini. Wong san fumak adalah lindung atau belut yang digoreng tepung, disajikan bersama sayur, dengan saus yang sarat dengan bawang putih dan tapai.
Menurut kami, belut goreng tepung ini terasa agak pahit yang dipengaruhi dari tapai, sedangkan sayur yang menemani belut terasa asin dari bawang putih. Ketika keduanya disantap bersamaan, kombinasi rasa yang pas akan tercipta di dalam mulut. Sementara itu, babi kuluyuk tidak didominasi rasa bawang putih maupun tapai. Daging babi digoreng tepung, kemudian diberi saus yang terasa asam dan manis. Sebagai pelengkap, potongan nanas dan cabai ditaruh di antara babi goreng tepung.
Bagi saya, bagian terbaik dari kedua menu ini adalah belut dan daging babi yang dilapisi tepung beberapa kali, lalu digoreng (secara deep fried) dengan kematangan yang pas. Hasilnya, kedua menu ini tetap terasa renyah di mulut meskipun sudah dibaluri dengan saus.
“Kalau aku sukanya karena potongan dagingnya besar-besar, beda sama Omaku yang biasanya (dagingnya) diiris kecil-kecil,” kata Novita sambil menghabiskan makanan di piringnya.
Novita!
Mengintip ke bagian dapur, masakan khas Hakka memang mengutamakan penggunaan bawang putih dan tapai, mungkin karena dulu kelompok Hakka sering berpindah tempat sehingga membutuhkan pengawet makanan. Dua bumbu itu pun, bersama garam, gula, dan tausi, tertata rapi dalam beberapa wadah aluminium di samping meja penggorengan.
“Tapi, gak semua bumbu ini dipakai di setiap makanan. Kalau tapai biasanya buat lindung,” tutur Bapak Juru Masak.
Pernyataan tersebut menjelaskan mengapa wong san fumak memiliki cita rasa bawang putih dan tapai yang kuat, sedangkan babi kuluyuk tidak.
Beberapa wadah aluminium berjejer rapi untuk menaruh bumbu-bumbu masakan.
Bagian depan rumah makan Wong Fu Kie.
Rumah makan Wong Fu Kie tidak mengenal hari libur alias buka setiap hari, kecuali Imlek dan Idul Fitri. Jadi, pelanggan setia dan pembeli baru memiliki banyak waktu untuk menelusuri gang-gang di Pecinan (banyak pintu masuk menuju rumah makan ini, salah satunya gang Jalan Petak Baru di depan Pasar Asemka) dan menemukan rumah makan yang hanya ditandai angka 22 sebagai nomor rumah ini.
“Nov, jangan lupa tahun depan kita cari makan lagi ya!” (Artikel ini telah tayang sebelumnya di blog pribadi Andrea Lidwina: www.andrealidwina.wordpress.com)