Manusela: Ketika Mitos dan Teknologi Bertemu
Manusela: Ketika Mitos dan Teknologi Bertemu
Di sebuah sudut tenang di Jakarta Selatan, di balik bangunan sederhana yang tak mencolok, sesuatu yang magis sedang diciptakan oleh Luze Studio. Ini bukan studio animasi biasa yang penuh kertas sketsa atau papan cerita. Di dalamnya, suasana dipenuhi oleh suara mesin rendering real-time, diskusi lintas budaya, desain digital yang rumit, dan lantunan nyanyian adat Maluku yang mengalun dari speaker.
Tim ini sedang menggarap Manusela, sebuah proyek film animasi yang ambisius — bukan sekadar cerita, tetapi sebuah dunia yang menggabungkan mitologi, teknologi mutakhir, dan semangat kebudayaan lokal. Terinspirasi dari mitologi Pulau Seram di Maluku, Manusela bukan hanya proyek animasi, tapi sebuah gerakan budaya.
Kami berkesempatan berbincang langsung dengan CEO Luze Studio, Arie Patih, dan Chief Creative Officer-nya, Dimitri Josephine, untuk membahas lebih dalam tentang visi mereka, riset budaya, serta bagaimana Unreal Engine membuka jalan baru dalam penceritaan visual khas Indonesia.
Still image dari film Manusela yang menghadirkan suasana hutan hujan di Pulau Seram. (Foto: Arsip Luze Studio)
"Jiwa dari Seram": Dunia yang Lahir dari Mitos
“Banyak orang Indonesia sendiri belum tahu bahwa mitologi dari Pulau Seram itu sangat dalam dan kaya,” buka Arie. “Selama ini narasi budaya sering berpusat di Jawa, Bali, atau Sumatra. Padahal kawasan Timur, terutama Maluku, menyimpan kosmologi yang luar biasa.”
Manusela mengambil nama dari suku asli di dataran tinggi Seram. Namun dalam film ini, Manusela menjadi dunia metaforis — tempat roh leluhur, kekuatan alam, dan dunia manusia saling bersinggungan dalam satu semesta imajinatif.
Dimitri menambahkan, “Kami mulai dari riset langsung: mendengarkan cerita lisan, mewawancarai tetua adat, mengamati simbolisme ritual, lalu menginterpretasikannya secara kreatif. Ini bukan dokumenter, tapi mitologi spekulatif yang tetap berpijak pada akar budaya lokal.”
Mereka menggali konsep roh leluhur, hukum adat, hutan keramat, serta mitos Nunusaku —dipercaya sebagai pusat kehidupan masyarakat Maluku.
Mitos yang Bergerak: Kenapa Memilih Unreal Engine?
Kalau cerita adalah jiwa Manusela, maka Unreal Engine adalah tubuhnya. Luze Studio menjadi salah satu pionir di Indonesia yang menggunakan Unreal Engine 5 secara penuh untuk produksi film animasi.
Still image salah satu karakter dalam film Manusela. (Foto: Arsip Luze Studio)
“Unreal memberi kebebasan penuh dalam membangun dunia. Dunia Seram yang megah bisa langsung divisualisasikan dengan cahaya, kabut, dan gerak yang hidup — dan semuanya real-time,” jelas Arie. “Industri animasi Indonesia ini masih blue ocean — potensinya luar biasa, tapi belum banyak digarap secara serius. Dan kami ingin jadi bagian dari gelombang awalnya.”
Dimitri melanjutkan, “Dengan teknologi ini, lanskap Indonesia bisa tampil epik, setara dengan produksi internasional. Hutan hujan di Seram, pegunungan berselimut kabut, kerajaan karang di bawah laut — semuanya jadi karakter yang hidup, bukan sekadar latar.”
Unreal Engine memungkinkan pencahayaan sinematik, simulasi suasana, dan interaktivitas lingkungan yang menyatu dengan narasi. Dunia spiritual dan dunia manusia dalam Manusela terasa menyatu — misterius, indah, dan penuh makna.
Menghapus Stereotipe Animasi Indonesia
Salah satu misi utama Manusela adalah mendobrak stereotipe lama bahwa animasi Indonesia harus lucu, ringan, atau hanya untuk anak-anak.
Desain futuristik pesawat luar angkasa yang dikembangkan oleh Luze Studio untuk film Manusela. (Foto: Arsip Luze Studio)
“Kita nggak ingin bikin Lord of the Rings versi batik,” tegas Arie sambil tertawa. “Ini mitologi kita sendiri — dan kami membawanya dengan keseriusan, kedalaman emosional, dan nilai sinematik setara film besar.”
Film ini mengambil pendekatan visual yang matang, atmosferik, namun tetap bisa dinikmati berbagai usia. Bayangkan perpaduan antara Studio Ghibli dan sinema eksperimental Asia Tenggara, tapi dengan napas khas Indonesia Timur.
