Logo Spektakel

Home > Budaya & Teknologi >

Pengamatan (Sederhana) Mengenai Festival di Indonesia

Pengamatan (Sederhana) Mengenai Festival di Indonesia

“Sebelum kita membuat sebuah festival, pastikan bila kita memang memiliki OTORITAS untuk membuatnya,” - Franki Raden, PhD.

Kalimat tersebut terus terngiang di kepala sejak Desember 2017, ketika saya diundang menjadi salah satu narasumber Rapat Koordinasi Platform Indonesiana di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta.

Presentasi saya saat itu tentang pemetaan festival di Indonesia, berdasarkan kerja-kerja pengumpulan data dan observasi Spektakel yang dilakukan sejak Oktober 2016 hingga November 2017. Kami berhasil menyaring 401 data agenda acara seni budaya yang dipublikasikan lewat www.spektakel.id.

Dari data tersebut, kategori “festival” menempati porsi paling besar dalam statistik input category. Karakteristik festival yang berhasil saya petakan sejauh ini paling tidak ada tiga: tradisi/ritus adat (contoh: Festival Bau Nyale); situs/lokasi (contoh: Festival Danau Sentani); dan seni kontemporer dengan disiplin spesifik (contoh: festival film).

Gambar 1. Entri kategori kegiatan yang dikumpulkan sejak Oktober 2016 hingga Desember 2017.

Dalam pengamatan saya, penggunaan kata “festival” sebagai penamaan sebuah kegiatan digunakan dalam definisi;  1) festival sebagai sebuah perayaan temporer yang bisa jadi tidak terulang alias acak dan sporadis dan 2) festival sebagai acara/kegiatan berseri, tahunan atau dua tahunan, yang terkelola dan secara tipikal diselenggarakan di tempat yang sama. Kedua definisi sederhana di atas menjadi pijakan awal untuk memetakan bentuk-bentuk festival di Indonesia.

Sejak awal 2017, Spektakel mengumpulkan banyak informasi kegiatan seni budaya yang diberi judul “festival”. Pertanyaan kritis yang muncul adalah: seberapa esensial kata “festival” berfungsi dalam menasbihkan kegiatan tersebut?

Saya menemukan fakta menarik dari festival-festival di Indonesia yang diamati, yaitu jarang sekali terjadi program antar-tahun penyelenggaraan sebagai jembatan komunikasi yang runut dan terkelola antara organ festival dan publiknya. Jeda antar penyelenggaraan tidak atau belum dijadikan momentum transformasi pengetahuan yang berkelanjutan ke publik festival.

Gambar 2. Entri data berdasarkan 5 besar kota yang terkumpul di Spektakel ID.

Persoalan lain yang sering muncul terkait penyelenggaraan festival di Indonesia adalah sulitnya menemukan kepastian waktu serta lokasi penyelenggaraan, biasanya disebabkan oleh ketidakpastian pendanaan serta persoalan perizinan.

Adalah persoalan klasik di Indonesia bila sebuah festival sulit memiliki/mendapatkan pendanaan yang layak pun berkelanjutan. Terlepas fakta bahwa Pemerintah kita juga tidak memiliki kerangka pendukungan yang jelas, hal lain yang bisa dikritisi adalah profesionalitas penyelenggara dalam mengelola festival mereka. 

Gambar 3. Statistik acara berbanding bulan yang dikumpulkan Spektakel ID sejak Oktober 2016.

Salah satu hal yang bisa dikritisi dari penyelenggara adalah lemahnya pemasaran daring; tidak konsisten menghantarkan informasi lewat website atau media sosial mereka. Bahkan bisa diduga bahwa sektor pemasaran daring tidak pernah mendapatkan alokasi dana khusus yang layak. Selain itu, kontak yang dicantumkan sering kali tidak aktual. Sering terjadi kasus email penyelenggara tidak aktif atau nomor narahubung tidak bisa dihubungi. Secara menyeluruh, bila disimpulkan, ekosistem daring tidak dibangun secara kokoh.

Para penyelenggara juga jamak menjadikan jumlah pengunjung sebagai parameter keberhasilan utama, namun di lain sisi cenderung abai pada dampak sosial budaya penyelenggaraan kegiatannya; apakah masyarakat sekitar dapat terlibat aktif atau sekadar menjadi penonton?

Kita mendengar beberapa kabar mengenai penyelenggaraan sebuah festival yang lingkungan sekitarnya rusak akibat ulah para penontonnya. Ini membuktikan bahwa festival tersebut tidak memperhatikan secara seksama risiko-risiko yang mungkin mereka hadapi.

Kembali ke pernyataan awal tulisan ini, otoritas apa yang dimaksud dalam kalimat tersebut?

Sebuah festival seyogyanya memiliki kerangka utuh dalam membentuk programasi hingga strategi penyelenggaraannya - dengan menempatkan berbagai faktor yang melingkupi festival tersebut sebagai parameter-parameter kerja serta pencapaian.

Sebagai sebuah ilustrasi, sulit membayangkan sebuah festival film yang diselenggarakan oleh individu/kelompok yang belum fasih mengenai media serta medium film itu sendiri dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini, otoritas bisa kita lihat sebagai kedalaman pemahaman penyelenggara atas konten serta konteks festival yang mereka buat.

Hal tersebut bisa digapai dengan kerja-kerja riset dan observasi yang terus menerus diperbarui mengikuti dinamika masyarakat. Kerja riset tersebut hendaknya menghasilkan sebuah programasi yang dibangun tidak sekadar menampilkan pertunjukan (dalam arti luas) yang berjarak dengan (calon) pengunjung atau bahkan masyarakat sekitarnya. Lebih jauh lagi, pertanyaan yang harus dimunculkan adalah: untuk siapa festival ini dibuat?

Pentingnya untuk menunjukkan “otoritas” ini sebagai pembuktian bila festival yang diselenggarakan memang memiliki landasan yang kuat sehingga kata “festival” bukan sekadar merek generik yang digunakan semata untuk kepentingan dagang.