Pasar bisa diciptakan adalah jargon yang lebih mudah diucap ketimbang dilakoni. Apalagi dalam konteks ekosistem kreatif. Untuk mewujudkannya, mantra itu mestilah dibarengi berbagai ikhtiar. Pun tentu saja, mental yang jauh dari kata kalah. Mari kita terbang lebih jauh ke timur Indonesia, tepatnya ke Ternate. Tempat di mana sekumpulan anak muda berikhtiar menciptakan pasarnya sendiri. Jauh dan lepas dari hiruk-pikuk “industri” Ibukota.
Suatu hari, kepala Spektakel Management, Zakky Mochammad datang dengan bersemangat ke kantor, membawa rekomendasi kompilasi album KONG!. “Dengerin, nih! Kompilasi anak-anak Ternate,” serunya.
Album ini adalah hasil temuannya sepulang jadi narasumber di acara bincang-bincang musik di sebuah media tentang ekosistem musik di luar kota-kota besar. Rupanya ia baru bertemu dengan Raj Perkasa Alam, anak Bekasi yang terdampar jadi Pegawai Negeri Sipil di Ternate sejak tahun 2011. Pertemuan ini lantas mengenalkan kami, bukan hanya kepada musik-musik baru, tetapi juga ekosistem kreatif baru di Timur Indonesia. Dalam acara bincang-bincang itu, mereka menyebutnya ‘Alternate’.
‘Kong’ dalam Bahasa Ternate adalah kata sapaan. Nama yang cocok betul dipilih sebagai judul album perkenalan.
Bloody Flamingo adalah salah satu musisi yang terlibat dengan kolektif Kartel. Unit rock 'n roll asal Ternate ini menjadi salah satu line up di salah satu gelaran acara Kartel.
Berisikan 10 lagu dari enam grup musik asal Ternate, album berdurasi 44 menit ini menyajikan cukilan akan kancah musik alternatif di Tanah Ternate. Beres mendengarkan musik-musik baru tersebut, kami lantas penasaran, bagaimana kiranya skena musik di Timur jauh Indonesia ini?
***
Selayaknya banyak kolektif di kota-kota besar yang terbentuk secara organik, begitu pula asal mula Kartel. Pada mulanya, mereka adalahh tongkrongan yang demen nge-band dan kemudian gelisah dengan ekosistem musik di kotanya dan akhirnya mereka mencoba mambangun skena musik di kampung halamannya.
Untung saja teknologi sudah canggih, sehingga kami tak perlu jauh-jauh terbang ke Ternate untuk berbincang bersama. Lewat sambungan video call kami berkesempatan ngobrol dengan Raj Perkasa Alam, Rizky Suhri dan Novian Pratama Umasangadji, salah tiga dari anggota Kartel. Kami juga berkesempatan ngobrol bareng anggota Rapublik North Maluku, Farid Egal, yang juga sempat menjadi bintang utama acara Kartel. Dari keempatnya, hanya Raj yang pendatang dari Bekasi. Sebagai seorang aparatus negara, sudah lumrah ia ditugaskan ke kota-kota terpencil di pelosok negeri. Selebihnya adalah putra-putri daerah yang pulang dari perantauan menimba ilmu jauh ke Tanah Jawa. “Enggak tahu kenapa memang kami sering ngumpul aja, terus di 2021 kolektif ini kami seriusin,” ujar Rizki atau yang kerap disapa Iki. Dari tongkrongan itulah kolektif Kartel lahir.
Acara-acara Kartel memberikan panggung bagi musisi alternatif lintas genre, tidak hanya dari Ternate, tetapi juga dari kota tetangganya Tidore. Salah satunya Emiria!
Mulai dari iseng-iseng ngumpul dan bikin pentas kecil-kecilan di kedai-kedai kopi yang baru-baru ini menjamur di Ternate, sekelompok pemuda ini nekat serius membangun ekosistem kreatif sebagai antitesis dari skema sosial yang sudah ada. Bukan sekadar ajang petantang-petenteng, semangat mereka adalah untuk mengakomodasi perubahan perspektif para pemuda di Ternate saat ini.
