Home > Budaya & Teknologi > Komunitas >
Palmer dan Bebunyian yang Hampir Terlupakan
Palmer dan Bebunyian yang Hampir Terlupakan
Cerita tentang Aural Archipelago dan perjalanan si pengarsip keliling yang tidak disengaja.
Beberapa minggu lalu, kami ngobrol panjang dengan Palmer Keen, sosok di balik proyek Aural Archipelago. Wawancara ini dilakukan lewat Google Meet, antara Jakarta dan Hanoi, tempat Palmer sekarang tinggal. Obrolannya santai, tapi penuh makna dan berlangsung selama hampir satu setengah jam. Saat ini, Palmer bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di Vietnam sambil tetap menyusun, mengedit, dan membagikan rekaman musik tradisi yang ia kumpulkan selama lebih dari satu dekade di Indonesia. Proyeknya belum selesai dan mungkin memang tak akan pernah benar-benar selesai.
Berikut cerita bagaimana semua ini bermula: dari sebuah kaset tua ke arsip musik tradisi paling jujur yang pernah kami temui.
Portrait Palmer Keen, penggagas sekaligus pengelola situs arsip musik tradisional Indonesia, Aural Archipelago.
Namanya Palmer Keen. Ia berasal dari California, Amerika Serikat. Latar belakangnya sastra, bukan musik. Tidak! Dia bukan orang yang dari kecil main gamelan atau bercita-cita jadi etnomusikolog. Palmer hanyalah pemuda biasa yang penasaran dan jatuh cinta pada suara-suara yang asing di telinganya.
Semuanya berawal ketika ia menemukan sebuah kaset bertuliskan "Gamelan" di toko barang antik di Los Angeles. Ia beli karena desain sampulnya keren. Tapi saat diputar di rumah, ada sesuatu yang menggetarkan: suara gong yang berkilau, ritme yang melingkar, melodi yang terdengar seperti dari dunia lain. Seperti itu saja dan hidupnya berubah arah.
Ia mulai menonton video Gamelan Bali di YouTube, saat itu konten di YouTube masih sepi. Kebetulan kampusnya di UC Santa Cruz punya grup gamelan. Dia ikut. Dia belajar. Dia tenggelam. Sampai akhirnya, tahun 2012, Palmer pindah ke Indonesia. Tanpa rencana, tanpa beasiswa, tanpa proyek besar. Cuma dengan satu niat: mencari, mendengar, dan memahami musik-musik ini dari sumbernya langsung.
Arsip hidup yang bersuara
Palmer pertama kali menetap di Bandung. Dari sana, ia mulai menjelajah ke desa-desa. Jalan kaki. Tanya-tanya: “Ada gamelan di sini?” Bahasa Indonesianya masih terbata-bata. Ia tidak punya pemandu. Tidak tahu siapa yang harus ditemui. Yang dia bawa cuma alat perekam, kamera, dan rasa ingin tahu.
Palmer mendokumentasikan banyak bunyi tradisional secara mandiri dan independen. Tanpa tim produksi maupun lembaga sponsor.
Rekaman-rekaman dan catatan lapangan itu awalnya hanya dibagikan lewat blog sederhana yang ia namai Aural Archipelago. Sebuah nama puitis yang mencerminkan keragaman bunyi di negeri kepulauan ini. Di blog itu ia tak hanya membagikan rekaman, tapi juga cerita tentang orang-orang yang ia temui, konteks budaya, dan pengalaman pribadinya saat berada di lapangan.
Tapi, semakin lama Palmer sadar: ini bukan lagi sekadar blog. Ini arsip hidup. Ia merekam suara-suara yang tak pernah didokumentasikan sebelumnya. Suara-suara yang bisa hilang kalau tidak sempat disimpan.
Aural Archipelago perlahan tumbuh menjadi arsip etnografis independen. Ia berisi ratusan rekaman musik tradisi dari berbagai penjuru Indonesia: dari instrumen bambu dan kulit kerbau hingga musik-musik sawah dan bunyi yang lahir dari mainan anak-anak.
Yang membuat proyek Palmer istimewa bukan hanya koleksi audionya, tetapi cara dia mendekatinya. Ia tidak melihat musik tradisional sebagai sesuatu yang mati dan dilestarikan di museum. Baginya, musik ini hidup; ia liar, hangat, spiritual, kadang sakral, kadang santai. Selalu penuh cerita.
Dalam prosesnya mendokumentasikan, Palmer bukan hanya menangkap dan menyipan ragam jenis bunyi, tetapi juga cerita tentang manusia yang menghidupinya.
Awalnya, Palmer tertarik karena tekstur bunyinya: pengulangan, drone, melodi yang tidak “pop”. Tapi, seiring waktu ia mulai menyadari bahwa kekuatan sesungguhnya ada pada konteks dan makna.