“Dalam mitos kita, ada keindahan sekaligus kegelapan,” ujar Dimitri. “Kami angkat tema duka, warisan spiritual, kerusakan alam, dan transformasi diri. Mitos bukan cerita dongeng — dia adalah cermin jiwa budaya.”
Tim kerja Luze Studio dalam proses eksplorasi Unreal Engine 5 yang digunakan sebagai teknologi utama dalam pembuatan film Manusela. (Foto: Arsip Luze Studio)
Membangun Bahasa Visual Dunia Tak Terlihat
Manusela tidak sekadar mengadaptasi artefak atau cerita lisan, tapi menciptakan bahasa visual baru yang simbolis. Setiap desain mengandung tafsir baru dari motif lokal.
“Misalnya, spiral pada ukiran tifa kami kembangkan jadi simbol gerbang antar dunia,” kata Dimitri. “Atau pola akar bakau yang dijadikan inspirasi arsitektur dalam dunia Manusela.”
Dengan Unreal, semua bisa langsung diuji dan dikembangkan secara real-time. Kabut bisa bereaksi terhadap emosi karakter. Cahaya bisa berubah sesuai ritme cerita. Dunia ini hidup, bernafas, dan penuh rasa.
Inilah yang mereka sebut emotional world-building — membangun dunia yang tidak hanya indah secara teknis, tapi juga menggugah secara emosional.
Kolaborasi & Integritas Budaya
Yang membuat Manusela berbeda bukan hanya teknologinya, tapi cara Luze Studio membangun kolaborasi dengan komunitas budaya.
Lanskap Pulau Seram yang didokumentasikan tim Luze Studio saat proses riset lapangan untuk pengembangan cerita dan world-building Manusela. (Foto: Arsip Luze Studio)
“Kami nggak ingin ‘mengambil’ cerita begitu saja,” jelas Arie. “Kami libatkan budayawan lokal, seniman, komunitas adat. Kami belajar, berdialog, dan memberi ruang keterlibatan aktif.”
Luze Studio juga sedang menyiapkan program edukatif dan pameran di Ambon dan Seram — berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal — agar elemen-elemen dari film seperti desain karakter, mitologi, dan musik bisa diakses kembali oleh masyarakatnya sendiri.
Kolaborasi budaya juga meluas ke bidang lain. Untuk musik, Luze Studio bekerja sama dengan duo elektronik Bottlesmoker, yang bukan hanya terlibat dalam scoring film, tapi juga merilis album penuh yang didedikasikan untuk semesta Manusela. Album ini tidak hanya menjadi pendamping film, tetapi juga jembatan antara soundscape tradisional dan produksi elektronik futuristik.
Di sisi lain, fashion juga menjadi elemen penting. Desainer kenamaan Lenny Agustin turut serta sebagai perancang kostum dalam film ini, sekaligus konsultan untuk pengembangan koleksi fashion yang terinspirasi dari dunia Manusela. Kolaborasi ini menjembatani antara gaya visual animasi dan ekspresi kultural kontemporer melalui busana.
Lanskap Pulau Seram yang didokumentasikan Luze Studio dalam proses riset lapangan untuk pengembangan cerita dan world-building Manusela. (Foto: Luze Studio)
“Kami ingin film ini kembali ke akar, bukan berhenti di bioskop dan festival luar negeri saja,” tambah Dimitri.
Masa Depan Cerita Rakyat Digital
Manusela masih dalam proses produksi. Beberapa teaser dan konsep awal dijadwalkan rilis akhir tahun ini. Tapi gaungnya sudah terasa — baik di komunitas teknologi, pecinta budaya, maupun para pendukung cerita lokal.
Yang paling jelas dari obrolan kami dengan Arie dan Dimitri: Manusela bukan sekadar film. Ini adalah langkah awal menuju masa depan baru — di mana cerita-cerita lokal bisa tampil secara epik, lintas media, dan relevan secara global.
Manusela Project juga mulai menjelajahi ranah Web3 sebagai upaya memperluas pengembangan IP dan membangun kolaborasi dengan komunitas internasional. Dengan memanfaatkan teknologi blockchain, Luze Studio akan menghadirkan NFT bertema budaya dan ruang partisipatif digital untuk seniman serta penggemar di seluruh dunia.
“Kalau Manusela berhasil, kami berharap akan muncul banyak cerita lain,” kata Dimitri. “Kalimantan, Papua, Sulawesi — semua punya mitos yang luar biasa. Kita hanya perlu panggungnya.”
Arie menutup dengan kalimat yang sederhana, “Kami ingin orang menonton Manusela merasa seperti baru saja melihat jiwa Nusantara yang selama ini tersembunyi.”