Pembangunan yang berjalan lambat di Ternate membuat pekerjaan sebagai aparatus negara lainnya sebagai satu-satunya profesi yang menjanjikan kemapanan. Namun, seiring dengan semakin banyak anak-anak yang pulang dari perantauan di Tanah Jawa, pandangan ini sedikit demi sedikit mulai tergerus. Banyak dari anak-anak ini memimpikan profesi yang penuh kebebasan berekspresi dan menggelitik kreatifitas.
Itulah mengapa, kini mulai muncul beberapa entrepreneur muda di Ternate yang merintis bisnis restoran dan kafe. Persis Jakarta dan sekitarnya sekira satu dekade lalu. “Ternate itu kan terlambat sekitar 10 tahun dari Jakarta hahaha,” kata Iki sembari terkekeh.
Hip-hop dari Timur Indonesia sudah lama punya jejaknya sendiri. Kehadiran mereka juga turut mendapatkan ruang di kolektif Kartel. Salah satunya lewat Rapublik North Maluku.
Lewat kedai-kedai kopi dan restoran baru ini pula referensi-referensi baru dari skena alternatif di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta menyisip ke kehidupan sehari-hari pemuda Ternate. Hal inilah yang kemudian menjadi dorongan geliat baru skena musik alternatif di kota tersebut.
Panggung Buat Semua
Jangan salah, Kartel bukan kolektif musik pertama di Ternate — pastinya tidak akan jadi yang terakhir juga (amin!). Sebelumnya, sudah ada beberapa kawan-kawan mereka yang lebih dulu terlibat di kolektif-kolektif musik lain. Tak sedikit, dari anggota Kartel juga yang sebelumya bergabung atau terlibat di kolektif-kolektif tersebut.
Yang mereka lakukan bersama Kartel kini adalah mengambil pelajaran-pelajaran dari mekanisme para pendahulunya dan mencoba memodifikasinya untuk memberikan tawaran baru: panggung untuk semua.
Warna-warna musik dari Ternate maupun Tidore yang hadir bersama kolektif Kartel kerap membawa serta perasaan nostalgia bagi para pendengar di Ibukota. Maklum, referensinya memang datang terlambat. Tapi bukan berarti musik mereka jadi outdated. Right Chambers misalnya yang tetap menyajikan kesegaran lewat karyanya.
Skena musik di Ternate yang lebih dulu ada, umumnya fokus hanya pada genre-genre tertentu seperti metal dan hip-hop. Selain itu, para pemusik Ternate juga harus berkutat dengan keterbatasan ruang pertunjukan. “Saya di Ternate dari 2011,” ucap Novian Pratama Umasangadji yang akrab disapa Ian. “Pada saat itu ekosistem musik di Ternate masih minim sekali. Ruang unjuk gigi yang kurang memadai membuat mereka seiring berjalannya waktu kian surut dengan sendirinya.”
Kegelisahan inilah yang menjadi landasan pertama mereka. Kebetulan banyak anggota kartel yang juga pemilik kedai-kedai kopi. Jadi mengapa tidak menggelar pertunjukan di kedai-kedai kopi ini? Sepertinya, jaringan pebisnis muda dan PNS dalam kolektif inilah yang kemudian membuat mereka disebut “Kartel” oleh para koleganya di kancah musik alternatif Ternate. Nama yang mereka amini begitu saja dan akhirnya menjadi cap brand kolektif ini.
Maju Jaya, Pantang Kalah
Membangun kolektif musik secara independen secara finansial, apalagi di daerah yang jauh dari pusat roda ekonomi, tentu bukan perkara mudah. Pendanaan adalah tantangan terbesar. Apalagi secara lokasi, Ternate bukanlah wilayah yang seksi bagi para sponsor-sponsor besar. Ketertinggalan dan keterbatasan adalah sebuah keniscayaan. Namun, bukankah a show must go on?