Ia bertemu pemain alat musik yang belajar langsung dari hutan, diajari oleh kakek buyutnya untuk “mendengar suara alam”. Ada pula pengrajin alat musik bambu yang harus mengubah metode pembuatannya karena iklim berubah. Dulu bambu bisa dipakai setelah berumur lima tahun, sekarang butuh 12 tahun.
“Musik ini bukan cuma karya seni. Ini arsip peradaban. Di dalamnya tersimpan sejarah, ekologi, spiritualitas, dan filosofi hidup,” ujarnya.
Menyimpan arsip sebelum terlambat
Aural Archipelago tak cuma soal gamelan. Di belantara koleksinya, justru kita bisa menemukan begitu banyak bunyi yang tidak biasa dan seringkali terlupakan. Misalnya, Gule Gending dari Lombok Timur. Dulunya dimainkan oleh penjual permen kapas, kini Gule Gending menjadi musik perkusi gamelan mini yang liar dan bebas.
Ia berkeliling Indonesia dari desa ke desa, dari hutan ke hutan, untuk bertemu langsung dengan para pengrajin instrumen musik hingga para maestro pemain musik tradisional.
Ada juga Genggong dari Lombok Barat, harpa mulut yang meniru suara kodok dan dulunya digunakan untuk merayu gebetan, atau Talempong Batu dari Sumatera Barat, alat musik batu yang dipukul seperti xilofon dan digunakan dalam upacara adat. Sementara itu, di Banten ada Hatong, alat komunikasi saat berburu yang terbuat dari tanduk kerbau. Dibunyikan dengan cara ditiup, kini Hatong dijadikan alat musik karena menghasilkan bunyi-bunyi yang dinamis.
Setiap rekaman datang dengan catatan lapangan, foto, dan kisah tentang tempat, orang, dan maknanya. Semua bisa diakses secara terbuka di auralarchipelago.com.
Baca Juga: Bottlesmoker, Merangkai Musik dari Perkakas Alam Semesta
Ia merekam, menulis, memotret, dan mengarsipkan semuanya sendiri. Tak ada tim produksi, tak ada kantor, tak ada lembaga yang mendanai. Hanya dia dan hard drive yang mulai menumpuk. Ia bahkan mengaku masih punya ratusan rekaman yang belum sempat diunggah.
Proses dokumentasi Palmer pelan tapi pasti membuat sebuah jejaring pengetahuan dan tali silaturahmi dengan banyak pelaku budaya di pelosok Indonesia.
“Saya tahu saya harus berbagi lebih banyak,” katanya. “Tapi rasa penasaran saya selalu mendorong untuk terus merekam yang baru.”
Salah satu kekhawatiran terbesar dari arsip digital adalah ketidakabadian platform. Aural Archipelago saat ini hidup di Squarespace dan SoundCloud. Tapi, kalau suatu hari platform itu tutup, semua bisa hilang.
Di sinilah kami, Spektakel, mulai berdiskusi soal Web3, blockchain, dan sistem penyimpanan terdesentralisasi. Bukan soal NFT atau kripto, tapi tentang bagaimana budaya bisa disimpan di tempat yang tidak dikendalikan oleh suatu korporasi.
Bayangkan jika semua arsip Palmer disimpan di IPFS, diatur dengan smart contract, dan bisa diakses generasi mendatang dengan kontrol yang tetap di tangan komunitas. Bukan lembaga. Bukan pemerintah. Tapi mereka yang memiliki suara-suara itu.
Mendokumentasi, membangun jaringan
Indonesia punya ribuan bentuk musik tradisi, tapi banyak yang belum terdokumentasi. Banyak yang hanya hidup di kepala satu orang tua di desa dan kalau mereka tiada, musik itu pun ikut punah.
Dialog menjadi pilar utama dalam dari proses kerja Palmer.
Proyek seperti Aural Archipelago penting karena ia tidak hanya menyimpan bunyi, tapi menghargai proses hidup di baliknya. Ini bukan soal klik, viral, atau trending. Ini tentang menghormati kesahajaan sehari-hari orang-orang biasa yang memainkan musik untuk hidup, bukan untuk panggung.
Kami di Spektakel percaya, dokumentasi tidak harus selalu akademik atau mewah. Yang penting jujur, tulus, dan manusiawi dan itulah yang kami lihat di Aural Archipelago.
Palmer sendiri belum tahu akan ke mana selanjutnya. Tapi yang jelas, ia ingin terus merekam, menulis, dan mungkin, menemukan cara untuk menghubungkan para pengarsip lokal yang selama ini bekerja sendiri-sendiri.
Kami ingin jadi bagian dari jaringan itu. Mungkin dengan membantu dari sisi teknologi, pendanaan atau hanya dengan menjadi ruang untuk saling berbagi cerita.
Yang jelas, kalau kamu belum pernah berkunjung ke websitenya, coba sekarang: www.auralarchipelago.com. Nyalakan headphone. Dengarkan. Siapa tahu, ada satu suara yang bisa mengubah cara kamu melihat dunia.