Usaha musisi-musisi alternatif di Ternate dan sekitarnya yang memodifikasi unsur-unsur musik tradisional kerap menuai kritik dari para senior di koumintas seni & budaya Ternate. Seperti Rapublik North Maluku yang memodifikasi lagu rakyat "Togal" dengan menjadikannya rap. Namun, pada akhirnya karya mereka menjadi salah satu pintu masuk khalayak mengenal lebih jauh kebudayaan Maluku.
Maka kelompok ini pun memutar berbagai siasat untuk dapat membangun ekosistem yang berkelanjutan. Berkelanjutan berarti di satu sisi juga harus bisa memberikan benefit, entah dalam bentuk apapun, bagi tiap-tiap orang yang terlibat di dalamnya. Iki, yang merupakan mahasisw jurusan Ilmu Ekonomi, salah satu yang punya kesadaraan itu.
“Kalau ngejar Jakarta enggak akan ada abisnya. Pasti akan selalu ketinggalan. Ya, kan referensi dari luar pasti masuk ke sana dulu. Terus sampe ke Ternate bertahun-tahun kemudian. Jadi yang penting sih buat kami gimana caranya ekosistem musik di Ternate hidup dulu,” ujarnya yakin.
Maka dari itu, setiap kali Kartel menggelar acara, kelompok ini akan menghitungnya dengan cermat. “Kami juga enggak munafik, ya. Karena kami melakukan research, maka kami juga melihat sumber daya yang ada,” lanjut Iki.
Kartel berfokus membangun ekosistem yang mampu membuat setiap orang yang terlibat berdikari dengan karyanya. Termasuk dalam perencanaan acara-acara pertunjukannya. Usaha yang tak selalu mendapat dukungan dari semua pihak. Toh pelan tapi pasti usaha ini tetap dilakoni juga.
Fokus mereka adalah bagaimana membuat ekosistem musik di Ternate bisa mengakomodasi pelaku-pelaku lokalnya. Soal dikenal di kota-kota lain, apalagi sampai ke Jakarta, itu bonus belaka.
Dalam menyelenggarakan acara pun mereka memilih fokus pada “sponsor-sponsor” lokal, alias kawan-kawan mereka yang juga punya bisnis terkait dengan ekosistem musik alternatif di Ternate. Dana sponsor besar, dari perusahan rokok misalnya, justru bukan target utama. Salah satu alasannya adalah suntikan dana sponsor besar yang cenderung lebih banyak membuat buntung ketimbang untung.
Hampir setiap kali, suntikan dana sponsor besar turut menghadirkan target pengunjung yang berlebihan. Hal ini kemudian “memaksa” kolektif lokal untuk turut mengundang band-band besar dari Ibukota sebagai atraksi utama untuk menarik penonton. Namun, hal ini sering kali malah menjadi senjata makan tuan karena alih-alih menyuburkan ekosistem musik daerah, proses ini justru kian menomorduakan talenta lokal.
Maka sebagai sumber dana alternatif, selain lewat dukungan sponsor lokal, Kartel juga berinisiatif membentuk kongsi dagang berbentuk koperasi. Lewat koperasi ini semua yang terlibat bisa turut menjual merch, rilisan fisik karya, atau barang dagangan lainnya. Begitu pula zine yang diterbitkan secara berkala.
Social Clan adalah salah satu musisi yang terlibat dalam kolektif Kartel. Karya unit emo ini juga termasuk dalam album kompilasi KONG!
“Dari unit koperasi itu, nanti berapa persen keuntungannya akan kami alihkan untuk bikin event musik,” tutur Farid. Terbukti pada bulan Juli lalu, Kartel berkolaborasi dengan Ternate Thrift Syndicate menyelenggarakan acara pasar secondhand, dan hasilnya di luar dugaan. “Alhamdulillah, kami bikin event dua hari, pendapatannya mencapai dua digit,” ujar farid.
Buah Ikhtiar
Buah ikhtiar mereka yang lain muncul saat mereka mendapatkan kesempatan untuk membuat rilisan fisik berisikan kompilasi karya musisi alternatif di Ternate. Jaringan Raj di lingkaran pemerintahan membawanya pada peluang mengenalkan kancah musik Ternate ke khalayak luas.
Pada 2021, Pemerintah Kota Ternate lewat Dinas Kebudayaannya tengah gencar mempromosikan industri kreatif di kota di Timur Indonesia itu. Tentu saja seiring sejalan dengan arahan pemerintah pusat untuk mendorong pemajuan kebudayaan dan ekonomi kreatif Indonesia (luar biasa!). Salah satu programnya adalah dengan memberikan pendanaan bagi para pelaku kreatif di Ternate. Kesempatan ini lantas dimanfaatkan Raj untuk mengumpulkan karya kawan-kawannya dan merilis album fisik. “Kapan lagi?” pikirnya.
Sebagaimana banyak musisi lokal di kota-kota kedua, hanya segelintir yang siap menyanggupi tantangan semacam ini. Mulai dari kesiapan materi lagu sampai kesiapan media kit. Maka dari sekian banyak musisi di Ternate, hanya enam band yang masuk ke dalam album kompilasi ini.
Unit alternatif KAKEKSUGI menjadi pembuka dan penutup album dengan lagunya yang bertajuk, “Ode to All Capitan” dan “Lost in Echos”. Raj dan kawan-kawannya yang mempunyai band alternative, Right Chambers turut ikut serta mengisi 2 track dengan tajuk, “One Line & Reverse Perspective” dan “Lewat Jam Malam”.
Band lain yang terlibat ialah Retronics, Pop Pink, A.S.O.Y, dan Social Clan. Masing-masing dengan karakter yang berbeda. Kesemuanya pun dirangkai menjadi album kompilasi yang ciamik dengan produksi yang matang.
Seluruh proses rekaman KONG! dilakukan di Ternate, tentu saja dengan proses saling bantu antar-teman. Materi master ini kemudian dikirim ke Yogya untuk mixing, dan akhirnya dirilis dalam bentuk fisik dan digital. Menyusul perilisan album ini, teman-teman Kartel pun tengah mengusahakan untuk menyiapkan berbagai rekaman-rekaman pertunjukan dan video clip.
Semua dilakukan dengan semangat tumbuh besama. Mereka mengajak kawan-kawan yang tengah belajar videografi. Pun mereka yang sedang belajar mengedit film. Usaha ini pun akhirnya juga menjadi laboratorium para pelaku kreatif lain untuk bereksperimen dan mengembangkan kemampuannya.
***
Satu hal yang membuat perbincangan dengan teman-teman dari Kartel terasa menyenangkan adalah semangat mereka untuk maju bersama. Terlalu sering kami mendengar keluh-kesah dari kawan-kawan kolektif di berbagai kolektif di kota-kota kedua. Tapi sedikit yang punya semangat pantang kalah sebelum perang.
Idealisme mereka dibangun berlandaskan realitas. Kartel menunjukkan semangat untuk terus bersiasat. Mereka menerima ketertinggalan kotanya dan mencari solusi yang solutif bagi ekosistem kreatif yang coba dibangun—ekosistem yang memberdayakan pelakunya untuk berdikari dalam kerja-kerja keseniannya.
Meskipun ekosistem skena musik yang dijalani oleh kawan-kawan Kartel di Ternate belum sepopuler biji kopinya, tapi melihat disiplin ilmu dan konsistensinya dalam berkarya bukan tidak mungkin kelak ekosistem musik di sana akan jadi modal bagi kemajuan ekonomi kreatif di Ternate. Toh, seperti kata Efek Rumah Kaca, “Pasar bisa diciptakan!” Semoga semangat teman-teman tidak cepat padam.
Album KONG! bisa teman-teman dengarkan di Spotify.